BAB 15

1169 Kata
Sebelum ini Janied menjaga nama baiknya sebagai penyanyi dan seorang Hartono, sehingga biasanya ia melakukan live presscon untuk memberi tahu launching album baru atau rencana tour. Kali ini berbeda. Janied duduk di depan pemburu berita yang siap dengan kamera dan juga semua pertanyaan mereka. Namun sebagai manajernya, Lanisa menegaskan bahwa Janied tidak akan membuka sesi tanya-jawab. "Hallo, semuanya. Selamat sore." Ketika Janied membuka suaranya, ia langsung merasakan flash kamera menyorotnya. "Maaf membuat publik tidak nyaman, terutama untuk penggemar saya—For-J, maaf karena membuat kalian khawatir. Saya baik-baik saja." "Sore ini lewat teman-teman media semua, saya ingin mengatakan bahwa foto yang beberapa hari ini beredar di internet adalah benar—itu saya. Dan perempuan yang bersama saya adalah tunangan saya." "Boleh kami tahu siapa tunangan Mas Janied?" Seorang wartawan perempuan mengajukkan pertanyaan. Lanisa siap memperingatkan namun Janied memberi kode bahwa ia akan menjawab. "Nama tunangan saya adalah Saima Daisy Searajana. Dan saya sangat mencintai tunangan saya, please love her too. Terima kasih." Di depan TV besar di ruang keluarga Hartono, Cassie dan ibunya, Selina, melihat apa yang dilakukan Janied. "Look at him, Mama." Cassie berdecak. "Janied melakukan hal yang bodoh." Tapi Selina mengenal putranya. "Janied-nya Mama tidak bodoh, Cassie. Sepertinya adik kamu itu cuma perlu ditunjukkan mana yang benar." Cassie menatap ibunya, "Apa yang Mama pikirkan?" "Membuat sebuah pesta. Kamu mau membantu Mama, Cassie?" *** Saima tahu ayahnya, Radie Okta Searajana akan menghubunginya setelah mantan Menteri Pendidikan itu mengetahui apa yang diucapkan Janied pada presscon. "Mind to explain?" Radie menjaga suaranya ketika putrinya mengangkat telepon. "Hai, Pa." "Hai, Pa?" Sekarang jelas Radie tersinggung. "Apa ini, Saima? Bertunangan lagi dengan Janied tapi tidak mengatakan apa-apa kepada orangtua kamu. Janied tidak bertemu dengan Papa tapi dengan seenaknya mengatakan kamu tunangannya kepada publik. Apa keluarga Hartono tidak punya sopan santun?" "Ini pasti membuat Papa kaget, tapi aku dan Janied berpikir harus melanjutkan pertunangan." Saima menjelaskan seolah itu adalah kenyataan. "Papa tidak mengerti," kata Radie. "Kalian saling mencintai sekarang?" Saling mencintai? Saima ingin tertawa. "Apa Papa mau bicara dengan Janied?" tanya Saima kepada ayahnya. "Dia ada bersama kamu? Mana?" Janied yang sejak tadi memperhatikan percakapan ayah dan anak itu akhirnya mengambil ponsel Saima. "Selamat malam, Om Radie." "Apa yang kamu lakukan, Janied?" "Maaf kalau presscon saya menyinggung perasaan Om sebagai ayah Saima. Saya sudah melamar kembali Saima dan putri Om setuju. Kami berdua belum sempat mengatakan ini kepada Om." "Belum sempat?" Radie semakin tersinggung. "Keluarga kamu tahu?" "Iya, Om." Radie menghela napas. "Saya belum selesai dengan kamu, Janied. Kalau kamu mau melamar kembali putri saya, datang ke rumah seperti lelaki dewasa." Radie Oktra Searajana menutup teleponnya, dan Janied menatap Saima. "Papa lo nggak berubah." "Ya." Saima menerima kembali ponselnya dari tangan Janied. "Papa bilang apa sama lo?" "Beliau meminta gue ke rumah." "Nggak perlu." "Kenapa?" "Ini cuma bohongan, Janied. Lo nggak perlu meminta restu atau apa pun kepada papa gue." Saima mengatakannya dengan tenang. "Gue akan bilang sama papa kalau lo sibuk." "Dan beliau akan menganggap gue lelaki yang tidak dewasa." "Biar gue aja yang bicara sama orangtua gue, Janied. Lo juga harus bicara sama orangtua lo." "Orangtua gue udah kesel sama gue, Saima. Dan kalau mereka kesel, mereka akan menganggap gue seperti bukan anaknya." Ketika Janied berujar seperti itu, ada satu pesan baru masuk ke ponselnya. Radmila Mega: Janied, bisa kita ketemu? Janied tersenyum sinis. Permainan dimulai....  *** Janied mengabaikan pesan Radmila. Memang sengaja. Tujuannya. Ia menghendaki agar gadis itu menginginkannya. Sekarang Janied berada di apartemen Saima. Mereka berdua akan membicarakan kontrak tentang pertunangan bohongan ini. 15 menit Janied menunggu sambil melihat berita tentang dirinya sendiri. Saima kembali ke apartemen dengan handuk di bahunya dan paperbag di tangannya. Yang membuat Janied tidak mengerti adalah mengapa wanita itu berjalan dengan celana yang sangat pendek nyaris tak terlihat karena tertutup hoodie berwarna abu-abu yang kebesaran di tubuh Saima. Membuatnya begitu mungil. Dan kaki jenjang wanita itu... Janied berkedip ketika menanyakan, "Lo abis berenang?" karena ia melihat rambut Saima basah. Saima mengangguk, tidak repot-repot mengeringkan rambutnya terlebih dahulu dan langsung duduk di sebelah Janied—di sofa. Kaki jenjang Saima lagi dan lagi membuat Janied tak fokus. "Lo berenang pakai apa?" "Menurut lo aja masa pake kebaya." Saima menjawab agak ketus. "Bikini?" "Kenapa lo nanya apa yang gue pakai?" Janied memicingkan matanya, tubuh Saima jelas sangat bagus dan jika wanita itu mengenakan bikini, akan terlihat sangat seksi. "Lo berenang di kolam umum apartemen, kan? Ada siapa di sana? Apa ada cowok? Lo pakai bikini? Lo sadar orang lain bisa melihat lo?" "Bicara lo cepat sekali." Itu bukan pujian, karena Saima mendelik tidak suka. "Terserah gue mau pakai apa saat berenang. Telanjang sekalian juga gue bisa." "Saima," sekarang Janied benar-benar menatapnya. Dia ingin sekali menghentikan bibir merah muda itu agar tak mendebatnya. "Kenapa? Gue memang bisa. Bahkan tadi gue berjalan ke sini tanpa menggunakan bra dan celana dalam." Saima tidak tahu efek perkatannya kepada Janied. Karena Janied marah ketika tahu di balik hoodie itu Saima tak mengenakan apa-apa. Apa Saima tidak sadar bahwa Janied bisa merobek hoodie sialan itu dan mengulum payudaranya lagi seperti malam itu di depan piano? Janied menyingkirkan pikiran kotornya, ia harus memiliki otak yang tenang karena kontrak harus dibahas dalam keadaan waras. "Apa yang lo kehendaki dari rencana ini, Saima? Yang lo mau dan nggak mau." Janied mulai bertanya meski ia masih memikirkan; mungkin jari-jarinya lebih baik meremas p******a Saima daripada memegang bolpoin seperti saat ini. Sialan, Janied. Fokus. "Gue nggak mau ada yang tahu soal hubungan bohongan ini," kata Saima. "Keluarga gue biar gue yang urus." "Tapi lo memberi tahu Rama Mahveen." "Dia bukan tipe orang yang akan mengatakan hal-hal yang bersifat rahasia. I trust him." "Sure, sure, sure." Janied meledek sambil menuliskan isi kontrak pertama secara manual. Di atas kertas dengan bolpoin hitam. "Anything else?" "Kontrak ini hanya tiga bulan. Kalau Radmila kembali sebelum kontrak ini selesai—itu bagus. Kalau Radmila nggak kembali setelah tiga bulan—gue akan tetap menyelesaikan perjanjiannya." Janied setuju. "Your turn," kata Saima. "Gue adalah artis dan presscon gue kemarin cukup membuat heboh jadi gue mau lo menjaga sikap di depan publik. Gue rasa lo nggak perlu diajari karena nama belakang lo sudah membuat orang segan." Janied menuliskan ketentuannya sendiri pada kertas. "Dan gue ingin kita berakting seperti saling mencintai, Saima." "Di depan publik? Ya, oke." "Skinship, apa lo keberatan?" "Gue rasa lo boleh memegang tangan gue." "Memeluk dan mencium?" "Bukannya nggak sopan berciuman di publik, Janied?" "Gue akan melakukan itu di depan Radmila saja." "Membuat dia cemburu, ya?" "Lo setuju, hm?" "Oke." Saima mengangguk. "Karena di akhir sandiwara ini memang tujuannya adalah mendapatkan Radmila lagi." "Good. Lo adalah tunangan yang sangat pintar." "Tunangan bohongan, Tuan Hartono." Saima mengoreksi. "Ya. Tapi untuk tiga bulan ke depan lo adalah tunangan Janied Elang Hartono, Nona Searajana." "...." "...." Janied berkata sangat dominan, "Agar Radmila cemburu, gue akan berakting seolah tergila-gila kepada lo, Saima. Dan gue akan menjadi tunangan yang sangat posesif karena gue nggak suka milik gue disentuh orang lain." [] - instagram; galeri.ken
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN