"Kamu berhutang penjelasan padaku, b******n!" desisku tajam.
Membuat dia, lelaki yang telah merenggut apa yang paling berharga dalam diri seorang Indah, membalikkan badannya dengan pelan.
Sepasang matanya menyipit ketika menatapku. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat olehku, kedua mata coklat miliknya berbinar tanpa alasan pasti.
"Oh …? Hei! Kamu, 'kan …." Dia mengayunkan telunjuk kanannya, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu saat menyadari jika yang menahan langkahnya adalah aku. "In … Indah Putri Nuraida, 'kan, ya? Betul, 'kan?" Tanpa rasa berdosa, lelaki yang telah berhasil memberikan gelar kehinaan untukku sejak dua minggu yang lalu, terlihat begitu santai ketika sepasang mata kami beradu.
"Aku sedang tidak ingin berbasa-basi, Tuan, cepat, katakan padaku! Siapa dalang di balik semua itu. Cepat katakan!" Aku setengah berteriak saat emosi dalam d**a semakin meluap.
"Ssst! Pelankan suaramu, Sayang. Ini restoran, bukan hotel tempat kita mengukir kenangan seperti hari itu. Jadi keep calm, oke?" Lelaki bertubuh tinggi ini terlihat sedikit tidak nyaman saat beberapa pengunjung restoran yang duduk tak jauh dari tempat kami berdiri berhadapan, memfokuskan perhatian ke arah kami.
"Kenapa kamu tega melakukan itu padaku, hah?" tanyaku dengan suara yang masih meninggi, saat rasa nyeri kembali menghampiri manakala mengingat lagi peristiwa naas yang entah bagaimana bisa sampai terjadi hari itu.
"Melakukan apa, Indah ...?" balasnya enteng.
Resti yang masih memilih duduk di tempat, hanya mengamati kami yang tengah melakukan adu mulut, dari kejauhan.
"Tolong jangan berpura-pura b*d*h, katakan saja, siapa yang menyuruhmu menjebakku hari itu, hah!" ucapku dengan gigi bergemeletuk saat menatap nyalang wajahnya.
Terlihat dia—lelaki yang bahkan tak kuketahui namanya, berdecak pelan.
"Menjebak bagaimana? Bukankah kita melakukannya atas dasar suka sama suka?" tanyanya sambil bersedekap saat menaikkan sebelah alisnya. Membuatku semakin muak.
"Aku rasa … tak ada yang dirugikan hari itu. Dan kau bahkan sangat menikmatinya bukan? Apa kau sudah lupa?" tandasnya dengan tatapan menyepelekan.
Skak mat!
Aku dibuat tak berkutik saat mengingat apa yang terjadi hari itu memang tak bisa dikatakan seperti tindak kriminal. Karena nyatanya … aku memberikan tubuhku dengan sukarela padanya.
Ya Tuhan!
Apa yang terjadi padaku hari itu sebenarnya?
Belum sempat aku mendebat, telepon genggam di saku kemeja milik lelaki beralis tebal ini, terdengar bergetar.
"Maaf, ya, aku banyak urusan. Kalau kamu ada rencana untuk mengulang lagi percintaan indah seperti dua minggu yang lalu, bisa kita bicarakan lain waktu, ya, oke?" ujarnya lantas tertawa sumbang sebelum mengangkat telepon dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan restoran.
Aku membatu.
"Cepat kejar!"
Aku yang sedang merutuki kebodohan, tertegun saat menyadari Resti mencubit lenganku.
Mengikuti langkah Resti, aku pun gerak cepat membuntuti lelaki misterius yang aku tak mengerti bagaimana ceritanya seorang Indah bisa bertekuk lutut dan menyerahkan diri tanpa paksaan padanya.
Cekrek!
Aku tertegun saat Resti mengambil gambar belakang mobil lelaki yang membuatku mati kutu saat mengingatkan perihal apa yang terjadi antara kami hari itu.
"Mau buat apa sih, pake motoin mobil B*j*ngan itu segala?"
"Nanti kamu juga tahu," balas Resti seraya menyimpan telepon genggamnya ke dalam tas ransel miliknya.
***
"Maaf, ya, Ndah, kalau selama ini aku terkesan diam dan nggak peduli sama kamu," ujar Resti saat dirinya mengajakku jalan-jalan ke mall sekedar untuk menghilangkan suntuk selepas kami meninggalkan restoran Jepang.
Aku yang berjalan bersisian dengannya saat menuju gerai donat kesukaan adik Resti, mengangguk pelan. Mencoba maklum.
"Selain karena Mama sakit, aku juga menunggu waktu yang tepat untuk membuatmu sukarela berbagi dan menceritakan bagaimana kronologis foto tak senonohmu dengan pria itu, bisa sampai ke calon mertuamu."
Aku mendesah resah.
"Entahlah, Res. Aku juga nggak ngerti. Bahkan karena foto itu, aku nyaris gila dan rasanya duniaku seperti hampir kiamat," ucapku sambil menahan sesak dalam d**a.
Resti mengusap punggungku sambil menatapku sendu.
"Sorry kalau selama ini aku kayak nggak punya waktu buat nemenin kamu di masa sulit Ndah, sorry banget."
"Nggak usah dipikirin, Res. Kesehatan mamamu lebih penting," balasku pada Resti yang terlihat seperti tak enak hati.
"Tapi … aku yakin ini ada sangkut pautnya dengan seseorang atau bahkan … sekelompok orang."
"Apa?"
"Ya, adikmu mungkin."
Aku diam. Tak ingin menyuarakan dengan vokal kecurigaan yang memang sempat membersit, tapi coba terus kupungkiri.
"Coba, deh, ceritain sama aku dengan siapa kamu berinteraksi atau terhubung hari itu?"
"Kenapa kamu tiba-tiba nanyain hal itu?"
"Ya ampun, Indah. Tolong buka pikiranmu! Jelas-jelas ini konspirasi, jadi tolong ingat-ingat lagi, dengan siapa kamu berinteraksi?" Resti menghentikan langkah sejenak saat dirinya terlihat mulai geram padaku.
"Dengan … Alia, waktu itu aku dan dia janjian makan siang di restoran milik sepupunya, tapi dia batal datang karena suatu alasan."
"Hah?" Resti melongo mendengar penjelasanku.
"Kenapa, Res?"
"Benarkah Alia setega itu menjebakmu, Indah?"
"Maksudnya?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
"Aku rasa ... Alia ikut terlibat."
"Jangan bercanda! Dia salah satu teman terbaikku waktu SMA!"