Bab 8. Honeymoon, Om?

1571 Kata
Cia dan Soni baru saja kembali ke kamar. Cia langsung duduk di tepi ranjang sambil meringis. Kakinya sangat sakit untuk berjalan. Aksi itu membuat Soni meliriknya. "Apa masih sakit?" tanya Soni. Ia mendekati Cia lalu berjongkok di depannya. Cia berjengit ketika Soni mengangkat kaki kirinya lalu melepaskan sandal kamarnya. Kaki itu diletakkan di atas paha Soni. "Itu masih nyeri, Om." "Mungkin, ini harus dibawa ke rumah sakit," pikir Soni seraya memijat lembut kaki kecil Cia. "Kamu bisa pulang dan beristirahat di rumah nanti. Biar aku yang ke Bogor sendiri." "Ah, nggak perlu. Aku mau bulan madu aja," sahut Cia. Ia merasa janggal karena Soni berkata ingin ke Bogor sendiri. Untuk apa ke sana jika ia di rumah? Bukankah mereka hendak berbulan madu? Soni mendongak pada Cia seraya meletakkan kembali kaki dia di atas sandal. "Siapa yang bilang kita mau bulan madu?" "Ya ... tadi di bawah. Bukannya papa sama mama bilang kita harus bulan madu di vila. Terus, Om juga bilang mau siap-siap," kata Cia bingung. "Ehm, aku emang mau ke Bogor. Kamu nggak perlu ikut," tukas Soni. Ia berdiri lalu berjalan menuju kopernya. "Kok nggak ikut? Om mau ngapain ke Bogor?" tanya Cia. Ia ikut-ikutan berdiri, tetapi kakinya yang sakit memaksa ia untuk kembali duduk. "Aku ada urusan," jawab Soni datar. Cia merengut. "Om, ini hari kedua kita menikah. Nanti malam ... malam kedua kita. Mana mungkin Om ninggalin aku di rumah!" Soni menarik resleting kopernya. Ia lalu membalik badan untuk menatap Cia. "Pernikahan kita hanya pura-pura. Aku udah akting sebaik mungkin demi kamu. Kenapa kamu masih nggak ngerti juga?" "Tapi, aku mau ikut! Pokoknya aku mau ikut kalau Om pergi. Aku nggak mau ditinggal," kata Cia tak mau kalah. "Kamu bakalan nyesel kalau ikut," tebak Soni. Cia menggeleng keras. "Pokoknya aku mau ikut. Berapa hari Om di sana? Om 'kan libur." "Rencananya malam langsung balik Jakarta," jawab Soni. Ia mengedikkan dagunya. "Siapin barang pribadi kamu. Kita langsung check out." Cia cemberut. Ia masih tak mengerti dengan ini. Jadi, ia langsung mengambil tas make up-nya. Ia memindahkan semuanya ke tasnya yang lebih besar. Soni mengambil tas itu, meletakkannya di atas kopernya lalu mulai menarik pegangan koper. "Ayo." "Tungguin! Aku nggak bisa jalan cepet," kata Cia. Ia memeluk lengan kiri Soni yang bebas lalu berjalan bersama pria itu keluar dari kamar mereka. Soni memasukkan koper dan tas Cia di bagasi mobil. Ia lalu meminta Cia untuk masuk mobil. Soni membuang napas panjang, ia akan melakukan perjalanan pertamanya dengan Cia. Ini akan terasa sangat canggung. "Sebenarnya ... kita mau ngapain ke Bogor, Om? Kan bisa sekalian mampir ke Puncak, Om!" pinta Cia sambil memasang tampang imut di sebelah Soni. Soni menoleh sekilas pada Cia. "Aku mau ketemu Tiara." Cia mengerutkan keningnya ketika mendengar nama perempuan keluar dari bibir Soni. Ia tak tahu siapa Tiara. "Tiara? Siapa dia, Om?" Soni membukakan laci dashboard lalu mengeluarkan selembar foto. Ia mengulurkannya pada Cia. Dengan mata melebar maksimal, Cia menatap foto Soni bersama seorang anak perempuan kecil di sebelahnya. "Ini ... Tiara?" tanya Cia tak mengerti. "Ya. Dia anak aku," jawab Soni. "Apa?" Cia terperangah. Ia tahu ia menikah dengan duda, tetapi ia tak pernah tahu bahwa Soni memiliki seorang anak. Bumi tak pernah menyebutkannya dan ia juga tak pernah melihat Soni bersama anaknya. Tiara. "Kenapa kamu kaget gitu?" Soni tertawa geli. "Itu anak aku sama mantan istri aku. Dia tinggal di Bogor dan sekarang aku mau ke sana." "Tapi ... kenapa harus sekarang?" tanya Cia. "Karena dia bakalan ngambek kalau aku nggak datang. Sabtu Minggu harusnya waktu aku untuk Kiara. Tapi karena aku harus menikahi kamu kemarin, aku baru bisa ke sana sekarang," ujar Soni. Cia mencebik. "Ini hari kedua kita menikah. Harusnya kita habisin berdua, Om. Ih, aku juga ngambek kalau Om malah lebih mementingkan Tiara dibandingkan aku." Soni menatap Cia yang baru saja melipat kedua lengannya di depan d**a. Bibir Cia juga mengerucut lucu hingga ia malah tertawa. "Om, aku ngambek!" Cia mencubit lengan Soni kuat-kuat. "Astaga, Ci. Aku baru nyetir ini di jalan tol," kata Soni seraya mengusap lengan kirinya yang pasti memerah di balik kemejanya. "Abis aku bete! Om lebih sayang sama anak Om!" gerutu Cia. Ia bernapas naik-turun. "Aku bahkan nggak tahu kalau Om punya anak. Berapa umur Tiara?" "Ehm ... hampir sepuluh tahun," jawab Soni. Cia membelalak. Ia harus bersaing dengan anak sepuluh tahun! "Dia udah SD?" "Ya. Kelas 4 SD." Soni menukas. "Dan kenapa dia nggak pernah tinggal di Jakarta?" tanya Cia yang mulai penasaran. Ia menatap lagi foto Soni dan Kiara. "Dia tinggal sama bundanya," jawab Soni. Cia membelalak lagi. "Jadi ... jadi kita mau ketemu mantan istri Om juga?" "Ya. Aku ketemu dia setiap weekend pas jemput dan anter Kiara," jawab Soni. Cia semakin terkejut. Ia benar-benar tak tahu tentang hal ini. "Om masih berhubungan sama mantan?" Soni mendesahkan napas panjang lalu menatap Cia. "Sekarang kamu tahu aku punya anak. Dan tentu aja aku masih berhubungan dengan mantan istri aku karena anak aku tinggal di sana. Kenapa kamu kaget gitu? Kamu nggak cemburu, kan?" Cia terdiam. Ia tak cemburu. Ia tak mencintai Soni, tetapi ia merasa tak nyaman sekarang. Ini bukan pernikahan sempurna seperti yang ia bayangkan. Ia hanya ingin merasakan kebahagiaan selama menjalani pernikahan itu, tetapi semuanya menjadi rumit. "Kamu harus ingat, pernikahan kita hanya pura-pura. Jadi, jangan dianggap serius. Kita hanya perlu berakting di depan publik dan keluarga," terang Soni. Cia mengangguk pelan. Namun, kepalanya masih pusing. "Apa kita juga perlu berpura-pura di depan mantan Om?" Soni tampak berpikir. "Kita bersikap biasa aja. Dia udah tahu aku nikah lagi sama kamu." Cia mengangguk, kali ini sambil tersenyum. "Kenapa dulu Om bercerai?" Soni mengencangkan cengkeramannya di setir. Cia tampak bertanya dengan santai, tetapi itu bukan pertanyaan yang mudah baginya. Ia masih ingat bagaimana luka itu menyayat hatinya. "Kamu nggak perlu tahu." Soni mengambil foto dari tangan Cia lalu menyimpannya. "Lebih baik kamu tidur. Perjalanan kita masih jauh." "Aku nggak ngantuk," tukas Cia. Ia melirik laci dashboard di mana foto Kiara tersimpan di sana. Tiba-tiba ia melebarkan matanya lagi. "Om! Om!" "Kamu kenapa sih? Ya ampun, bikin kaget aja!" gerutu Soni. "Om, kalau Om emang udah punya anak ... jadi ... sekarang aku jadi mami dong. Aku jadi ibu tiri?" Cia melongo sendiri. Ia tak menyukai ibu tirinya. Sangat tidak suka. Dan kini, ia juga harus menjadi seorang ibu tiri. "Ya. Tapi, udah aku bilang kamu bersikap biasa aja. Hubungan kita hanya di atas kertas. Jangan terlalu