Angin sepoi-sepoi membuat beberapa helai rambutku tak lagi berada di tempatnya. Aku menghirup napas dalam-dalam ketika aku berhasil keluar dari rumah yang selalu membuatku merasa pengap dengan banyaknya larangan dan aturan yang harus dipatuhi.
Menjadi remaja seutuhnya adalah pilihanku sejak masih menjadi bocah, mungkin orang berpikir bahwa aku terlalu ingin cepat dewasa. Namun, mereka salah. Aku hanya berpikir bahwa menjadi remaja artinya orang tua sudah sedikit membebaskan anak-anak mereka untuk melakukan sesuatu sesukanya selama itu dijalan yang benar.
Ah, tapi orang tuaku? Sudahlah aku tak ingin membahasnya yang penting hari ini aku sudah berhasil sampai ke stasiun dengan bantuan ojek online.
Saat aku menginjakkan kakiku di stasiun rawa buntu, aku melihat beberapa orang sliweran dengan langkah terburu-buru dan tampak sekali hiruk-pikuk dan aku adalah salah satu orang yang sedang hiruk-pikuk untuk pertama kalinya sendirian di stasiun tanpa siapa pun yang aku kenal.
Bagiku yang bersifat pemalu dan pendiam agak sedikit susah juga beradaptasi dengan orang-orang kerja yang berbondong-bondong ke tempat kerja pagi ini.
“Dek, misi lagi buru-buru!” seru seseorang dari arah belakangku. Salahku juga karena aku terlihat kebingungan mencari loket tempat untuk membeli kartu elektronik untuk naik kereta.
Aku menghela napas sedikit sesak karena merasakan susahnya beradaptasi dengan tempat yang banyak orangnya. Maklum, ini adalah pertama kalinya aku pergi sendiri tanpa dibimbing orang tua. Sedikit aneh ya untuk remaja 16 tahun sepertiku masih saja merasa belum bisa beradaptasi dengan lingkungan yang ramai?
Itu adalah sedikit contoh karena aku sering kali tak belajar hal-hal baru karena larangan di dalam rumah yang masih sedikit kolot. Aku menyebut mereka kolot karena memang dijaman yang sudah canggih seperti ini, mereka masih saja bersikeras dengan pola asuh overprotektif yang kapan saja dapat membunuh tumbuh kembangku sebagai anak.
Di saat remaja seusiaku sudah mengenal yang namanya bioskop dan bisa memesan tiket bioskop sendiri, kalian tentu bisa tebak kalau aku tak bisa memesan tiket bioskop sendiri. Lebih tepatnya malu karena terlihat tak biasa memesan tiket bioskop sendirian.
Disaat anak seusiaku sudah pergi ke mana-mana tanpa orang tua, aku masih baru saja memulainya itu pun karena kepepet alasan sekolah. Kalau tak ada alasan sekolah aku pasti dilarang untuk melakukan perjalanan seorang diri di dalam kereta.
Lingkungan luar membuat aku takut karena biasanya ibuku sering bilang padaku bahwa orang-orang di luar sana jahat dan tak sabaran aku pasti akan tertindas dan lain sebagainya.
Tentu saja otak aku penuh dengan rasa takut yang membuat aku sampai sekarang enggan untuk bergerak maju.
Ingin keluar dari rumah saja membuat jantungku berdebar hebat dengan tangan yang keringat dingin. Aku merasa bahwa ini terjadi karena dampak ibuku yang selalu overprotektif.
Sekarang pola pikirku berubah setelah melihat beberapa pemuda-pemudi yang sepertinya anak kuliahan terlihat bebas berbicara dengan teman-temannya di dalam kereta seolah tak memiliki beban.
“Aku akan seperti itu saat aku lulus SMA. Mungkin ibu masih menganggapku kecil karena berusia 16 tahun, beberapa tahun ke depan pasti ibu membebaskanku dalam membuat pilihan dan keputusan,” gumamku pelan sambil melihat kakak-kakak yang asyik berbincang seru di kursi yang berhadapan denganku.
Rasa tak sabar mulai muncul di dalam diriku berharap jika aku sedikit lebih dewasa lagi, pasti overprotektif ibu tak lagi sebesar saat aku masih sekolah.
Menjadi dewasa adalah bagi sebagian orang sangatlah penting seperti aku yang berharap usiaku bertambah dengan cepat sehingga aku bisa berdiri dikakiku sendiri tanpa ada larangan apa pun.
Ting!
Bunyi ponsel mengagetkanku, aku cepat-cepat merogoh saku seragam sekolahku dengan wajah bingung karena di ponsel baru dan nomor baru ada yang mengirimiku pesan singkat.
‘Kalau sudah sampai tolong kabari ibu, jangan pulang terlambat ya dan ingat jangan terbawa pergaulan. Pilih pergaulan yang baik dan membawa kamu menjadi orang yang baik juga’
Pesan yang sama beberapa tahun terakhir itu bahkan tidak membacanya pun aku tahu jika ibu akan bilang seperti itu.
Sama seperti remaja lainnya, aku sebagai gadis remaja yang sedang ingin bebas melihat pesan ibu yang seperti itu tampak membosankan bagiku.
Bukan bermaksud melawan atau apapun, namun aku bukanlah seperti remaja lainnya yang memilih pergaulan berdasarkan ikut-ikutan. Aku sudah cukup dewasa untuk memilih pergaulan, ya tentunya main dengan teman yang sefrekuensi lebih aman kan?
Kata orang, kalau kamu ingin melihat sifat seseorang maka lihatlah 7 orang teman terdekatnya. Mereka adalah gambaran orang tersebut, bisa dibilang seperti itu.
Aku percaya dengan kalimat itu karena logikanya aku tak akan akrab dengan orang yang tak sefrekuensi denganku. Aku yang pendiam dan pemalu, kemungkinan besar akan akrab dengan orang yang sifatnya sama sepertiku.
Aku tak membalas pesan ibu, aku jadi lupa juga sudah sampai stasiun mana. Huft! Ini karena membaca pesan ibu yang membuatku jadi tidak tahu sudah sampai mana.
“Stasiun tanah abang, tanah abang station”
Suara pengumuman yang berada di dalam kereta membuatku bernapas lega karena akhirnya pengumuman yang aku tunggu sudah terdengar dan beberapa meter lagi kereta akan berhenti dan menurunkan penumpangnya.
Ah, rasanya senang sekali melihat kereta. Mungkin ini adalah pertama kalinya aku mencintai ular besi itu.
Aku pernah membaca bahwa apapun yang pertama untuk seseorang akan membuat orang susah untuk melupakannya karena begitu membekas diingatan.
Mungkin ini adalah hal pertama yang tak akan aku lupakan begitu saja dengan mudah.
Aku melangkah turun dengan berhati-hati karena kata ibuku celah peron selalu berhasil menyedot kaki orang ke dalam rel. Entahlah, aku hanya menurutinya saja daripada mencobanya membuat aku celaka kan?
Aku melihat beberapa orang berebut masuk ke dalam kereta sementara penumpang yang baru saja turun belum sepenuhnya meminjakkan kaki di peron.
“Woi hati-hati dong!” teriak seseorang yang meneriaki orang lainnya yang berada di depannya.
Tampak sekali manusia stasiun begitu bar-bar dan kasar. Sepertinya aku tak boleh lemah jika berada di tempat umum seperti ini, karena satu senggolan saja berhasil membuat amarah orang lain meledak.
Aku melangkah pelan sambil membaca petunjuk untuk menuju pintu keluar. Rupanya begini rasanya menjadi seseorang yang keluar dari goa.
Bagi sebagian orang mungkin aktivitas ini begitu membosankan, apalagi orang yang pergi sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam. Rutinitas yang begitu sering berulang setiap hari tentu membuat bosan, namun tidak denganku yang baru saja keluar dari goa.
Bagiku melihat keramaian adalah kebanggaan sendiri tanda kalau diriku mampu bepergian sendiri. Norak ya? Memang norak karena orang-orang sudah menempuh ini lebih dulu, bahkan di luar negeri sana anak seusiaku sudah mandiri, namun aku baru saja memulainya.