Chapter 6: Penawaran

1127 Kata
Sudah satu bulan berlalu, Ghani sudah bekerja di perusahaan yang baru bahkan sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Hubungan dengan Nesya, Ghani masih berusaha untuk bersikap biasa saja. Pagi ini, ketika Ghani sudah bersiap berangkat kerja, mereka bertemu di meja makan. Kebiasan Nesya yang selalu membuat sarapan tidak pernah berubah, kali ini mereka makan dalam diam. Nesya tampak murung dan juga wajahnya sedikit pucat. “Kamu sakit, Nes?” tanya Ghani. Nesya menghentikan makan roti isi nya dan melihat Ghani dengan kaget, “Enggak, cuma lagi gak enak badan aja.” “Hari ini gak usah kerja dulu aja, istirahat dirumah.” Saran Ghani. Nesya menggeleng, “Aku lagi banyak kerjaan di kantor.” “Ya udah terserah kamu aja, kalau gak kuat jangan dipaksain.” Ghani bangkit membawa gelas yang tadinya berisi s**u cokelat ke wastafel untuk di cuci kemudian Ghani pamit untuk berangkat lebih cepat. Sesampainya dikantor ia langsung disibukkan dengan tumpukan kertas yang siap untuk di input dan diolah laporannya, ada beberapa berkas Ghani bawa untuk di perbanyak di mesin fotocopy. “Ghani?” seseorang memanggilnya. Ghani menoleh ke sumber suara, dihadapannya ada Kamila yang tengah memandang Ghani sambil tersenyum. “Kamu kerja disini?” “Bu Kamila? Iya saya kerja disini bu. Ibu sendiri?” “Saya nyamperin Ervin disini, kamu gak tau?” Ghani menggeleng, “Saya baru kerja disini bu.” Kamila mengangguk. “Ya udah saya pergi dulu ya, nanti kita ngobrol lagi.” setelah itu Kamila berjalan melewati Ghani menuju pintu diujung ruangan yang selalu ditutup rapat. Saat Ghani kembali ke meja kerjanya, rekan kerja nya, menyenggol tangan Ghani dan bertanya, “Kamu kenal sama bu Kamila?” tanya Hannah. “Enggak, cuma pernah ketemu gak sengaja.” “Ketemu dimana?” “Dijalan.” Ghani tidak memerjelas kalimatnya karena ia tidak ingin Hannah tahu bagaimana cara mereka bertemu yang sebenarnya. “Kamu tau bu Kamila itu siapa? Dia istrinya Pak Ervin salah satu direksi di perusahaan ini.” Ghani diam aja, memilih menyimak Hannah bercerita. Mereka udah lama menikah tapi belum dikasih anak aja.” Ujar Hannahmulai bergosip. “Jangan gossip.” Tegur Ghani perlahan takut jika ada yang mendengar. Apalagi saat ini ada Kamila yang datang. Bagaimana jika Kamila mendengar obrolan karyawan suaminya tentang dirinya? Kemudian Ghani memilih untuk meneruskan pekerjaan yang seakan tidak ada habisnya itu. Pada jam pulang Ghani bertemu lagi dengan Kamila di lobby, ia tampak sedang menunggu seseorang. Begitu ia melihat Ghani keluar dari lift wajahnya lalu berseri kemudian menghampirinya. Ghani agak canggung karena beberapa rekan kerjanya mulai memperhatikannya. “Bu Kamila masih disini?” “Iya saya mau ngobrol sama kamu, ada waktu?” Sebenarnya Ghani sudah ingin pulang namun ia tak kuasa menolak ajakan Kamila. Lagipula kalaupun Ghani menolak, Kamila pasti bertanya dan itu membuat rekan kerjanya lebih kepo lagi, maka diputuskan ia menuruti kemuauan Kamila. Mereka sudah berada di salah satu kedai kopi yang letaknya tak jauh dari gedung kantor. Kamila sudah memesankan kopi untuk mereka berdua. “Kamu suka kopi kan?” tanya Kamila memastikan. Ghani mengangguk. “Sebenarnya ada apa bu mengajak saya bertemu?” Kamila tersenyum, “Waktu tadi saya bertemu dengan mu saya agak sedikit kaget. Kenapa kamu ada di kantor suami saya.” “Saya juga tidak tau mengenai hal itu.” “Iya saya tau, Manager HRD mu adalah teman baik saya juga. Kamu udah lama kerja?