DUA BELAS

1538 Kata
“Lo udah bawa roofies?” tanya Claude saat pemuda itu baru saja datang. Kantung mata yang menghitam menghiasi penampilannya di pagi hari ini. Jika saja Sam tidak ada di rumah Raga, mungkin Claude akan membolos kuliah seperti hari-hari sebelumnya jika ia pulang larut dan mabuk. “Kenapa muka lo?” Julian tertawa. “Nih.” Pemuda itu memberikan sebotol kecil obat yang Claude inginkan. “Nyokap gue. Semalem dia ngegepin gue balik sambil mabok.” Claude mengacak rambutnya kesal. “Ini makenya gimana?” “Lima tetes aja cukup.” Julian menunjukan lima jarinya. “Muka lo rungsep banget sih, anjir.” “Iya. Nyokap gue ngancem suruh gue tunangan. Anjir, kan?” Claude memangku wajahnya dengan tangannya. Mata pemuda itu masih terasa perih karena mengantuk. “Terus? Lo mau?” Julian yang tak bisa berhenti menertawakan Claude itu bertanya. “Enggak, lah. Makanya gue pengen buru-buru ngerjain tuh cewek. Kalo videonya tersebar, nyokap gue mau enggak mau nikahin gue sama dia, kan?” Claude berujar enteng. “Lo mau nikah sama dia emang?” Julian menaikan sebelah alisnya. “Nikah sama dia? Enggak, lah! Tapi yaaa enggak buruk juga, sih. Maksud gue, dari pada sama cewek yang nanti nyokap gue jodohin, mendingan Sky, kan? Bisa gue suruh-suruh, bisa gue apain aja. Enggak pusing gue nantinya,” jelas Claude akan rencana yang sudah dia pikirkan. “Kalo yang nyokap lo jodohin itu lebih cantik gimana?” tanya Julian. “Lo pikir Sky cantik sampe bilang ada yang lebih cantik?” Claude tertawa. “Kalo di liat sih, lumayan juga. Tapi emang cupu banget gayanya. Perlu modal gede buat vermak mukanya jadi cakep.” Julian menggoyangkan tangannya tanda menolak Sky. “Eh, si Gabe mana?” tanya Claude yang tak menemukan sosok Gabe di meja mereka. “Belom dateng.” Julian mengedikan bahunya. “Tumben.” ***** “Kemaren lo kemana?” tanya Gabe pada Sky saat pemuda itu menyalakan mesin mobilnya. “Pergi sama ... temen,” jawab Sky berbohong. Gadis itu mulai menyadari keretakan hubungan antara Gabe dan Miranda. “Jangan ngerepotin gue. Gue enggak mau sampe Mami nelpon dan nanyain lo, tapi gue enggak tau lo dimana. Lo udah bebanin gue dengan tinggal sama gue. Jadi jangan bebanin gue lagi sama hal yang lain,” ujar Gabe sebelum menginjak pedal gas mobilnya. Sky hanya bisa diam dan menuruti apa yang Gabe katakan. Sebab posisi gadis itu disini adalah posisi yang tak bisa berbuat apa-apa selain menurut pada kakaknya itu. “Turun!” Seperti biasa, jika Sky pergi ke kampus dengan Gabe, pemuda itu akan menurunkan Sky sebelum mereka sampai di dekat kampus. “Makasih tum—” Gabe pergi begitu saja sebelum Sky sempat mengucapkan terima kasih kepadanya. Sky mengepalkan tangannya, ia butuh sandaran. Ia butuh seseorang untuk menceritakan keluh kesah yang selama ini ia tahan. “Eh, Uler.” Juna tiba-tiba datang dengan motor maticnya. “Apa?!” Sky yang tak bisa menahan kepedihan hatinya itu akhirnya mendapatkan sasaran empuk saat Juna datang. “Kenapa diem disini? Mau cabut lo ya mentang-mentang udah dapet beasiswa?” Wajah Juna jelas sekali mengejek Sky. “Mau lo apaan sih, Jun? Muka