Arslan hanya bisa menggigit jari telunjuknya yang menekuk sembari mendengar penjelasan dari bartender mengenai si wanita misterius.
“Gue nggak tau, Bro. Serius. Abis kalian keluar, gue nggak tau lagi kalian ke mana. Gue rekomendasiin si cewek itu, karena dia baru. Nggak ada anak-anak lain juga yang kenal.”
Baru sedetik setelah si bartender menjawab, Arslan memukul meja dengan keras seraya berdiri dari kursi kerjanya. Ia menyugar rambutnya dengan kasar, yang membuat dirinya kian diliputi amarah.
“Kenapa nggak ada yang inget si cewek itu!” bentak Arslan. Dalam sekali sapu oleh tangannya, semua benda di atas mejanya berjatuhan. “Nggak mau tau! Cewek itu harus ketemu.”
“Pak, sepertinya Anda harus tenang dulu. Sekarang ini, tidak ada yang bisa mengingat si wanita selain Anda.” Edy mengambil alih pembicaraan. Ia membantu Arslan duduk kembali di kursinya. “Untuk hari ini, Anda istirahat dulu. Konsentrasi. Semoga nantinya bisa mengingat bagaimana wajah wanita itu, sehingga kita bisa membuat sketsa wajahnya.”
Tenang? Arslan tidak yakin bisa melakukannya sebelum melihat wanita itu. Berliannya ... batu berharganya .... Arslan tidak bisa tidur dengan nyenyak sebelum bisa mendapatkan hartanya.
“Panggil tukang sketsa sekarang!” titah Arslan.
***
Arslan hanya bisa menopang kepalanya dengan tangan, sementara di hadapannya, seorang pria berusia 40 tahunan tengah menunggu. Sudah 20 menit berlalu, Arslan belum memberikan clue apa pun untuk tukang sketsa.
Terkadang, Arslan tampak antusias dengan punggungnya menegak di kursi. Ia mengulurkan tangan, hendak menjelaskan. Namun, ia tidak bisa berkata-kata. Benar-benar blank. Yang ada dalam benaknya hanya sepasang bibir merah kenyal yang sedikit terbuka mendesahkan namanya. Bagaimana pun ia memejam untuk mengingat bentuk wajah si wanita, matanya, atau rambutnya, Arslan tidak mampu. Buntu.
“Anda bisa menjelaskan apa pun yang Anda ingat tentang orang yang Anda cari, Pak. Nanti saya bantu.” Pria 40-an itu lelah menunggu. Ia kemudian mengeluarkan iPad dari dalam tas hitamnya. Menunjukkan beberapa bentuk sketsa bagian tubuh. Ia mengulurkan itu pada Arslan yang langsung disambut. “Silakan cocokkan, Pak.”
Arslan begitu antusias, berpikir bahwa ia akan sedikit terbantu. Namun, ketika melihat beberapa bentuk wajah di layar, ia benar-benar kesulitan mengingat wajah si wanita. Seakan, Arslan mengalami amnesia, padahal, ia pernah berinteraksi dengan si wanita.
Menggeser layar ke samping, Arslan menemukan beberapa jenis bentuk mata. Dahi Arslan bahkan sampai mengerut amat dalam hanya untuk memulihkan ingatannya. Blank!
Lalu, ke halaman selanjutnya. Bentuk hidung. Arslan menggeram keras, menekan matanya dengan kedua telapak tangan. Setelah agak tenang, ia memukul meja dengan kasar.
Meski di puncak amarah, Arslan tetap menggeser layar. Bentuk bibir. Ia dengan antusias menunjuk sepasang bibir tebal berisi.
“Ini bentuk bibirnya.” Arslan tersenyum penuh harap, tetapi, saat ia mendongak melihat ekspresi tukang sketsa yang datar, Arslan tahu.
Ia hanya punya sedikit harapan selama ingatannya belum stabil.
***
Berlandaskan harapan yang tipis itu, Arslan mencoba mengerahkan beberapa orang khusus di bawah perintahnya langsung untuk mencari semua jejak penghuni kelab di malam tahun baru. Arslan mencoba bergerak tanpa sepengetahuan keluarganya yang lain, dan itu menyebabkan ia harus mengeluarkan uang lebih banyak.
Pengeluaran Arslan untuk mencari si wanita selama 6 tahun memang tidak sebanding dengan harga berliannya, tetapi karena terlalu mengabaikan urusan perusahaan, serta kudeta dari anak perusahaan yang dikelola sepupu-sepupunya, ia terpaksa harus mundur dari jabatan.
