Waktu di sudut layar ponsel Julliet menunjukkan angka 03.03. Angka keberuntung, Julliet dapat membuat permohonan, kata Rachel. Dan satu-satunya yang terucap di dalam hati gadis mud aitu saat berdiri di depan sebuah pintu kayu berwarna cokelat adalah harapannya tentang semua cerita-cerita mengerikan tidaklah nyata. Rachel tidak meninggal dan kini sedang membaca n****+-n****+ kesayangannya di dalam kamar sambil menunggu Julliet datang dengan kripik kentang beraroma sapi panggang kesukaannya.
Namun suara derit pintu yang dibuka dari dalam membuyarkan lamunan tersebut. Pandangan sendu dari Mrs. Ferr yang menyambut kedatangan Julliet telah menepis semua harapan-harapan yang diciptakan gadis muda itu di dalam pikirannya sendiri. Senyuman getir yang berusaha ditunjukkan oleh wanita yang lebih tua dari Emma tercetak jelas di sana. Ia tidak bisa membendungnya. Begitu pula dengan sensasi panas di semua sudut matanya, yang menyebabkan air muncul dan jatuh tanpa meminta izin sedikitpun.
Dengan cepat wanita bernama Claire Ferr itu memajukan langkah, mencondongkan tubuh dan memeluk Julliet yang mengingatkannya kepada sang putri kesayangan yang telah tiada. “Kau datang,” bisiknya dengan lirih.
Julliet ikut merasa sedih, kehampaan kembali memenuhi dirinya. Mrs. Ferr mungkin sedikit emosional, sehingga Julliet ikut turut merasakannya. Kehilangan orang yang kita sayang bukanlah sesuatu yang mudah diterima. Namun kali ini, gadis berambut cokelat itu bersikap lebih tegar. Ia tidak lagi menangis, berpura-pura kuat agar tidak membuat ibu dari sahabatnya menangis lebih keras atau bahkan pingsan di sana.
Julliet kemudian menatap wajah wanita dengan pakaian serba hitamnya dengan iba saat Mrs. Ferr merenggangkan pelukan. Warna dari pakaiannya yang dominan dengan gelap, menandakan bahwa dirinya masih larut dalam duka, keluarga ini masih berkabung meski kematiannya sudah berlalu sejak beberapa hari yang lalu, mungkin hampir sepekan. Belum lagi lingkaran hitam yang menghiasi kedua mata kecil milik Mrs. Ferr, Julliet langsung tahu bahwa wanita itu pastilah terjaga sepanjang malam hanya untuk meratapi kejadian yang menimpa putrinya, menyesali setiap waktu yang terlewat tanpa sempat mereka habiskan dengan kenangan-kenangan yang indah.
Julliet tahu bahwa sahabatnya memiliki keluarga yang tidak bahagia. Mrs. Ferr dan Mr. Michael Lane tengah mempersiapkan perceraian mereka. Rachel memiliki seorang ibu yang bekerja siang malam demi bisa memenuhi kebutuhannya dan keluarga. Mereka tidak banyak menghabiskan waktu bersama. Itulah sebabnya Rachel membutuhkan Julliet. Gadis dengan rambut pirangnya yang lembut itu selalu datang kepada Julliet meski gelar popular tidak ada di bagian manapun dalam namanya. Rachel yang kesepian dengan Julliet si gadis penyendiri. Mereka sangat cocok dan semua orang tahu itu. Julliet bahkan tidak peduli dengan rumor yang dibuat oleh murid-murid pembully, yang mengatakan bahwa mereka berdua adalah lesbian, menjalanin hubungan terlarang secara diam-diam, berkedok persahabatan. Tidak, Rachel tidak seperti itu.
Ia kemudian membuktikannya dengan mulai berkencan dengan Robin, hubungan mereka berjalan baik-baik saja pada awalnya, mungkin sekitar beberapa bulan. Sampai tiba-tiba Rachel berkunjung ke rumah Julliet, dengan ekspresi sedih yang berusaha mati-matian ia tahan dan disanalah gadis itu menceritakan kelanjutan dari hubungannya dengan Robin yang berujung dengan sebuah pengkhianatan. Robin berkencan dengan Maribeth, sang penyanyi sekolah. Dikenal lebih cantik, lebih terkenal dan tentu saja, guru-guru menyukainya karena terlahir dengan bakat luar biasa. Suaranya indah, orang-orang bilang seperti nyanyian dari surga. Mereka berlebihan, pikir Julliet. Kalimat hiperbola itu mungkin diciptakan hanya untuk memanipulasi Rachel yang suasana hatinya mudah sekali berubah dan sangat perasa. Saat Julliet bertanya, apakah Rachel memiliki bukti terkait perselingkuhan yang dilakukan oleh pacar dan teman sekelasnya sendiri, jawaban Rachel adalah iya. Rachel melihat bahwa Robin dan Maribeth bertemu di sebuah taman kota, lokasinya cukup dekat dengan rumah Julliet dan Rachel, dimana akhirnya Rachel dapat melihat secara jelas bahwa Robin dan Maribeth sangat menikmati pertemuan mereka.
Meski tidak sepenuhnya yakin, tentu tidak ada yang dapat dilakukan oleh Julliet selain mendengarkan keluh kesah sahabatnya itu dan mempercayai semuanya, tanpa mengkonfirmasinya dari pihak yang lain. Lagipula, ia tidak terlalu dekat dengan Robin. Mereka berada di kelas yang sama, tidak pernah saling bertegur sapa. Hanya sesekali melihat Robin dan Rachel berbicara, cukup dekat. Mereka berdua tampak seperti pasangan yang romantic. Benar-benar disayangkan. Sayang sekali hubungan mereka berakhir dan sayang sekali Julliet tidak tahu banyak tentang laki-laki bermata hijau yang menyukai baseball.
Namun sekali lagi, Rachel tidak terlihat begitu sedih malam itu. Saat ia putus dengan Robin. Semuanya terlihat baik-baik saja.
“Maaf karena aku sedikit terlambat,” kata Julliet setelah dipersilakan duduk. “Aku sedikit –kebingungan.”
Mrs. Ferr mengangguk sembari mengulas senyum di bibirnya. Kedua sudut bibir itu terangkat dengan sangat tulus. Ia jelas menunjukkan bahwa dirinya memang tidak ada masalah dengan yang satu itu. “Aku turut prihatin, soal ingatanmu.”
Julliet menganggukkan kepalanya. “Ini lebih sulit daripada yang kubayangkan, Mrs. Ferr.”
Wanita dengan rambutnya yang digulung itu lantas mengatup bibirnya, ikut mengangguk paham. “Apakah kau mau minum sesuatu?”
“Tidak, Mrs. Ferr,” tolak Julliet. “Aku berkunjung untuk menanyakan sesuatu, aku sangat berharap kau bisa membantuku mengingat lebih banyak.”
Wanita itu lantas tersenyum dan bertanya, “Apakah ada sesuatu yang ingin kau tanyakan, Julliet?”
“Ini mungkin sedikit menganggu, kuharap kau tidak keberatan.”
“Baiklah,” tukas Mrs. Ferr dengan santai. Suasana di antara mereka juga sudah tidak setegang sebelumnya. Bahkan tanpa suguhan teh panas atau cemilan-cemilan kecil, mereka mampu membangkitkan kenyamanan di antara mereka. “Adakah yang sangat ingin kau tahu, Nak?”
Mrs. Ferr mengenal Julliet sebagai sahabat terdekat yang dimiliki putrinya. Mereka selalu terlihat bersama, menghabiskan akhir pekan dengan film dan buku-buku. Inilah sebabnya wanita berusia 47 tahun itu sudah menganggap Julliet sebagai anaknya sendiri, seperti Rachel. Ditambah, usia mereka memang sebaya dan mereka berada di sekolah bahkan kelas yang sama. Bertahun-tahun mengenal Julliet, Mrs. Ferr kini akan selalu teringat dengan putrinya karena Julliet di sana.
“Tentang Rachel. Bagaimana kau bisa menemukannya di sekolah, Mrs. Ferr?”
“Well, aku menerima sebuah pesan.”
Dahi Julliet pun berkerut dalam. “Pesan?”
“Itu pesan di ponselku. Mereka bilang Rachel mungkin dalam bahaya, di sekolah,” lanjut Mrs. Ferr.
“Apakah kau tahu siapa pengirim pesan itu?”
Ada jeda di sana. Beberapa detik, sampai kemudian wanita dengan tubuhnya yang kurus itu menganggukkan kepalanya mengiyakan. “Tentu.”
“Siapa pengirim pesan itu, Mrs. Ferr?”
“Itu adalah kamu.”
Julliet mengernyitkan keningnya bingung. “Apa?”
“Kaulah orang yang mengirimkan pesan itu kepadaku, malam itu, Julliet. Apakah kau sama sekali tidak dapat mengingatnya?” Mrs. Ferr merendahkan suaranya, khawatir jika intonasi dalam cara bicaranya menganggu kondisi Julliet yang memang masih belum stabil. “Kau mengirimkan pesan itu kepadaku dan bahkan aku masih menyimpannya. Apa kau perlu melihat isi pesannya sekarang?”
***