dibawa perasaan," kata Soni. Ia menyalakan radio lalu memilih saluran yang ia sukai. Cia berdecak mendengar lagu lawas yang disetel di radio. "Ah, Om lagunya jadul banget. Nggak enak!" Cia mengubah saluran dengan kesal. Dan ketika ia musik RnB mulai terdengar, ia kembali nyengir. "Ini baru keren! Lagu masa kini." Soni mencebik. Ia benar-benar tak menyukai selera musik Cia yang membuatnya pusing. Di sebelahnya Cia mulai fokus dengan lagu-lagu. Bahkan mengikuti liriknya dan juga melakukan rapp yang sangat menyiksa pendengarannya. Namun, itu jauh lebih baik daripada ia harus menanggapi pertanyaan demi pertanyaan Cia. Apalagi jika itu menyangkut masa lalunya. Ia tak ingin bercerita. *** Cia membuka matanya ketika merasakan guncangan. Ia terkesiap lalu menegakkan dirinya. Di sebelahnya, Soni ikut kaget karena reaksi bangun tidur Cia sungguh mengerikan. "Udah sampai," ujar Soni seraya mengulurkan kotak tisu basah pada Cia. "Kamu ngiler. Astaga." "Yang bener, Om?" Cia gelagapan. Ia menarik cermin mobil lalu mendesis kesal. Ia malu sekali pada Soni. Padahal, pria di sebelahnya tampak acuh tak acuh. Ia membersihkan wajahnya dengan tisu basah. Ia tak habis pikir bisa-bisanya ia tidur setelah mendengar lagu-lagu kesukaannya di radio. "Kamu melek dulu. Aku mau keluar beli oleh-oleh buat Kiara." Cia mengedarkan pandangannya. Ketika Soni membangunkannya, ia mengira ia sudah tiba di rumah Kiara. Namun, ternyata mereka berhenti di depan sebuah toko kue. Mereka sudah tiba di Bogor entah sejak kapan karena ia tertidur. Cia meremas perutnya, ia mulai lapar. Ia ingin turun dari mobil, tetapi ia masih berantakan. Jadi, ia memutuskan untuk minum air mineral yang ada di mobil saja. Tak lama, Soni masuk ke mobil dengan membawa dua kotak kue. Cia meringis senang. "Om, itu buat aku?" "Buat Tiara." Soni kembali menyalakan mesin mobil lalu menginjak gas. "Tapi aku laper, Om. Aku juga mau makan. Harusnya Om bilang sama aku kalau mau beli makanan. Aku kan bisa nitip sekalian," kata Cia. "Kamu nggak bilang tadi," tukas Soni. "Ya ... tadi aku masih linglung, Om. Aku pikir kita udah nyampe rumah Kiara," ujar Cia. "Bentar lagi sampai. Nanti aja kita makan bertiga sama Tiara," ujar Soni. Ia menginjak gas lagi untuk mempercepat laju mobilnya. Cia masih cemberut. Namun, benar mobil Soni langsung membelok di sebuah gerbang perumahan. Ia mencoba untuk mengerti, Soni mungkin merindukan anaknya. Yah, Soni adalah seorang ayah. Cia masih menyimpan sejuta pertanyaan di kepalanya mengenai kehidupan pribadi Soni. Ada banyak sekali yang membuatnya penasaran. "Ayo turun." Soni lebih dulu turun. Ia membawa kantong kue itu lalu menunggu Cia. Lalu mereka berdua langsung berjalan menuju pintu depan rumah yang berukuran cukup besar itu. Cia menatap Soni yang sedang mengetuk pintu lalu menekan bel. Tampak sekali Soni sedang gugup. Apakah Soni masih mencintai mantan istrinya hingga begini? Cia semakin penasaran. Dan tak lama, pintu depan pun terbuka. Seorang wanita hamil membuka pintu dan tersenyum canggung pada mereka. "Kamu udah datang, Mas," kata wanita itu. "Ehm, ya. Mana Tiara?" tanya Soni. "Di atas, di kamarnya. Dia masih ngambek karena kamu nggak datang dari kemarin," ujar si wanita. Ia melirik Cia. "Ini istri kamu?" Senyum tipis terlukis di wajah. "Salam kenal, aku Rika."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN