Pelajaran pertama dimulai dengan tata cara berwudhuk, Ahsan menyuruh Nahla memprektekkan bagaimana dia berwudhuk selama ini. Benar-benar parah, dia bahkan tak tau mana anggota wudhuk, gadis itu membasuh apa yang menurutnya dia sukai, bahkan dia mengecek kukunya satu persatu sambil mengomel.
"Aku butuh salon, kasihan mereka."
Ahsan tak mengubris curhatan tak penting Nahla. Dia menyuruh Nahla untuk fokus, karena dari tadi dia terkesan malas-malasan dan tidak sungguh-sungguh.
Ahsan mempraktekkan di depan Nahla bagaimana tata cara berwudhuk yang benar, gadis itu mencoba berulang-ulang sampai betul, sesekali dia dimarahi Ahsan.
Selam proses belajar, Nahla lebih banyak mengeluh dari pada menuruti perintah Ahsan. Bahkan dengan usil Nahla mencipratkan air ke baju suaminya itu.
"Nahla! apa yang kau lakukan? Bajuku jadi basah." Ahsan memandang baju koko putihnya yang basah dengan raut kesal.
Nahla tidak begitu peduli. "Biar kita impas, kau lihat sendiri diriku seperti kucing tercebur."
"Kau yang salah, aku heran berapa nilai Bahasa Indonesiamu dulu, aku menyuruhmu mengusap kepala, tapi kau malah membasuh kepalamu."
"Kau itu guru yang paling menyebalkan, apa kau memperlakukan semua muridmu sepertiku?" Nahla mengusap air dari wajahnya.
"Tentu saja tidak, mereka bukan murid yang suka membangkang sepertimu."
"Kau sangat menyebalkan." Secepat kilat Nahla mengangkat ember yang berisi air, menyiram Ahsan yang sedang mengomel.
"Ha ha ha ha, kau terlihat sangat lucu sekarang." Nahla menunjuk wajah Ahsan yang memerah marah.
"Kau sangat kekanak-kanakan." Ahsan keluar dari kamar mandi, dia tak terima diperlakukan begitu.
Nahla masih memegangi perutnya." Ya ampun, aku benar-benar terhibur."
***
Mereka shalat magrib berjama'ah ke mesjid, Ahsan masih marah pada Nahla, tapi dia tetap membawa istrinya itu ke mesjid walaupun dengan nada sedikit membentak.
Gadis itu sudah menunggu Ahsan di luar mesjid saat selesai menunaikan shalat sunat. Sejenak Ahsan tertegun, pesona Nahla dengan mukena putih membuat dadanya sedikit menghangat, wajah cantik itu disiram sinar bulan bulan purnama. Kalau saja Ahsan tak ingat Nahla adalah wanita yang gila, mungkin dia akan membuka hatinya untuk gadis itu. Baginya kecantikan tidaklah cukup untuk membuatnya jatuh cinta. Ketika di Kairo dulu, banyak gadis yang menaruh hati padanya, tapi tak sedikit pun membuatnya tertarik.
Mereka sampai di rumah beberapa menit kemudian, sepanjang perjalanan Nahla mendapatkan begitu banyak pujian dari ibu-ibu jamaah mesjid karena kecantikan timur tengahnya. Bahkan ada yang meminta Nahla mengusap perut Ibu yang sedang hamil dengan niat agar bayinya juga cantik seperti Nahla.
Sesampai di rumah, baru saja Ahsan membuka pintu rumah, Nahla sudah membuka mukenanya dengan tergesa-gesa.
"Panas," keluhnya. Mukena itu dilemparkan secara asal ke atas ranjang, menyisakan tanktop putih dan hotpants hitam.
Ahsan menatapnya kaget, baru saja dia memuji pesona Nahla yang berbalut mukena sekarang dia kembali menjadi dirinya. Ya, Tuhan! bahkan hotpants itu tak melakukan fungsinya untuk menutup dengan baik.
Ahsan mengalihkan pandangan, dia risih, sajauh apapun dia menghindarinya, tapi gadis itu tidak sedikit pun mau diajak bekerja sama.
Ahsan tergesa-gesa mengambil sebuah sarung dan menyerahkan pada gadis itu tanpa melihatnya.
"Pakai ini! celanamu terlalu pendek, bahkan itu lebih cocok disebut celana dalam."
"Kau ini kuno sekali, aku nyaman dengan ini."
"Aku yang tidak nyaman, pakai cepat!" Ahsan membentak.