“Kamu tidak punya pilihan lain selain mundur. Kakek yang memanjakan kamu sudah tidak ada. Sekarang, kamu harus berjuang sendiri untuk hidup kamu.” Begitulah, atau semacamnya, ucapan keluarganya pada Arslan yang yatim piatu.
Edy pun tidak bisa melakukan apa-apa, selain menenangkan sang atasan.
Dihimpit oleh dua tekanan masalah yang berbeda, tetapi dengan berat sama Arslan sudah berada di puncak kesabaran. Hanya seminggu, setelah penurunan statusnya, tubuh Arslan mulai terlihat kurus. Kadang, sehari ia tidak pernah memakan yang mengandung karbohidrat, buah-buahan lebih jarang ia lihat, atau minuman keras sudah menjadi pengganti air putihnya.
“Anda tidak bisa begini terus, Pak.” Edy, yang terpaksa membawakan minuman keras lagi untuk atasannya, kembali menasehati. Meski, pada akhirnya, semua ucapan pria 38 tahun itu hanya dianggap angin lalu.
“Saya bisa apalagi, Ed?” Arslan, dengan mata sendunya menatap teman lama, sekaligus tangan kanannya itu. “Habis semua, cuman gara-gara 1 perempuan.” Arslan terdengar putus asa. Tanpa mau rumit menuang ke gelas, ia langsung menyesap bir dari botolnya. Ia kemudian memandangi setiap penjuru ruangan dengan mata berkaca-kaca. “Sebentar lagi, rumah mewah ini juga harus saya tinggalkan.”
“Anda tidak perlu terlalu terpuruk seperti ini, Pak.” Edy memberikan semangat. “Anda hanya perlu fokus bekerja, dan membangun usaha Anda menjadi lebih baik. Wanita itu, biarkan. Anda bisa mendapatkan yang lebih dari yang wanita itu ambil.”
“Itu sama sekali tidak membantu, Ed.” Mata Arslan kentara memerah. Ia bersandar malas, dengan kepala menengadah. 6 tahun sebelum ini, ia berpikir akan hidup dengan bergelimang harta tanpa harus bekerja, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Detik berikutnya, secara tiba-tiba, Arslan berteriak kesal sembari melempar botol minumannya. “Wanita sialan!”
Perhatian keduanya kemudian teralihkan oleh suara gawai Edy. Pria itu segera mengangkat telepon, dan berbicara degan nada sopan, seperti biasanya.
“Pak, ada yang mau bicara dengan Anda.” Edy kemudian memberitahu Arslan. Ia cukup khawatir, karena keadaan Arslan yang mabuk.
Arslan segera merebut ponsel tersebut. Sebelumnya, ia bersendawa sekali, kemudian berbicara, “Ada apa?”
“Akhirnya ketemu! Saya sudah mencari Anda selama 4 tahun ini. Anda sulit sekali dihubungi.”
Arslan mengerutkan keningnya ketika mendengar kalimat dari pria seberang sambungan.
“Siapa?” tanya Arslan.
“Ah, maaf. Saya Ridwan. Anda ingat saya? Teman orang tua Anda.”
Sedalam apa pun dahi Arslan berkerut untuk mengingat seseorang dengan nama Ridwan, Arslan tetap tidak menemukannya.
“Ada apa?” tanya Arslan, masih dengan kebingungan.
“Saya menghubungi Anda, untuk menindaklanjuti kesepakatan orang tua Anda, dengan atasan saya, Khaerul Agung Bumantara,” jelas pria asing tersebut.
“Kesepakatan apa?” Ia semakin was-was, berharap mendiang orangtuanya yang meninggal 16 tahun lalu tidak melakukan kesalahan apa-apa.
“Kapan Anda punya waktu luang? Kita perlu membicarakan ini, beserta atasan saya.”
Suara pria itu, meski terdengar santai, tetapi menunjukkan keseriusan yang dalam. Entahlah, Arslan hanya merasa begitu.
***
Arslan berjalan terburu-buru keluar lift, menuju sebuah ruangan di sebelah kanan. Seorang wanita bertubuh semampai tersenyum hangat menyapanya, seraya membukakan pintu. Ketika masuk, pria yang semula duduk santai di sofa single, seketika berdiri.
“Selamat pagi. Anda datang lebih cepat. Atasan saya masih di perjalanan. Silakan duduk!” sapa pria dengan wajah dihiasi keriput, dan kepala nyaris dipenuhi uban. Bukan lebih terlihat tua, pria itu tampak sangat berwibawa.