“ ujar Kamila. “Lumayan udah mau satu bulan.” “Kamu tinggal dimana, Ghan?” Ghani menyebutkan daerah tempat tinggalnya yang memang tidak begitu jauh dari sini. Ia masih dilanda kebingungan karena Kamila belum menjawab pertanyaannya. Ghani memilih untuk meminum Americano yang dipesankan untuknya. “Kamu sudah dengar kan, berita tentang saya di kantor Ervin?” “Saya baru tau kalu Pak Ervin juga bekerja di perusahaan tempat saya bekerja. Selebihnya, saya hanya mendengarkan rumor.” Kamila tersenyum menanggapinya, “Yah, kita tidak bisa membungkam mulut setiap orang yang ingin membicarakan kita dibelakang kan. Maksud dan tujuan saya akhirnya mau bertemu dengan mu lagi adalah saya ingin meminta bantuan kamu.” “Bantuan apa bu?” “Untuk menikah dengan suami saya dan melahirkan anaknya.” Ghani sukses terbelalak mendengar permintaan dari Kamila yang tampak dengan tenang berada didepannya. “Maaf bu? Bisa diulangi lagi?” “Aku mau kamu menikah dengan suami saya, hamil dan kemudian melahirkan.” Kamila mengulangi kalimatnya dengan sedikit penjelasan. “Saya masih gak mengerti bu. Kenapa saya harus menikah dengan suami ibu?” “Dari rumor yang udah kamu dengar, saya ingin punya anak tapi sampai detik ini saya belum juga hamil. Berbagai metode program hamil sudah saya coba tapi masih nihil. Ini adalah ide saya. Saya ingin meminjam Rahim kamu untuk melahirkan anak Ervin.” “Biar saya luruskan. Kita baru saling mengenal beberapa minggu lalu itupun karena suatu kejadian yang tidak sengaja. Sekarang ibu minta tolong saya untuk menikah dengan suami ibu dan melahirkan anaknya, ibu gak memikirkan gimana kagetnya saya?” “Saya minta maaf Ghani, saya tau ini terburu-buru tapi saya juga tidak punya banyak waktu lagi. Kamu mau bantuin saya kan?” “Bu Kamila, ini bukan bantuan sepele yang bisa langsung di-iyakan tanpa berpikir. Saya menolak dan maaf ibu sudah gila. Saya lebih baik permisi.” Ghani memilih bangkit dan meninggalkan Kamila yang tampaknya akan mencegahnya, sebelum itu terjadi Ghani lebih dulu melesat pergi. Dalam perjalanannya menuju rumah, Ghani tidak bisa berhenti memikirkan pembicaraannya dengan Kamila, ia bahkan menggelengkan kepalanya beberapa kali di angkutan umum sampai beberapa orang melihatnya. Selama dia hidup, baru kali ini ia diminta untuk menikahi suami orang. Ia juga tidak habis pikir dengan pemikiran Kamila. Mana ada istri mau berbagi suami dengan perempuan lain? Lalu ia memutuskan untuk tidak memikirkannya.   ***   Sepeninggal Ghani, Kamila masih berada di kafe tersebut dan tertegun. Ia sadari betul dengan apa yang sudah diperbuatnya, namun ia sudah kehabisan akal bagaimana mempersingkat waktunya karena waktunya tidaklah banyak. Dari beberapa pengalaman yang sudah ia baca di internet, seharusnya mencari ibu pengganti adalah wanita yang pernah hamil dan sudah melahirkan namun Kamila memilih perempuan single dan bahkan belum pernah melahirkan. Nalurinya lah yang berkata. Kamila mengambil handphone didalam tas nya karena benda itu bergetar menandakan ada panggilan masuk. “Gimana udah ketemu orangnya?” tanya suara perempuan diseberang telepon. “Udah tapi orangnya kabur.” “Maksudnya? Tunggu dulu, lo langsung kasih tau maksud dan tujuannya?” “Iya…” “Ya pantes aja orangnya kabur, emang gak bisa lo basa-basi sedikit?” “Tapi kan ujungnya juga bakalan begitu, ya udah mending langsung aja mau nya apa.” “Tapi sekarang lo ditolak,” “Ntar gue pikirin caranya.” “Emang yakin?” “Harus bisa.” Kamila memberikan penekanan kemudian setelah itu ia memutuskan sambungan telepon dan bangkit untuk pergi dari tempat itu.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN