Sidang dua keluarga besar berlangsung. Mau tidak mau memang harus ada pertemuan yang terjadi. Pertunanganku dengan mas Given bukan hal sepele yang cukup diputuskan sepihak. Pertunangan yang menyangkut dua nama besar keluarga, harus dirembuk bersama mengingat pada akhirnya melalui pemeriksaan akurat dari dokter Danu, dibuktikan dengan uji laboratorium, memang usia hamilku sudah berkisar dua bulan lebih. Aku tak bisa lagi menutupi hal ini dari keluarga besarku terlebih dari keluarga besar Mas Given. Kubayangkan betapa peliknya nanti perundingan ini, mengingat masalahku ini bukan masalah biasa. Ya Tuhan, betapa biadabnya orang yang telah tega memperlakukanku begini. Orang yang seharusnya menjadi pelindungku, orang yang seharusnya tahu diri karena sudah ditampung sedemikian rupa oleh suami ibuku, ayah tiriku, yang jelas tadinya bukan siapa-siapa, kemudian menjadi ikut kategori suami yang punya apa-apa, karena menikahi ibuku yang janda kaya di kota ini. Seandainya waktu bisa diputar, rasanya ingin sekali tidak menyetujui pernikahan ibuku, agar tidak harus berurusan dengan si buruk rupa Om Roni, Om gila tak bermoral, tak beretika dan cenderung sakit jiwa terhadap kesuksesan orang lain.
Jika tahu kakaknya sekarang kaya, mestinya dia berpikir untuk ikut menjaganya, ikut mendukungnya, apalagi ibuku tidak sekedar menerima ayah Barok sebagai suami, tapi juga menerima sang adik ikut bekerja ditempat istrinya, istri yang membawa banyak harta dari almarhum suaminya, jadi atas alasan apa dia tega menodaiku, yang tentu saja layak disebut ponakan tirinya, gadis yang patut Om Roni kasihi dan lindungi sekuat yang dia bisa. Mengingat hal itu semua, air mataku terus berlinang, sungguh aral ini tak dapat aku tolak, meskipun berjuta tanya bergayut berat dikepalaku. terlebih saat menyadari, perbuatan tak beradab itu telah membuahkan janin diperutku. Ya janin, calon bayi, yang mestinya berbapak, yang mestinya dikandung ibunya dengan suka cita, lantas suka cita yang mana, jika untuk bertemupun rasanya aku tak sudi lagi, tak ingin lagi, tak kuat lagi, bahkan jika masih sanggup Om Roni menemuiku, aku bertekad akan menerjangnya sekuat tenagaku.
Ruangan masih sunyi oleh suara, padahal semua sudah berkumpul di tempat duduknya masing-masing. Aku hanya mampu tertunduk rendah diri, diruangan besar keluarga Bapak Atmo wiloto, ayah tunanganku, mas Given. Aku merasa bagai tersangka atas segala sesuatu yang tak pernah aku kehendaki harus terjadi. Dari kemarin-kemarin, mas Given sudah meyakinkanku bahwa tak akan terjadi apa-apa atas kehamilanku. Dia menjamin tetap akan menikahiku secepatnya, tetap akan membiarkan aku terus menyelesaikan kuliah, dia juga akan kuliah, dan setelah nanti bayiku lahir, akan tetap diakui sebagai anak kandungnya sendiri, demikian juga dengan keluarga besarnya. Berulang kali ia utarakan hal itu pada keluargaku, hingga dengan kerendahan hati, malam ini aku bersama keluarga, datang ke rumah mas Given, untuk merundingkan kemungkinan pernikahan kami yang dipercepat agar janinku tak telanjur kelihatan besar, yang nantinya bakalan memperparah pada penjagaan nama baik dua keluarga besar kami berdua. Dan meskipun terdengar mudah, aku tiba-tiba merasa tidak enak, bisakah semudah itu segala hal diputuskan. Pastikah jika keluarga besar mas Given rela menerimaku dengan kedaan berbadan dua begini seperti yang diyakinkan oleh tunanganku itu, saat akhirnya dua orang tuaku histeris karena pada akhirnya tahu aku hamil dan itu hasil dari sebuah perkosaan. Ya Tuhan, lengkap sudah deritaku.
" Mbakyu dan kang mas, mungkin sebelumnya sudah tahu ya, jika kedatangan kami itu ada kaitannya dengan keadaan anak kami, si Ranti."
Ayahku akhirnya membuka suaranya pelan, aku yakin sama sepertiku, ayah tiriku juga mulai was-was perasaannya. Sementara kedua orang tua mas Given saling berpandangan.
" Iya mas Barok dan mbakyu Intan, kemarin anak kami Given sudah cerita semua dan kami, gimana ya." Tampak ayah mas Given seperti kebingungan berucap. " Kami kok merasa butuh waktu untuk menjawab lebih lanjut! " Ayah mas Given mengusap Kepalanya yang mulai berembun.
" Butuh waktu bagaimana tho Kang mas, Ranti loh sudah berbadan dua, yang kita tunggu tinggal mas dan Mbakyu saja untuk menyetujui pernikahan dicepatkan, kami sudah sangat bingung ini, mengertilah Kang mas, mbak yu! " Gusar suara ayah tiriku, sementara ibuku mulai menyeka pelan matanya yang memerah.
" La iya loh, ibarat nangka matang, Given tak pernah mencicipi Kiranti, la kok ya dia yang disuruh tanggung jawab sih, siapa yang makan nangkanya, mestinya ya dia tho yang wajib dimintai tanggung jawab! " Seru ibunya mas Given. Perih tiba-tiga melandaku dengan parah. Kenapa jadi tidak sinkron ucapan calon mertuaku dari apa yang sedari tadi sangat aku harapka.
"Mama, dari kemarin aku sudah katakan, aku sangat menyintai dek Ranti ma, mohon papa mama dengar omonganku, dengar permintaan aku ma, pa! "
" Loh le, pernikahan itu bukan seperti membalikkan telapak tangan loh ya, jangan asal mengiyakan permintaan, kita mesti melihat bebet, bibit dan bobot loh ya! " Ibu Given memandang putranya tajam. " La bebet, bibit dan bobotnya katakanlah bagus beberapa bulan sebelum ini dan keluarga besar kita sudah setuju untuk pernikahan kalian tahun depan, lah tapi kalau ujungnya sudah berisi, dan isinya entah bibit siapa, la yo mosok kita harus terima yang begitu tho le!" Tajam menusuk ulu hati ucapan ibunya tunanganku itu.
" Aku mohon mbakyu, nikahkanlah mereka, jika nanti anak yang lahir kalian semua tidak menerima, biarlah aku dan suamiku yang asuh, tolonglah selamatkan harga diri keluarga kami, mbakyu! "
Ibu Mas Given, yang konon adalah sahabat baik kedua orang tua kandungku semasa mereka duduk di bangku SMA, melengoskan wajah tak suka, hilang sudah keramahan yang selama ini lekat diwajah ayunya.
" La lelaki itu tho yang mestinya diburu, lelaki itu tho yang mestinya dikejar tanggung jawabnya, jangan alasan jika dikawinkan sama yang menodai nanti dianggap membuat derita baru, sudah tahu perkosaan itu jahat, kok malah disuruh kawin dengan yang njahati, la tapi gimana lagi, apa ya mungkin kayak Given yang tidak ngerti apa-apa, harus jadi tumbal kebejadan orang lain! " Dengus papa Given. Rahang papanya Given sontak mengeras. Aku makin kehilangan kepercayaan diri, terlebih melihat ibuku juga makin tak bisa menahan tangis.
" Mama, aku akan nikahi Ranti secepatnya, setuju atau tidak setujunya papa dan mama!
" Anak susah aturan, mikir Ven, bagaimana reaksi semua orang, jangan terlalu mikir nasib orang lalu menggadaikan harga diri keluarga besarmu, mama ngandung kamu itu untuk menjaga harkat martabat keluarga, bukan untuk menerima muntahan orang yang tak jelas asal usulnya! "
"Mama, papa, lebih baik aku tak dianggap punya keluarga besar, daripada aku harus meninggalkan Rantiku dalam keadaan nasibnya menderita begini ma, pa! "
" Cukup perdebatan kalian semua! Teriakku lantang. Kulihat semua mata memandangku tidak berkedip. " Mas Given, ayah ibu dan papa mama, aku tak ingin dinikahi siapapun, aku hanya ingin dinikahi lelaki itu, lelaki yang telah merenggut kehormatanku, jangan kalian berselisih lagi, maafkan aku mas Ven, aku putuskan, aku akan menikah dengannya, lelaki pemerkosaku!"
Sesudahnya, kulihat semua diruangan itu melotot dan menganga, hingga akhirnya aku tak ingat apapun lagi. pandanganku menggelap seketika. Aku pingsan seketika.