“Jadi, ada apa? Apa kesempatan orang tua saya dengan atasan Anda itu?” tanya Arslan, tanpa basa-basi. Tanpa ia sadari, salah satu kakinya naik di atas paha kaki lain, bergerak khawatir.
“Lebih tepatnya, orang tua Anda, dan mendiang atasan saya.” Ridwan sedikit mengoreksi. “Anda belum menikah, kan?”
Arslan tersentak ditanyai demikian. Menikah sama sekali tidak ada dalam kamus hidupnya. Jika bisa memilih wanita bergantian untuk memuaskan dirinya, kenapa harus mengekang diri sendiri dengan seorang wanita seumur hidup?
“Tidak.”
Ridwan tersenyum hangat mendengar jawaban Arslan.
“Kesepakatan orang tua Anda, dengan mendiang atasan saya hanya berupa penyatuan dua perusahaan. Anda yang menjadi penerus PT. Artanic Holding Company, kan?” tanya Ridwan.
“Dulu, ya. Sekarang tidak.”
“Ah, ya, mantan pengelolah PT. Artanic Holding Company, ya?” Ridwan terkekeh pelan, yang langsung merusak mood Arslan.
“Sebenarnya, apa tujuan Anda memanggil saya ke sini? Saya sibuk, tidak mau dipermainkan seperti ini!” maki Arslan, kesal.
Ridwan mengubah mimik bicaranya. Terlihat lebih serius, dan seketika itu juga Arslan terpengaruh dengan perubahan ekspresi lawan bicaranya.
“Orang tua Anda, dan mendiang atasan saya ingin menjodohkan Anda, dan atasan saya sekarang ini, untuk menyatukan dua perusahaan, dan dua hubungan persahabatan yang lebih dekat dari sekadar saudara.” Ridwan berbicara serius. Kemudian, tersenyum detik kemudian. “Namun, Anda, atau atasan saya, bisa membatalkannya jika tidak mau. Masing-masing, tidak ada paksaan. Saya murni hanya mau menyampaikan pesan keduanya, pada Anda.”
Arslan diam sejenak mencerna penjelasan tersebut. Namun, yang tertangkap dalam benaknya hanya satu. “Kalau saya menerima, apa saya yang akan jadi pengelolah perusahaan ini?” Ia tergiur akan tawaran tersebut, bukan pada pernikahan.
“Tentu saja. Anda dan atasan saya yang akan mengelolanya bersama.”
Arslan tahu, pada akhirnya ia yang akan mengambil alih perusahaan jika menerima tawaran ini. Dan Bumantara Group bukan perusahaan kecil, bahkan lebih besar pasarannya dibanding PT. Artanic yang ia kelola dulu.
Baru saja akan menjawab, pintu terbuka mengalihkan perhatian keduanya.
“Assalamu'alaikum.” Wanita dalam balutan pakaian hitam dari ujung kepala hingga kaki—menyisakan rounded eyes yang jernih.
“Wa alaikumussalam.” Ridwan membalas, kemudian segera berdiri. Sebelum itu, ia melirik pada Arslan yang membatu di sudut sofa, menatap wanita baru tersebut dengan wajah pucat pasi. “Pak Arslan, Anda baik-baik saja?”
Arslan fokus ke depan, napasnya memburu cepat, dengan kening mengkilap oleh keringat. Ia menggeleng dua kali dengan gemetar.
“Dia kenapa, Om?” Wanita itu bertanya.
Arslan merasa, si wanita semakin mendekat padanya, ia segera berdiri, sehingga wanita itu ikut terkejut dan mundur 2 langkah. Arslan memanfaatkan kesempatan itu segera lari dari ruangan itu, mengabaikan apa pun. Termasuk citra dirinya sendiri.
Arslan baru bisa berpikir tenang saat masuk dalam mobil. Mulutnya bahkan sampai harus terbuka untuk meraup udara sebanyak-banyaknya. Ia memejam kasar saat mengingat wanita asing itu muncul, karena secara bersamaan, sekelebat bayangan menghampiri matanya.
Bayangan itu adalah gambaran dirinya, yang berusia 5 tahun kala itu, diculik oleh 4 orang yang semuanya memakai kain penutup wajah berwarna hitam, menyisakan mata-mata bengis tanpa perikemanusiaan.
Arslan, sebanyak apa pun usia yang ia lewatkan dengan kebahagiaan dan kesenangan, ia masih tidak bisa lupa dengan kejadian tersebut.
***