Nahla mendekati Ahsan, meneliti wajah suaminya yang memerah, berbisik di telinga laki-laki itu. "Kenapa?heh? wajahmu merah, apa kau tergoda?" Nahla sengaja mengerjai Ahsan.
Ahsan yang tadi memalingkan wajah, menatap gadis di depannya, jarak wajah yang sangat dekat, bahkan hembusan nafas hangat Nahla terasa membelai pipinya.
"Bisakah kau menghilangkan sifat murahanmu? tapi aku bukan laki-laki seperti itu." Ahsan menegaskan.
Nahla tersenyum, terkesan mengejek.
"Kau pikir aku wanita yang lemah, ya, asal kau tau, aku menguasai beberapa jenis ilmu beladiri."
Benar dugaan Ahsan, mulut itu begitu pintar, begitu judes dan selalu membuatnya jengkel.
Ahsan melihat Nahla takkan pernah mundur, tanpa menatap gadis itu Ahsan berujar
"Pakai lagi mukenamu! kita akan belajar mengaji."
Kemudian pintu kamar ditutup tak sabaran. Nahla hanya menurut, dua hari bersama Ahsan, dia merasa cukup terhibur.
***
Tidak begitu sulit mengajari Nahla mengaji, karena dia menguasai Bahasa Arab dengan fasih. Ahsan cuma memantapkan tajwid dan irama Murhatal, semua itu diikuti Nahla dengan baik.
Ahsan kadang heran, sifat Nahla tidak bisa ditebak, dia angin-anginan. Terkadang gadis itu melamun sendiri dengan mulut terkatup rapat, atau malah bersifat sangat menyebalkan. Selain Nahla adalah seorang model, tak ada lagi yang diketahui Ahsan tentangnya.
Sejauh ini pekerjaan rumah masih di kerjaan Ahsan. Nahla memang tak mengerti apa-apa, bahkan memegang sapu harus diajari dulu.
Saat ini, mereka sudah selesai makan malam, duduk santai di ruang tamu, saling mengenal terlihat tidak buruk, tidak bisa menjadi suami istri pada umumnya setidaknya mereka mulai berteman.
"Besok aku mulai mengajar, aku harus menafkahimu, dengan berdiam diri di rumah kita akan kelaparan."
"Bukannya kau di-skors? "
"Bukan di pesantren, aku punya jama'ah pengajian Tafsir di sebuah mesjid."
"Aku punya banyak uang di ATM-ku, kita bisa gunakan itu."
Ahsan tak percaya dengan pendengarannya, ini bukan Nahla, tapi Ahsan melihat kesungguhan dari wajah istrinya itu.
"Tidak perlu, mencari nafkah adalah tugas suami, kau cukup simpan uangmu."
"Ya sudah, aku sudah menawarkan padamu, setidaknya aku tak dicap pelit."
Ahsan melirik Nahla, gadis itu kembali menjadi dirinya sendiri.
"Kau berasal dari sini?" tanya Nahla sambil menguncir kuda rambutnya, menampilkan leher jenjang yang sesaat membuat Ahsan jengah.
"Tidak, aku dari Riau, aku dapat tawaran mengajar disini setelah tamat S2."
"Begitu, ya? apa kalian memang anti dengan wanita yang masuk pesantren dalam keadaan tak berjilbab."
"Bukan anti, tapi itu adalah sebuah peraturan mutlak yang tidak boleh dilanggar di pondok kami, kami pernah kedatangan tamu dari Amerika, kami menyetujui mereka mengadakan penelitian selama wanitanya ikut menutup aurat, walaupun mereka bukan muslim, aku jadi heran, kenapa satpam gerbang bisa membuatmu lolos."
"Kalau aku bilang aku memanjat pagar di samping gedung apa kau percaya?"
"Kalau kau yang melakukannya aku percaya, tak ada yang mustahil bagimu."
"Aku waktu itu sedang kalut, selama perjalanan aku diikuti beberapa orang, untung saja aku cepat berbelok ke jalan aspal kecil menuju arah sini, jadi aku terdampar di pondok pesantrenmu," papar Nahla.
"Apakah kau tak bisa bernegosiasi dengan baik dengan orangtuamu?" Ahsan semakin tertarik dengan hidup gadis itu.
Nahla menarik nafas pelan. "Tidak sesederhana itu, Ahsan, hidupku sangat rumit, bahkan aku tak tau apa tujuanku di lahirkan."