BAB 12

1066 Kata
Claudia Mahveen selalu terlihat cantik dan anggun. Bukan karena dirinya adalah Ibu Negara, seorang istri dari presiden negeri ini namun karena karismanya memang dapat dirasakan oleh siapa saja. Claudia tersenyum ketika bertanya kepada Rama dan Saima, "Kalian masih ingat apa yang kalian bicarakan saat pesta sweet seventeen Rama di Bali?" "Kamu berumur 7 tahun waktu itu, Saima." Ibunya, Anaria Searajana berkata. "Saima, kamu minta dinikahi Rama." Claudia dan Anaria berujar bersamaan. Dua wanita anggun itu tertawa dengan kenangannya. "Selamat ulang tahun, Kak Rama. Semoga aku jadi istri kakak. Kamu ingat, Sai?" Saima merasa pipinya memerah mendengar ibunya yang mencoba menirukan suara bocah. Apa Saima benar-benar mengatakan itu? Malu sekali. "Apa putra Tante seganteng itu, Sai?" Claudia tidak berhenti tertawa lalu menatap Rama, "Mama juga masih inget jawaban kamu, Rama. Iya nanti kita menikah, dek. Tapi kamu harus besar dulu." "Mama," Rama berhenti menikmati makan siangnya untuk berdeham. Canggung. Meski terlihat tenang, dirinya merasa diejek dan disudutkan sang ibu. "Saima masih kecil waktu itu dan Rama yakin kami berdua nggak tahu apa yang kami bicarakan." "Tapi kalian sudah besar sekarang dan sama-sama single. Mungkin kata-kata 18 tahun lalu akan jadi kenyataan. Sangat setuju jika kalian menikah. Iya kan, Bu Anaria?" Anaria Searajana mengangguk sopan. "Benar, Bu Claudia." Saima terbatuk. Ia kira makan siang kali ini hanya undangan murah hati dari Claudia bukan untuk membahas hal serius. Rama menyadari bahwa Saima terlihat tidak nyaman sehingga ia meminta dengan sopan kepada Claudia untuk menyelesaikan makan siang terlebih dahulu dan mengajak Saima berjalan-jalan. "Maaf kalau kamu nggak nyaman," ujar Rama ketika mereka berdua berjalan bersama. Saima menggeleng. "Bukan itu, Mas. Harusnya kita juga sadar bahwa ibu kita akan membahas ini." "Biar saya luruskan, Saima." Rama membuat perempuan itu menatapnya. "Mungkin keluarga kita ingin melakukan perjodohan, tapi saya nggak akan memaksa. Kalau kamu memperbolehkan, saya ingin mengenal kamu. Saya akan mendekati dan mengambil hati kamu karena saya mau, bukan karena perjodohan. Saya berniat serius mendekati kamu apa kamu mau?" Kalimat Rama sangat tenang, Saima bisa mendengar kesungguhan dari sana. "Meski kita mengenal sejak kecil, saya rasa saya masih sangat kurang mengenal kamu jika kita berdua ingin jadi pasangan. Kalau kamu mau mencoba memiliki hubungan dengan saya, saya akan mengambil kesempatan itu. Jujur, saya suka kamu." Rama menyentuh tangan Saima dengan hati-hati. "Nggak perlu dijawab sekarang," ujar Rama. "Kamu dan saya bisa memulainya kalau kamu siap." "Boleh, Mas." Tapi Saima menjawabnya. "Mas Rama boleh memiliki hubungan dengan saya." Rama tersenyum, sentuhannya menjadi genggaman di tangan perempuan itu. "Terima kasih, Saima. Saya akan menjadi baik untuk kamu." "Mas sudah baik." Saima menahan napasnya diperlakukan begitu lembut seperti ini. Rama mengambil kedua tangan Saima dan mendekatkan bibirnya. Menciumnya. Tersenyum. "Kalau begitu Mas akan jadi yang terbaik untuk Saima." Saima tak mengatakan apa-apa selain menerima semua perlakuan Rama dan pelukan hangat dari Rama seolah siap menjaganya dari badai yang bisa datang kapan saja. *** Setelah pergi tujuh tahun lalu, Radmila tidak boleh melakukannya lagi, bukan? Maka rencana Janied adalah mencari tahu siapa yang membeli restoran ayahnya Radmila. Janied berniat mengembalikan satu persatu yang Radmila miliki agar perempuan itu bisa melihat bahwa ia serius. Perempuan itu harus kembali padanya. Alexander Madava adalah teman Arik, kakaknya. Dan perusahaan Alex mengembangkan restoran itu. Merubahnya menjadi tempat yang lebih modern. "Aku nggak tahu superstar tertarik sama restoran Korea. Apa penjualan album kamu menurun?" Alexander Madava bukan orang yang terlalu ramah menurut Janied sehingga ia tak memperdulikan sindiran itu. "Penjualan album aku sangat bagus, Kak Alex, don't worry." Janied membalas. "Aku cuma mau membeli restoran Kakak. Aset Kak Alex banyak, melepas satu restoran bukan hal penting. Sebutkan harganya." "Apa ini karena perempuan?" "Maksud Kakak?" "Arik membeli villa untuk calon istrinya dan aku rasa kamu juga sama seperti kakak kamu, Janied. Kamu berniat membeli restoran aku untuk seorang perempuan, benar?" "Bukan urusan Kakak aku membeli restoran untuk siapa. Yang penting aku mampu bayar." "Kalau begitu kamu bisa diskusikan ini dengan asisten aku, Janied." Alex berbicara dengan nada profesional. Setelah bertemu dengan Alexander Madava, Janied mendapatkan telepon dari Lanisa, manajernya. Janied harus segera ke kantor agensi. "Bukan pers." Itu yang pertama kali Lanisa katakan. "Foto lo dan seorang perempuan di kedai sate tersebar karena ada satu username bagiin itu ke Twitter, Janied. Sekarang jadi ramai. Apa ini beneran lo?" Ya, itu foto Janied. Dengan Radmila. "Infotaiment bikin berita soal ini?" Janied bertanya ketika postingan asli dari akun Twitter itu sudah di-retweet puluhan ribu. Bahkan nama Janied menjadi trending. Mereka penasaran siapa perempuan yang bersama Janied. "Berita TV bisa kita handle tapi gosip di internet nggak bisa. Meski kita take down postingan aslinya, foto lo udah kesebar," ujar Lanisa. "Beberapa fans belain lo, Janied. Mereka bilang mungkin itu Jessy tapi banyak yang berpikir lo punya pacar dan lo bohongin publik." "Mereka tahu siapa perempuan yang makan sama gue?" "Belum. Tapi Janied, dia siapa? Gue di sini sebagai team lo bisa bantu kalau lo kasih kita informasi." "Urusan ini biar gue yang handle." Janied punya rencana untuk menyelesikan ini. Dan yang pertama kali terlintas di pikiran Janied adalah ia harus menemukan Saima. Malam itu Janied menemukan Saima sedang makan malam bersama Rama Arjuna Mahveen di Joy Two. *** Saima bukan orang yang tergila-gila dengan sosial media. Bahkan akun Instagramnya sudah tidak aktif. Ia memakai internet untuk kepentingan pekerjaan. Dan itu membuat Julieta terkadang kesal. "Gue kira lo nggak peduli, ternyata lo nggak tahu!" "Nggak tahu apa?" tanya Saima. Julieta menunjukkan sebuah foto di mana seorang lelaki mirip Janied tengah menatap seorang perempuan yang wajahnya tak terlihat. "Ini bukan lo, kan?" "Bukan. Itu bukan gue." Saima yakin itu Radmila. Ia tak mengerti mengapa Janied seceroboh ini. "Beritanya rame di Internet tapi acara gosip di TV sama sekali nggak ada yang ngomongin Janied." Julieta tidak heran. Dia tahu Hartono punya kuasa. "Apa Janied pacaran sama orang biasa, Sai?" Saima tak bisa mendengar kata-kata sahabatnya karena detik ini ia ingin menelepon Janied. Di dering ketiga, Janied mengangkat teleponnya. "Itu lo? Foto yang kesebar?" "Kalau iya, lo peduli?" balas Janied tanpa nada. "Janied," Saima menghela napasnya. Mencari kata-kata yang tepat. "Apa kemarin saat lo meminta gue berpura-pura menjadi tunangan lo lagi itu karena foto lo dan Radmila kesebar?" "Ya." "Lo mau memastikan publik nggak mencari tahu Radmila." "Ya." Dengan memakai aku sebagai alibi, pikir Saima. "Tapi lo nggak mau membantu gue." Janied berujar. "Lo di mana, Janied?" "Apartemen." "Gue ke sana sekarang." Saima mematikan teleponnya. [] - Instagram; galeri.ken
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN