12 - Perpisahan Jonathan dan Melinda.

2515 Kata
Aliya meminta supaya Jonathan dan Raline menginap. Raline setuju untuk menginap, tapi tidak dengan Jonathan. Alasan Jonathan menolak untuk menginap di kediaman orang tuanya karena besok adalah hari senin, jadi Jonathan harus pergi bekerja. Sebenarnya bukan itu alasan kenapa Jonathan menolak permintaan Aliya. Jonathan menolak untuk menginap karena Jonathan tahu, pasti para saudaranya akan terus membahas masalah anak, dan Jonathan menghindari topik tersebut. Aliya tidak mau memaksa Jonathan untuk menginap, jadi wanita paruh baya tersebut membiarkan Jonathan dan Raline pulang. Keduanya sampai di rumah larut malam, jadi begitu sampai, keduanya langsung istirahat. Hari ini adalah hari senin, waktunya Jonathan kembali bekerja. Tanpa mengetuk, dan tanpa meminta izin terlebih dahulu, Raline menerobos memasuki kamar Jonathan. "Mas." Raline memanggil Jonathan ketika melihat sang suami tidak ada di kamar, tapi sayangnya tidak ada tanggapan dari Jonathan. Tanpa menutup pintu, Raline mulai memeriksa setiap ruangan di dalam kamar tersebut, dan saat tahu jika kamar dalam keadaan kosong, dengan kata lain tidak ada Jonathan di kamar, Raline keluar dari kamar. Raline berpikir jika Jonathan sudah bangun, jadi Raline turun menuju lantai 1. Begitu keluar dari lift, Raline mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar, mencari keberadaan Jonathan. "Bi!" Raline berteriak memanggil Bi Laksmi yang baru saja keluar dari ruang makan. Bi Laksmi menghampiri Raline. "Iya, Nyonya, ada apa?" "Apa Bibi tahu di mana suami saya?" "Tuan Jonathan ada di ruang makan, Nyonya." Tanpa mengucap terima kasih, Raline pergi menuju ruang makan. Raline tersenyum lebar begitu melihat Jonathan sedang duduk di meja makan dengan posisi membelakanginya. Raline menghentikan sejenak langkahnya, lalu memeriksa penampilannya. Setelah yakin jika penampilannya rapi, Raline kembali melanjutkan langkahnya yang tadi sempat terhenti. "Selamat pagi, suamiku." Raline menyapa Jonathan sambil mengalungkan kedua tangannya di leher sang suami. Jonathan terkejut dengan apa yang baru saja Raline lakukan. Jonathan mencoba untuk melepaskan kedua tangan Raline dari lehernya, tapi Raline menolak. Raline baru saja akan mencium pipi Jonathan, tapi Jonathan menghindar. "Lepas, Raline." Jonathan meminta supaya Raline melepaskan pelukannya. Dengan berat hati, Raline melepaskan pelukannya dari Jonathan, lalu duduk di samping Jonathan. "Loh kamu mau ke mana?" Raline menatap Jonathan dengan raut wajah bingung ketika Jonathan tiba-tiba berdiri. "Aku mau pergi ke kantor." "Mas, kamu enggak mau sarapan dulu?" Jonathan menggeleng. "Enggak, aku sarapan di kantor aja." "Ok." Sebenarnya Raline ingin menahan kepergian Jonathan, dan meminta supaya suaminya tersebut sarapan di rumah bersama dengannya, tapi Raline segera mengurungkan niat tersebut begitu melihat mimik wajah Jonathan tak bersahabat. Raline tidak mau membuat mood Jonathan semakin memburuk, jadi kali ini Raline membiarkan Jonathan pergi. Raline mengantar kepergian Jonathan, setelah memastikan jika suaminya pergi, Raline kembali memasuki rumah, dan menikmati sendiri sarapannya. *** "Jonathan." Bian memanggil Jonathan dengan fokus mata yang tertuju pada dokumen di hadapannya. Tidak ada tanggapan dari Jonathan, karena itulah Bian menoleh pada Jonathan yang duduk tepat di sampingnya. "Malah melamun," keluh Bian sambil menggeleng. Bian berbalik menghadap Jonathan, lalu menegur Jonathan, kali ini sambil melambaikan telapak tangan kanannya di depan wajah Jonathan. Jonathan menoleh pada Bian. "Ada apa?" "Lo melamun." "Maaf," lirih Jonathan, merasa bersalah karena malah melamun di saat seperti ini. Jonathan dan Bian baru saja selesai melakukan rapat penting bersama para petinggi perusahaan yang lain. Saat ini keduanya masih berada di ruang rapat, sementara yang lainnya sudah keluar dari ruang rapat sejak 10 menit yang lalu. "Lo kenapa sih?" Bian tahu, ada yang menganggu pikiran Jonathan, tapi apa? Apa masalah pekerjaan di kantor? Masalah keluarga? Atau ada masalah lainnya? Jonathan menoleh, menatap Bian dengan raut wajah bingung. "Maksudnya?" "Sejak tadi pagi, gue perhatiin lo terus melamun. Gue tahu, pasti ada yang menganggu pikiran lo. Jadi ... lo ada masalah apa?" tanya Bian pada akhir kalimatnya. "Biasalah, masalah rumah tangga." "Sekarang masalahnya apa lagi?" Beberapa hari yang lalu, Jonathan dan Raline juga bertengkar. Masalahnya adalah, Jonathan menolak ajakan Raline untuk pergi berbulan madu ke Lombok. Jonathan beralasan jika pekerjaannya di kantor sangat banyak, jadi tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Apa yang Jonathan katakan memang benar. Pekerjaan di kantor sangat banyak, jadi Jonathan tidak bisa pergi secara mendadak. Kalau memang ingin pergi berlibur, maka Jonathan harus merencanakannya dari jauh-jauh hari. "Anak," jawab lirih Jonathan. Jonathan menyandarkan tubuhnya dengan santai ke sofa, lalu memejamkan matanya. "Anak?" Ulang Bian memperjelas. "Iya, anak. Orang tua gue, maksudnya ibu gue kemarin bertanya tentang anak. Katanya, kapan gue mau punya anak?" "Ya wajar si kalau orang tua lo bertanya tentang anak sama lo dan Raline, terlebih kalian sudah lama menikah." Jonathan dan Raline sudah menikah lebih dari 2 tahun, menurut Bian, itu sudah bisa dikatakan tidak sebentar, tapi juga tidak lama. Jadi menurutnya, sangat wajar jika kedua orang tua dari pihak Jonathan atau Raline, bahkan keluarga dari keduanya mulai bertanya tentang anak. Jonathan diam, enggan menanggapi ucapan Bian. "Sebenarnya apa si alasan lo dan Raline menunda untuk memiliki anak?" Bukan hanya keluarga Jonathan dan keluarga Raline yang penasaran tentang Jonathan dan Raline yang sampai saat ini belum memiliki anak, tapi Bian, bahkan teman-teman dari Jonathan dan Raline juga penasaran. Lagi-lagi Jonathan hanya diam. "Gue seharusnya enggak bertanya, karena gue tahu kalau itu semua percuma." Sejak awal Bian tahu kalau Jonathan tidak akan menjawab pertanyaannya, tapi tetap saja, ia memutuskan untuk bertanya. Ponsel milik Bian tiba-tiba berdering. Bian meraih ponselnya, tersenyum lebar begitu tahu jika yang menghubunginya adalah wanita pujaan hatinya. "Jo, gue mau angkat telepon dulu ya." "Iya, silakan." Bian tidak mau membuat Jonathan merasa tidak nyaman, karena itulah Bian mengangkat panggilan tersebut di luar ruang rapat. Tak lama kemudian, Bian kembali memasuki ruang rapat. "Jo, lo mau makan siang di luar? Atau mau makan siang di kantor?" "Gue mau makan siang di kantor aja." Jonathan sedang malas pergi ke luar, karena itulah Jonathan memilih untuk makan siang di kantor. "Ok. Kalau begitu gue makan siang dulu ya, bye." "Bye, Bian." Setelah Bian pergi, Jonathan keluar pun keluar dari ruang rapat, kembali menuju ruang kerjanya. Begitu sudah memasuki ruang kerjanya, Jonathan meraih ponselnya yang sejak tadi ia simpan di meja. Jonathan berharap saat tadi ia sedang rapat, ada yang menghubunginya, atau mengirim pesan padanya dari nomor baru, nomor yang tidak ada di kontaknya, tapi ternyata tidak ada yang menghubunginya, atau mengirim pesan padanya Jonathan menaruh ponselnya di meja, lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ponsel Jonathan berdering, membuat Joanthan terkejut. Dengan gerakan sangat cepat, Jonathan meraih ponselnya, tersenyum lebar ketika melihat pesan yang baru saja masuk adalah pesan dari nomor baru. "Akhirnya dia menghubungi gue juga." Jonathan membuka pesan yang baru saja masuk, dan setelah membaca pesan tersebut, Jonathan yakin jika pesan yang baru ia baca adalah pesan dari wanita yang kemarin malam sudah menghabsikan waktu berdua dengannya. Jonathan tidak membalas pesan Melinda, karena sekarang, Jonathan malah menghubunginya. "Ayolah, angkat," ucap Jonathan memelas. "Halo." Perasaan Jonathan seketika lega begitu mendengar suara dari wanita yang sangat ia rindukan. Rindu? Benarkan jika ia sangat merindukan wanita ini? "Halo." Melinda kembali bersuara ketika tak ada balasan dari Jonathan. "Jadi ... di mana kita akan bertemu?" Melinda tidak memberi tahu Jonathan di mana mereka harus bertemu, jadi Jonathan memutuskan untuk bertanya secara langsung. Melinda menyebutkan tempat di mana mereka harus bertemu. "Malam ini juga?" "Iya, kenapa? Apa kamu tidak bisa? Kalau kamu memang tidak bisa, tidak apa-apa." Sebenarnya Melinda berharap kalau Jonathan bisa menemuinya, tapi kalau memang tidak bisa ya tidak apa-apa. "Tentu saja bisa." Jonathan menyehut cepat. Jonathan tidak akan "Ok." Setelah itu, secara sepihak, Melinda mengakhiri panggilan tersebut. Awalnya Jonathan tidak bersemangat, tapi setelah mendengar suara Melinda, semangat pria itu kembali membara. Tadinya Jonathan akan tidur siang, tapi karena nanti malam akan bertemu dengan Melinda, Jonathan mengurungkan niatnya untuk tidur siang, dan memilih untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Melinda mengajak Jonathan bertemu tepat pukul 8 malam, karena itulah Jonathan memutuskan untuk berangkat 20 menit lebih awal. Jonathan takut jika jalanan macet, jadi memutuskan datang lebih awal, menurutnya, lebih baik datang lebih awal dari pada datang terlambat. Jonathan baru saja memasuki lift, dan menekan tombol angka 1 ketika ponsel yang ada di saku celananya berdering. Jonathan meraih ponselnya dengan senyuman lebar, tapi senyum di wajahnya luntur ketika tahu jika yang menghubunginya bukanlah wanita yang akan ia temui, tapi Raline. "Halo." "Mas, kamu di mana? Kenapa belum pulang juga?" Seharusnya Jonathan sudah pulang sejak 30 menit yang lalu, karena itulah Raline menghubungi Jonathan. Raline takut jika sesuatu yang buruk sudah terjadi pada sang suami. "Hari ini aku mau lembur." Jonathan tidak mungkin memberi tahu Raline jika dirinya akan pergi makan malam dengan Melinda, jadi Jonathan terpaksa berbohong. "Jadi malam ini kamu enggak akan pulang, Mas?" "Iya." Jonathan menjawab singkat pertannyaan Raline. Setelah menemui Melinda, Jonathan akan pulang ke apartemen, tidak ke rumah, karena memang letak restoran tempat di mana dirinya dan Melinda akan bertemu dekat dengan apartemen. "Ya sudah kalau memang kamu mau lembur. Semangat ya, Mas. Jangan lupa makan malam." Jonathan tidak membalas ucapan Raline, karena Jonathan memilih untuk mengakhiri panggilan tersebut. Saat panggilan antara Jonathan dan Raline berakhir, lift berhenti karena sudah sampai di lantai yang Jonathan tuju. Begitu lift terbuka, Jonathan bergegas keluar, melangkah mendekati mobil yang berada tepat di hadapannya. Pak Ahmad menghampiri Jonathan, lalu menyerahkan kunci mobilnya. "Ini kuncinya, Tuan." Jonathan menerima kunci tersebut, tak lupa untuk mengucap terima kasih. "Terima kasih banyak, Pak." "Sama-sama, Tuan." Pak Ahmad membukakan pintu mobil untuk Jonathan, dan setelah Jonathan duduk di balik kursi kemudi, Pak Ahmad mundur beberapa langkah, membiarkan mobil yang di kemudikan sang atasan melaju pergi meninggalkan basement. Jonathan sampai di restoran 10 menit sebelum jam pertemuan. Jonathan meraih ponselnya, lalu menghubungi Melinda. "Kamu di mana?" "Aku masih di jalan, kenapa?" Melinda menjawab gugup pertanyaan Jonathan. Jonathan menggunakan kata panggilan aku dan kamu, seolah mereka sudah sangat akrab, padahal mereka baru saja bertemu beberapa kali. "Aku sudah sampai di restoran." "Kamu sudah sampai?" "Iya, aku sudah sampai." "Ok, sebentar lagi aku juga sampai." "Kamu sudah booking tempat untuk kita berdua kan?" "Iya, sudah." "Atas nama siapa?" Melinda lalu menyebutkan nama siapa yang ia gunakan untuk memblokir tempat di restoran tersebut. "Ok, aku masuk sekarang. Kamu hati-hati ya bawa mobilnya, jangan ngebut. Bahaya!" Tanpa menunggu tanggapan dari Melinda, Jonathan Jonathan memasuki restoran, lalu memberi tahu pelayan meja yang sudah di pesan. Jonathan duduk dengan posisi menghadap ke arah pintu masuk restoran. Jantung Jonathan berdebar cepat ketika matanya melihat sosok wanita yang kedatangannya sudah ia tunggu-tunggu. "s**t! Dia sangat cantik," gumam Jonathan dengan mata yang terus menatap Melinda. Jonathan berdiri untuk menyapa Melinda yang saat ini sudah berdiri tepat di hadapannya. Jika Jonathan terlihat santai saat menyapa Melinda, maka Melinda sebaliknya. Melinda terdengar sekaligus terlihat sangat gugup. Jonathan lalu menarik kursi untuk Melinda, hal yang sama sekali tidak Melinda duga. "Kamu belum makan malam kan?" "Belum." "Kita makan malam dulu ya." "Ok." Melinda menyetujui saran Jonathan. Jonathan memanggil pelayan. Keduanya pun memesan menu makanan yang malam ini akan mereka santap. Setelah memesan makanan, Melinda pamit pergi ke toilet. Melinda sudah berada di dalam toilet, dan saat ini sedang berdiri di depan cermin toilet sambil terus menatap dirinya sendiri. "Tenanglah Melinda, jangan gugup. Santai aja, rilexs." Setelah merapikan riasan di wajahnya, Melinda kembali keluar dari toilet, kembali ke tempat di mana Jonathan berada. Melinda mengedarkan pandangannya untuk memastikan jika orang-orang yang saat ini duduk di sekitarnya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Setelah itu, Melinda fokus kembali pada Jonathan yang ternyata, sejak tadi terus memperhatikan penampilannya. "Kenapa? Apa ada yang salah?" tanya gugup Melinda sambil melihat dirinya sendiri. Tatapan intens yang Jonathan berikan membuat Melinda luar biasa gugup, dan Melinda berharap jika ia tidak melakukan hal-hal bodoh. Dengan cepat, Jonathan menggeleng. "Sama sekali tidak ada yang salah. Malam ini kamu terlihat sekali sangat cantik, benar-benar cantik," ucapnya sambil tersenyum lebar. Blush, wajah Melinda merona begitu mendengar pujian dari Jonathan. Ini bukan kali pertama Melinda mendapatkan pujian tersebut, tapi entah kenapa, Melinda merasa jika pujian kali ini jauh lebih berarti ketimbang pujian yang lainnya. "Terima kasih," balas lirih Melinda sambil menundukkan pandangannya. "Maaf kalau aku membuat kamu merasa tidak nyaman." Jonathan tahu kalau apa yang ia lakukan salah, karena itulah Jonathan meminta maaf. Melinda pasti merasa risih karena ditatap secara intens oleh dirinya. Melinda hanya menanggapi permintaan maaf Jonathan dengan senyuman tipis. "Kenapa jadi semakin ramai," gumam Melinda ketika suasana restoran yang tadinya sepi berubah menjadi sangat ramai hanya dalam hitungan menit. Melinda menyesal karena tidak memesan ruang VIP. Seharusnya ia memesan ruang VIP, supaya