dua, lah. Uler, lah. Terus lo ngehina gue pagi-pagi.” Sky menatap tajam ke arah Juna yang malah menertawakannya. “Soalnya kalo gue panggil Muka Dua, kepanjangan. Jadi gue persingkat aja jadi uler. Abis, gue liat lo ngejerat cowok-cowok kaya, sih.” Juna lagi-lagi mengejek Sky. “Maksud lo apa?!” Jelas sekali Sky tidak menerima apa yang Juna katakan tentang dirinya menjerat pria-pria kaya. “Lo pikir gue enggak tau lo turun dari mobil siapa?” Juna menyeringai. “Abis Claude, sekarang Gabe. Besok Julian, ya?” Deg. Sky berdiri terpaku. Akan gawat untuk Sky jika sampai gosip tentang dirinya dan Gabe menyebar di kampus. Kakaknya itu bisa saja meninggalkannya. “Jangan sembarangan lo!” Sky menggeram marah. “Ya, bukan urusan gue juga, sih. Gue kan gue cuma nanya.” Juna tertawa melihat wajah kesal Sky. “Lo mau bareng, enggak?” “Enggak! Sana, lo!” Sky membalikan tubuhnya dan berjalan dengan cepat, meninggalkan Juna yang senang karena telah mengejek Sky di pagi yang cerah ini. Satu hal yang Juna yakini, Sky menjadi dirinya sendiri saat bersama dengan Juna. Meski begitu, tetap saja kepribadian Sky yang patut di pertanyakan itu membuat Juna ngeri sendiri berada di dekat Sky. ***** “Cowok mana lagi tuh yang dia godain?” “Heran gue. Bisa ya, kampus kita nerima orang enggak pake liat latar belakangnya dulu?” “Iya! Sama aja nurunin kualitas kampus kita, kan?” “Apa kita protes aja ke kampus supaya ngeluarin dia?” “Boleh. Kita harus bikin dia keluar dari sini!” “Tapi di belakang dia ada Claude, kan? Lo yakin mau lawan Claude? Gue takutnya malah kita yang di keluarin. Lo tau, kan, sekali kita di keluarin enggak hormat dari nih kampus, kita susah mau masuk ke mana-mana. Apa lagi lulusan dari sini itu pasti dapet koneksi yang bagus dari alumni.” “Kalo gitu, kita bikin tuh cewek murahan yang angkat kaki dari sini.” Lagi-lagi, secara terang-terangan mahasiswa di kampus Sky membicarakannya. Bahkan rencana yang seharusnya dibicarakan diam-diam malah dibicarakan langsung di hadapan Sky. Semua terjadi karena kampusnya yang digemparkan dengan penampilan Sky pagi hari ini. Perubahan gaya rambut, pakaian, bahkan wajah Sky yang dirias seminimal mungkin tetapi malah terlihat sangat cantik itu membuatnya menjadi bahan pergunjingan orang-orang yang tak menyukainya. “Wow, siapa, nih?” tanya Claude yang tak sengaja berpapasan dengan Sky di koridor kampus. “Pacar gue?” Claude masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dalam sekejap, ia merasa jika dirinya melihat orang lain. Sky yang tak tahu harus berkata apa hanya diam saja saat Claude merangkul bahunya. “Ayo, ikut. Ada yang mau gue omongin.” Claude berbisik di telinga Sky. Sejujurnya Sky merasa tidak nyaman dengan apa yang tengah terjadi. Ia tak suka menjadi pusat perhatian. Ditambah lagi berita tentang dirinya dan Claude sudah menjadi buah bibir. Tetapi Sky tidak bisa berbuat apa-apa selain diam dan menerima. Sky pun akhirnya mengikuti Claude ke ruang musik yang ada di kampus mereka. “Lo pinter juga. Gue bilang apa, lo turutin.” Claude mengangguk-anggukan kepalanya. “Muka lo jadi lumayan enak diliat, sih.” Claude memperhatikan wajah Sky. “Lo sampe ganti gaya rambut?” Claude masih saja terkesima dengan perubahan Sky. “Tapi, gue boleh tau sesuatu, enggak?” tanya Claude. “Tanya apa?” Sky yang merasa tidak nyaman karena berada di ruangan tertutup berdua dengan Claude hanya ingin dirinya cepat-cepat keluar dari sana. Apa lagi mereka berada di kampus yang sudah berubah menjadi neraka dunia untuk Sky. “Lo abis ngelayanin siapa aja? Duit lo banyak juga, ya.” Claude tertawa meski dalam hati ia yakin jika Sky masih perawan. Namun lebih dari itu, Claude bisa bernapas lega karena mungkin ia takkan merasa bersalah setelah mereka selesai bermain. “Kakak jangan ngomong sembarangan. Aku ....” “Gue enggak suka di bantah.” Tawa Claude hilang seketika saat ia mendengar nada penolakan atas ucapannya dari Sky. “Lo tinggal bilang aja lo di bayar berapa. Selesai, kan? Gue cuma penasaran karena gue tau yang nempel di badan lo bukan sesuatu yang bisa lo beli pake uang lo sendiri.” Sky hanya diam mengunci mulutnya rapat-rapat. Dalam hati ia mengutuk. Untuk apa Claude bertanya tentang sesuatu yang jawabannya sudah pemuda itu tentukan sendiri? “Denger!” Claude mengangkat wajah Sky yang sedari tadi menunduk dengan jari telunjuknya. “Nanti malem gue jemput lo. Pake baju yang layak dan sedikit terbuka. Gue enggak mau lo salah kostum. Gue yakin baju lo banyak. Enggak masalah lo pake baju yang pernah lo pake buat ngelayanin orang lain.” Mendengar ucapan Claude, Sky mengepalkan tangannya. Selalu seperti itu. Sky selalu dipaksa untuk diam dan menerima saat orang lain menghinanya habis-habisan. Sebab jika Sky menjawab, ia hanya akan memperkeruh keadaan dan membuat orang yang menghinanya lebih gencar lagi untuk semakin menghinanya. “Jam delapan. Telat satu detik, lo tau akibatnya apa.” Claude melepaskan tangannya dari wajah Sky. “Iya.” Sky hanya bisa menjawab seperti itu. Sebab dimana pun dirinya berada, ia hanya boleh mengatakan ia. Ia hanya boleh menerima segala bentuk penghinaan. Dan ia hanya boleh menundukan kepalanya dalam-dalam. “Sekarang lo keluar.” Claude menggerakan tangannya untuk mengusir Sky dari sana. Saat Sky keluar, gadis itu berpapasan dengan Jane yang sempat melihat ke dalam ruang musik. “Jane.” Sky berujar pelan. “Jangan berani nyebut nama gue sama mulut kotor lo!” Jane menatap tajam ke arah Sky. “Lo itu bener-bener enggak tau malu, ya?” “Maaf, Jane. Aku—” Plakk. “Udah gue bilang, kan?!” Jane yang lepas kontrol karena mendapati Sky baru saja menemui Claude tanpa sadar menampar wajah cantik Sky. Tetapi saat menyadarinya, Jane tak merasa bersalah sama sekali. Gadis itu berlalu begitu saja meninggalkan Sky yang menahan perih di pipinya. “Maaf.” Sky hanya bisa meminta maaf saat dirinya tak melakukan kesalahan sekali pun. Sky benar-benar ingin berhenti untuk hidup seperti ini. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan untuk bertahan di sisi Gabe? Jika ia menyerah sekarang, jika ia bertingkah sekarang, Gabe akan semakin membencinya. “Aku harus apa, Bang?” *****  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN