Bukan cuma air mata yang menetes, tapi, tangis pilu pun turut menyertai. Membuatku merasa diriku tak ubahnya manusia bodoh yang dengan mudahnya menaruh rasa simpati terhadap penjahat. Ya, memang benar, kan kalau dia itu penjahat? Lantas, kenapa aku harus merasakan kepedihan ini saat melihatnya hancur? Kenapa? Kuusap dengan kasar air mata yang menetes di pipi. Sambil bertanya pada diri, perlukah aku menangisinya? Lelaki yang telah membuat hidupku hancur. Perlukah? Aku menyesal saat lagi-lagi tanpa diminta, air mataku menetes kembali ketika jari tanganku secara refleks memutar kembali video yang Arman kirimkan belum lama ini. Aku merasakan kepalaku terasa berat ketika dihadapkan dengan situasi yang benar-benar sulit seperti ini. Kenapa semua orang justru memanipulasi diriku? Bukanka