dirinya dan pria di hadapannya ini bisa mengobrol dengan bebas tanpa takut jika pembicaraan mereka di dengar oleh orang lain. "Tentang kejadian kemarin malam," ucap Melinda gugup, saking gugupnya, Melinda bahkan tidak berani menatap Jonathan. "Kita bicarakan itu nanti, setelah makan." Jonathan menunjuk para pelayan yang datang ke arah mereka menggunakan dagunya. Melinda menoleh, menghela nafas berat ketika tahu jika makanan yang tadi ia pesan sudah datang. Waktu berjalan begitu cepat, itulah yang Jonathan rasakan, berbeda dengan Melinda yang merasa jika waktu berjalan lambat. Beberapa menit kemudian, Jonathan selesai menikmati makan malamnya, begitu juga dengan Melinda. "Bisa kita bicara sekarang?" Melinda tidak mau lama-lama bersama dengan Jonathan, karena entah kenapa, saat bersama pria di hadapannya ini, Melinda merasa sangat gugup. Melinda sudah mencoba untuk santai, tapi tidak bisa. "Tentu saja, silakan." Sejak tahu jika wanita di hadapannya ini mengajaknya untuk bertemu, Jonathan sudah sangat penasaran, ingin tahu apa yang akan dikatakannya, karena katanya sangat penting. "Apa dia akan memintanya untuk bertanggung jawab?" Pertanyaan itulah yang ada dalam pikiran Jonathan. "Sebaiknya kita lupakan kejadian kemarin. Kita lupakan apa yang sudah terjadi diantara kita berdua." Setelah mengatakan isi hatinya, Melinda merasa lega. Melinda tidak akan meminta Jonathan untuk bertanggung jawab, karena Melinda tahu, dirinya juga bersalah. Ucapan Melinda mengejutkan Jonathan. Sekarang raut wajah Jonathan berubah menjadi serius, tidak lagi sesantai sebelumnya. Jonathan bersandar di kursi sambil bersedekap. "Bagaimana kalau kamu hamil?" "Aku belum tentu hamil." Melinda menjawab cepat pertanyaan tersebut. Melinda tahu kalau pria di hadapannya ini akan mengajukan pertanyaan itu padanya, dan Melinda sudah menyiapkan jawabannya. "Seandainya," ucap Jonathan penuh penekanan. Jonathan ingin tahu, apa yang akan Melinda lakukan jika sampai Melinda hamil? Apa Melinda akan memberi tahunya? Atau sama sekali tidak memberi tahunya? "Entahlah," balas Melinda lirih. Melinda tidak berpikir sampai sejauh itu, karena Melinda yakin, ia tidak akan hamil. Melinda juga tidak tahu kenapa ia bisa seyakin itu. Jonathan baru saja akan berbicara ketika ponsel milik Melinda yang ada di dalam tas berdering. Melinda bergegas meraih ponselnya, menghela nafas panjang saat tahu panggilan masuk tersebut dari Liora. "Maaf, tapi aku harus pulang." Melinda tidak mengangkat panggilan dari Liora, dan memilih untuk mematikan ponselnya supaya Liora tidak bisa lagi menghubunginya. "Silakan." Dengan perasaan berat hati, Jonathan mempersilakan Melinda pulang. "Makanannya biar aku aja yang bayar." Jonathan menghentikan Melinda yang baru saja akan memanggil pelayan untuk meminta bill. "Ok," balas Melinda gugup. Melinda sadar jika mood pria di hadapannya ini berubah, tidak lagi seramah atau sehangat sebelumnya, jadi Melinda tidak menolak sarannya, karena Melinda tidak mau mood pria tersebut semakin memburuk. "Terima kasih atas makan malamnya." Jonathan hanya mengangguk, lalu memanggil pelayan. Melinda bergegas pergi meninggalkan restoran, tak lama kemudian, Jonathan juga pergi meninggalkan tempat tersebut. Melinda pulang dengan perasaan yang jauh lebih baik dari sebelumnya, sedangkan Jonathan pulang dengan perasaan kacau. Jonathan pikir, Melinda mengajaknya bertemu karena Melinda ingin memintanya untuk bertanggung jawab, tapi nyatanya apa? Wanita itu malah memintanya untuk melupakan apa yang sudah terjadi diantara mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN