Begitu pintu apartemen tertutup, Melinda menyandarkan punggungnya di pintu, dan perlahan tapi pasti, Melinda jatuh terduduk di lantai.
"Bagaimana kalau gue hamil?" gumam Melinda dengan kedua tangan yang kini berada di atas perutnya.
Tanpa sadar, tangan kanan Melinda membelai perutnya dengan gerakan memutar, dan pelan. "Apa yang harus gue lakukan kalau gue sampai hamil?" tanyanya entah pada siapa.
Ucapan Jonathan tentang dirinya yang kemungkin besar akan hamil benar-benar mengusik Melinda, membuat pikiran serta perasaan Melinda kacau balau. Bahkan sekarang Melinda tidak bisa berpikir dengan jernih.
Hamil! Bagaimana kalau ia sampai hamil? Itulah yang terus Melinda pikirkan.
Melinda tidak akan terlalu pusing jika saja statusnya saat ini adalah seorang wanita yang sudah menikah, dengan kata lain memiliki suami yang jelas bertanggung jawab atas kehamilannya, tapi posisinya saat ini adalah wanita lajang, jangankan suami, pacar saja ia tidak punya. Apa nanti kata orang-orang saat melihatnya hamil di luar nikah? Mereka semua sudah pasti akan menghinanya, menjudgenya, mencapnya sebagai w************n, wanita tidak baik-baik, dan masih banyak lagi kata-kata menyakitkan yang akan ia dengar.
Akan ada banyak sekali kemungkinan yang terjadi jika sampai dirinya hamil. Kemungkinan pertama, ia akan menggugurkan kandungannya, tanpa memberitahu Jonathan jika dirinya hamil, karena kemungkinan besar, Jonathan juga akan memintanya untuk menggugurkan kandungannya, bukan? Pertanyannya sekarang adalah, apakah ia sanggup membunuh jabang bayi tersebut?
Melinda menggeleng dengan kedua mata yang kini sudah memerah, penuh dengan linangan air mata. Melinda tidak akan sanggup melakukan itu semua. Melinda tidak akan pernah bisa membunuh darah dagingnya sendiri. Jadi apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia meminta Jonathan bertanggung jawab dengan cara menikahinya? Tapi, apa Jonathan mau menikahinya? Bagaimana jika Jonathan tidak mau bertanggung jawab? Bagaimana jika Jonathan tidak mau menikahinya? Kabur, itulah yang terlintas dalam benak Melinda jika sampai Jonathan tidak mau bertanggung jawab.
Melinda tidak akan pulang ke kampung halamannya, tempat di mana orang tuanya berada, karena kedua orang tuanya, terutama sang bapak pasti akan sangat marah padanya. Kemungkinannya sangat kecil, tapi bisa saja kedua orang tuanya juga akan memaksanya untuk menggugurkan kandungannya. Melinda tidak akan mau membunuh darah dagingnya sendiri. Melinda akan melakukan apapun demi melindungi janin dalam kandungannya jik memang nanti ia hamil. Melinda akan melepas karir modelnya, dan hidup di tempat terpencil yang jauh dari hiruk pikuk kota.
Melinda menggeleng, menepis semua kemungkinan yang sejak tadi ada dalam pikirannya. "Enggak! Gue enggak mungkin hamil. Lo terlalu berpikir jauh, Melinda."
Melinda memejamkan matanya, kemudian menarik dalam nafasnya, lalu menghembuskannya secara perlahan-lahan.
"Gue butuh, Liora," gumam Melinda. Dengan tangan bergetar hebat, Melinda meraih ponsel dari dalam tasnya, kemudian menghubungi Liora.
Melinda tidak akan menghubungi Carissa ataupun Violin karena ini adalah hari libur, waktunya bagi kedua sahabatnya itu berkumpul dengan keluarganya masing-masing, berbeda dengan Violin yang saat ini masih lajang seperti Melinda.
"Melinda, kenapa semalam lo kabur gitu aja?" Liora bertanya dengan nada merajuk.
Semalam saat tahu kalau Melinda pergi, Liora jelas kesal, tapi kekesalan Liora tidak besar. Liora bukan hanya kesal, tapi juga sempat mengkhawatirkan Melinda. Liora takut kalau tadi malam, Melinda di bawa pergi oleh p****************g.
Melinda tidak menjawab pertanyaan Liora menggunakan kata-kata, tapi menggunakan tangisan.
"Mel, lo kenapa? Kok nangis sih?" Panik, itulah yang saat ini Liora rasakan.
Siapa yang tidak akan panik begitu mendengar sahabatnya menangis? Begitu mendengar tangisan Melinda, Liora seketika berpikir jika sesuatu yang buruk sudah terjadi pada sang sahabat.
Lagi-lagi Melinda tidak menjawab pertanyaan Liora, dan tangis Melinda saat ini malah semakin menjadi.
"Sekarang lo ada di mana? Gue ke sana sekarang juga." Liora tahu kalau saat ini Melinda pasti membutuhkannya, itulah alasan Melinda menghubunginya.
"Gue ada di ap-apartemen," jawab Melinda terbata.
"Lo diam di sana, gue ke sana sekarang juga, ok."
"Ok," balas lirih Melinda. Melinda senang karena Liora akan datang menemuinya.
Melinda menggenggam kuat ponselnya, lalu menenggelamkan wajahnya di kedua kakinya, dan mulai menangis. Melinda benar-benar menyesali kejadian tadi malam. Melinda menyesal karena tadi malam dirinya memutuskan untuk mabuk. Seandainya saja ia tidak mabuk, pasti kejadian tadi malam tidak akan terjadi. Pasti saat ini dirinya masih baik-baik saja, tidak kacau seperti sekarang ini.
Sekarang hanya ada kata seandainya.
Liora akhirnya sampai di apartemen Melinda setelah menempuh perjalan selama kurang lebih 15 menit lamanya.
Saat ini Liora sudah sampai di lantai tempat di mana unit apartemen Melinda berada. Liora menekan bel, tak lama kemudian, pintu terbuka.
Sejak tadi, Melinda di balik pintu, jadi begitu mendengar bel berbunyi, Melinda bisa dengan cepat membuka pintu.
"Melinda, lo kenapa?" Liora shock saat melihat betapa kacaunya penampilan Melinda saat ini.
Liora biasa melihat Melinda tampil anggun serta modis karena Melinda adalah seorang, jadi ketika melihat penampilan Melinda yang berantakan Liora shock, dan di saat yang bersamaan berpikir jika Melinda sedang menghadapi masalah besar.
Penampilan Melinda sangat berantakan, bahkan kini kedua mata Melinda memerah sekaligus juga membengkak, dan itu terjadi karena Melinda yang terus-menerus menangis.
Liora menumpukkan kedua tangannya di bahu Melinda, lalu mulai memeriksa kondisi Melinda, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Liora takut jika Melinda terluka.
"Syukurlah kalau lo sama sekali tidak terluka," gumam Liora lega. Liora tidak bisa melihat luka Melinda, karena secara fisik, Melinda memang tidak terluka, karena luka tersebut ada di dalam hati Melinda.
Dengan cepat, Liora memeluk Melinda. Melinda membalas erat pelukan Liora diiringi isak tangisnya yang semakin lama semakin menjadi.
Liora tidak mengatakan apapun, dan membiarkan Melinda menangis sesegukan dalam pelukannya, begitu juga dengan Melinda yang tidak mengatakan apapun pada Liora.
Liora menuntun Melinda untuk duduk di sofa ruang keluarga, setelah itu bergegas pergi mengambil air minum untuk Melinda.
Tak lama kemudian, Liora kembali, dan duduk di samping Melinda.
"Lo mau cerita sama gue tentang apa yang sebenarnya terjadi sama lo?" Liora bertanya lemah lembut.
Melinda tidak langsung menjawab pertanyaan Liora. Melinda menunduk, menghindari tatapan intens dari Liora.
Saat ini Melinda sedang bingung, haruskah ia memberi tahu Liora tentang kejadian buruk yang baru saja ia alami? Atau lebih baik tidak memberi tahu Liora tentang kejadian tersebut? Kira-kira, apa tanggapan Liora setelah tahu kejadian yang menimpanya? Apa Liora akan memandang rendah dirinya karena sudah mau melakukan hubungan intim dengan pria tak di kenal? Apa Liora akan bersimpati padanya? Atau justru Liora akan menjauhinya, karena Liora merasa jika ia bukanlah orang yang pantas untuk di temani?
Semua kemungkinan-kemungkinan tersebut membuat kepala Melinda pusing, dan Melinda tidak sanggup membayangkan jika itu semua terjadi padanya.
Liora mengusap pelan bahu Melinda. "Kalau lo belum mau cerita enggak apa-apa kok, gue enggak akan maksa."
Ucapan serta sentuhan Liora menyadarkan Melinda dari lamunannya.
"Terima kasih," ucap lirih Melinda sambil menunduk. Inilah Liora, tidak pernah memaksa jika memang dirinya belum siap untuk bercerita.
"Lo udah sarapan atau belum?"
"Udah kok," jawab Melinda sambil mengangguk.
"Ya udah sebaiknya lo istrirahat, lo terlihat sangat lelah." Melinda terlihat pucat, dan itu membuat Liora khawatir, karena itulah Liora meminta supaya Melinda pergi istirahat.
"Lo mau pulang?" Liora memintanya untuk istirahat, jadi Melinda berpikir jika Liora akan pergi meninggalkannya. Melinda berharap kalau Liora tidak akan pergi meninggalkannya karena ia sangat membutuhkan kehadiran Liora.
"Lo tenang aja, gue enggak akan pulang kok. Hari ini gue akan temani lo di sini."
"Beneran ya?"
"Iya, Melinda."
"Terima kasih," ucap Melinda sambil tersenyum simpul.
"Sama-sama. Ya sudah, ayo gue antar lo ke kamar, lo istrirahat di sana." Liora berdiri, begitu juga dengan Melinda. Liora mengantar Melinda pergi ke kamar, dan setelah itu Liora membiarkan Melinda istirahat.
Liora tidak mau mengganggu Melinda, jadi Liora memutuskan untuk bersantai di sofa ruang keluarga.
"Sebenarnya apa yang terjadi sama Melinda?" gumam Liora penasaran. Liora ingin tahu apa yang sudah terjadi pada sang sahabat, tapi di saat yang bersamaan, Liora tahu jika Melinda belum siap untuk bercerita, oleh sebab itulah Liora tidak akan memaksa Melinda untuk bercerita, dan akan menunggu sampai Melinda siap menceritakan semuanya.
Demi menghilangkan rasa bosan yang di alaminya, Liora memilih untuk bermain ponsel, menghibur dirinya sendiri.
Melinda mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa. Melinda terus memikirkan kejadian tadi malam, dan kemungkinan tentang dirinya yang akan hamil. Melinda sudah mencoba untuk tidak memikirkannya, tapi semakin ia mencoba untuk melupakannya, maka ia malah akan semakin mengingatnya.
***
Tak jauh berbeda dengan Melinda, saat ini Jonathan juga sedang menyesali kejadian tadi malam. Jonathan menyesali semua perbuatannya pada wanita yang di temuinya di club malam. Wanita yang baru saja ia temui sebanyak 2 kali.
Sekarang Jonathan berada di kamar. Tadi saat Jonathan pulang, Raline tidak ada, dan Jonathan tahu ke mana perginya Raline. Setiap pagi, Raline akan pergi berolahraga di gym yang ada area tempat tinggal mereka.
Sebenarnya di dalam rumah juga ada gym yang Jonathan buat tepat di halaman belakang rumah, tapi Raline lebih suka ngegym di luar, karena jika di luar Raline tidak sendiri, tapi bersama dengan para tetangga di sekitar mereka.
"b******k! Lo benar-benar pria b******k, Jonathan!" Umpat Jonathan pada dirinya sendiri.
Sejak tadi, Jonathan tidak hentinya-hentinya menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang sudah terjadi antara dirinya dan Melinda.
Jonathan berjalan mondar-mandir dengan penampilan yang terlihat sekali sangat berantakan. Jonathan menghentikan langkahnya, lalu memukul lemari yang ada di hadapannya menggunakan tangan kosong.
"Sialan! Benar-benar Sialan!" Untuk kesekian kalinya Jonathan mengumpat. "Bagaimana kalau dia benar-benar hamil? Apa yang harus gue lakukan jika sampai hal itu terjadi?"
Semalam Jonathan tidak menggunakan pengaman. Jonathan terlalu bernafsu sampai tidak sempat memikirkan untuk menggunakan pengaman.
"Akh!" Jonathan berteriak, kali ini memukul cermin yang ada di dinding sampai cermin tersebut pecah, dan pecahan dari cermin tersebut berserakan di lantai.
Sama seperti sebelumnya, Jonathan memukul cermin tersebut menggunakan tangan kosong, jadi sekarang, punggung tangan kanan Jonathan terluka cukup parah.
Luka yang terdapat di punggung tangannya cukup parah, tapi Jonathan sama sekali tidak merasa kesakitan.
"Kenapa ini sama sekali tidak terasa sakit?" gumam Jonathan sambil menatap tangannya yang kini mengeluarkan darah segar.
"Sialan!" Jonathan pergi ke kamar mandi, membasuh luka di tangannya menggunakan air mengalir. Jonathan membalut tangannya menggunakan handuk, tak ingin ada yang melihat luka tersebut.
Setelah itu Jonathan keluar dari dalam kamar, dan pergi menuju lantai 1.
"Bi!" Teriak Jonathan sesaat setelah keluar dari lift.
Tak lama kemudian, Bi Laksmi datang menghampiri Jonathan.
"Iya, Tuan, ada apa?"
"Tolong bereskan kamar saya, saya tadi tidak sengaja memecahkan cermin di walk in closet."
Bi Laksmi terkejut, lalu tanpa sadar, menatap telapak tangan kanan Jonathan yang di balut oleh handuk.
"Bi!" Jonathan menegur Bi Laksmi.
Teguran Jonathan mengejutkan Bi Laksmi. "Baik, Tuan. Bibi akan segera membereskannya."
"Tolong hati-hati ya, Bi, soalnya pecahannya ada di mana-mana." Jonathan tidak mau Bi Laksmi terluka.
"Iya, Tuan. Bibi akan berhati-hati."
Jonathan mengucap terima kasih, lalu memutuskan untuk istirahat di ruang kerjanya.
Sementara itu Bi Laksmi pergi ke kamar Jonathan untuk membereskan kekacauan yang Jonathan buat.
Jonathan sudah memasuki ruang kerjanya, dan saat ini sudah berbaring di sofa. Ukuran sofa tersebut sangat panjang, dan cukup luas, jadi bisa menampung tubuh Jonathan tanpa membuat pria tersebut merasa kesempitan.
"Gue berharap kalau dia akan menghubungi gue." Jonathan menatap ponselnya yang ada di meja, berharap besar kalau Melinda akan segera menghubunginya. Tadi saat akhirnya sampai di apartemen Melinda, Jonathan sempat meminta nomor ponsel Melinda, tapi Melinda menolak untuk memberikan nomor ponselnya pada Jonathan. Jonathan tidak mau memaksa Melinda, jadi sekarang Jonathan hanya bisa menunggu Melinda menghubunginya.
Perlahan tapi pasti, Jonathan tertidur. Tadi malam Jonathan tidak bisa tidur dengan pulas, jadi pagi ini Jonathan masih mengantuk.
Selang 1 jam kemudian, Raline pulang.
"Bi, apa suami saya sudah pulang?"
"Sudah, Nyonya. Saat ini Tuan Jonathan sedang berada di ruang kerjanya."
"Sejak kapan suami saya pulang?"
"Sekitar 1 jam yang lalu, Nyonya."
Raline hanya mengangguk, dan baru saja akan pergi meninggalkan ruang keluarga begitu mendengar telepon rumah berbunyi.
"Biar saya yang angkat, Bi."
"Baik, Nyonya." Bi Laksmi pergi meninggalkan Raline, dan kembali ke dapur.
"Halo."
"Raline, ini Ibu."
"Iya, Bu, ada apa?"
"Apa nanti malam kamu dan Jonathan ada acara?"
"Raline sih tidak ada acara, Bu. Tapi enggak tahu kalau Mas Jonathan, Raline belum tanya, emangnya kenapa, Bu?"
"Kalau kalian tidak memiliki acara, nanti malam kalian bisa datang tidak ke rumah? Kebetulan malam ini keluarga besar berkumpul di sini."
"Bisa kok, Bu. Nanti Raline telepon lagi ya, Bu. Raline mau kasih tahu Mas Jonathan tentang acara nanti malam."
"Baiklah, terima kasih banyak, Raline."
"Sama-sama, Bu." Setelah mengakhiri sambungan teleponnya dengan sang ibu mertua, Raline pergi menuju ruang kerja Jonathan.