KIENAR: Ungkapan Cinta Paling Tulus

1364 Kata
[Kin, kamu di mana? Aku di parkiran.] Aku membaca pesan yang baru masuk. Otak Angga perlu direparasi. Apa yang dia lakukan? Menjemput aku? Sinting! [Kacau kamu, Ga. Ngapain jemput?] [Kenapa emangnya? Salah?] Apa Angga mau aku semakin kena masalah? Dia yang berulah, aku yang kena amarah. Dia bebas melakukan kegilaannya, tapi pelampiasan kesalahan dia itu aku. Bisa saja Angga main ke klub, nidurin cewek, atau mabok sampai pagi. Nadia atau mamanya paling cuma ngomelin Angga atau malah membiarkan. Namun sekalinya dia ketahuan berduaan sama aku meski di tempat ramai, taruhan ... pasti aku bakal kena sidang lagi kayak tadi. Sial, Angga! [Jelas salah. Karena yang harus kamu jemput itu Nadia, istri sah kamu. Bukan aku!] [Aku nggak punya istri.] Arrgghhh! Kadang susah ngomong sama lelaki kepala batu seperti dia. Aku yakin perbuatannya ini hanya untuk memancing kesal mamanya juga Nadia. Dia tidak sadar kalau kelakuannya ini membahayakan banyak umat. Aku dan penghuni panti. Namun kalau tidak ada yang memberi tahu Angga, dia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi akibat pemberontakannya. Jadi ... aku putuskan untuk mengikuti kemauannya. Hanya saja aku harus berhati-hati. CCTV di mana-mana di gedung milik Pak Sebastian ini. Dan setiap mulut rela memberi informasi pada lelaki tambun berkepala hampir botak itu karena pasti ada imbalannya. Di sini ... kesetiaan ada harganya. [Temui aku di belakang ATM.] Di gedung sebelah, ada ATM centre di belakang pos security. Tempatnya cukup strategis dan CCTV tidak menjangkau beberapa meter bagian belakang ATM. Aku tahu karena Priska menjadikan tempat itu sebagai titik temu rahasia dia dengan papa angkatnya. Lelaki yang memberikan materi padanya dan menjadikan Priska kekasih gelap. Yah semacam baby-babyan  dan daddy-daddyan gitu.  Kata Priska, itu jalan pintas menuju kesenangan dan juga kemewahan. Dia bilang aku harus mencobanya, untuk melupakan Angga. Beberapa teman papa angkatnya kebetulan sedang mencari cewek gula-gula untuk dikencani beberapa kali dalam seminggu. Aku hanya senyum datar menanggapi ucapannya. Bukan munafik, hanya saja bukan jalan seperti itu yang akan kupilih ketika terdesak. Aku juga tidak mau membiayai panti dari uang panas. Aku ingin anak panti tumbuh baik-baik saja dan tidak menjadi liar karena makanan yang masuk ke perut mereka berasal dari uang hubungan gelap yang membara. Setelah membalas pesan Angga, aku berjalan keluar gedung. Berusaha santai sambil mengamati sekeliling. Orang-orang masih tetap berperilaku sama, memandang penuh rasa ingin tahu atau tersenyum sinis lalu menggunjing. Memuakkan! Mereka pikir cuma mereka yang terlihat baik. Mereka pikir cuma mereka yang berhak menilai seseorang tanpa memikirkan bagaimana posisi orang tersebut sebenarnya.  Aku mempercepat langkah dan mengangkat kepala tinggi-tinggi, melewati segerombolan perempuan dengan ponsel di tangan yang langsung melihat cepat ke arahku. Dalam hati aku berdoa semoga tidak ada yang mengikuti dan mengetahui rencana gilaku bertemu Angga. "Sudah waktunya kamu ganti mobil, Ga," kataku setelah masuk dan menutup pintu mobil cepat. Untungnya kaca mobil Angga berwarna gelap sehingga tidak terlihat dari luar, tapi plat mobilnya gampang dikenali. B 4664 P. Khas sekali mobil Angga Perdana, CEO Dirgantara Grup. "Kamu mau belikan?" tanyanya menggoda. Tidak terlihat sama sekali kalau dia sedang membuat masalah atau akan mendapat masalah karena perbuatannya. Dia masih seperti Angga yang biasa menjemput aku setiap hari sebelum pernikahan itu. "Seseorang pasti akan mengenali plat mobilmu." Aku melirik ke arahnya sekilas. Dia hanya tersenyum sinis. "Biar saja. Aku malah berharap ada yang ngadu." "Kamu memancing masalah." "Aku hanya nggak suka diatur seperti ini." "Seharusnya kamu menolak sebelum didudukkan di depan penghulu bareng Nadia. Bukannya sekarang! Kemarin kamu yang maksa mutusin aku, kan? Sekarang kenapa malah kamu bersikap seolah kita masih jalan bareng, sih, Ga?" Angga tidak menjawab pertanyaanku. Pandangannya fokus ke jalan raya yang mulai menggelap ditinggalkan cahaya matahari. Beberapa lampu jalan otomatis sudah menyala. Sinarnya masih redup, seredup sorot mata Angga. "Sorry. Aku nggak bermaksud mendesak atau menghakimimu. Hanya saja kupikir kamu harus tahu kalau hari ini mamamu, Nadia, dan Pak Sebastian manggil aku. Mereka memintaku untuk menjauhimu. Kamu pahamlah apa artinya. Juga konsekuensinya," ujarku melirih di kata-kata terakhir. Lampu lalu lintas berubah cepat dari kuning ke merah. Akan cukup lama kami tertahan di persimpangan ini. Cukup waktu bagi Angga untuk memandangiku dan menuntut penjelasan lebih lanjut. Padahal kata-kataku tadi sudah cukup jelas maksudnya. "Mereka mengancam kamu? Apa yang mereka mau dari kamu?" Angga menyentuh daguku dan memaksanya memandang ke arahnya. "Sudah kubilang mereka mau aku ngejauhin kamu. Yang artinya nggak ada hal-hal kayak gini lagi. Beneran jauh. Beneran end!" Suaraku pasti terdengar frustasi. Entah bagaimana caranya menyampaikan isi hatiku saat ini. Logika dan perasaanku berbenturan. Akal sehatku bilang kalau aku harus menjauhi Angga demi kebaikan banyak umat. Namun perasaanku? Perasaanku tidak ingin dibohongi.  Aku mencintai Angga. Teramat sangat mencintainya dan tidak ingin hubungan kami berakhir sampai di sini. Telah banyak waktu dan hari kulewati bersama Angga. Manis pahit, sedih senang, maju mundur, bukan hal mudah untuk menyamakan persepsi hingga akhirnya kami memperoleh satu kesepakatan. Aku yang tidak sederajat dengannya, berusaha mengejar statusnya hingga merasa pantas untuk berjalan mendampinginya. Sedangkan Angga, dengan segala keangkuhan dan gelimang kesenangan yang dia dapat sedari kecil, sekarang bisa mengikuti cara berpikir sederhanaku dan mulai mencintai anak-anak panti. Adik-adik asuhku. "Apa kamu sudah tidak mencintaiku?" tanyanya lirih. Ujung tangannya masih menyentuh daguku. Dia bisa melihat jawabannya di mataku. Sedetik kemudian, manis bibirnya menyapa bibirku dan lidah kami bersentuhan. Saling mencecap dan memagut tergesa, seolah hari esok tak pernah datang untuk kami. Sayangnya bibirnya harus menjauh cepat meninggalkan bibirku karena klakson mobil belakang begitu memaksa untuk segera menekan pedal gas. Setelah memasukkan gigi, tangan Angga menggenggam tanganku. Dia menyalurkan energi hangat yang membuat tubuhku menginginkan lebih. Aku ingin menggumuli Angga dan menciumi aroma tubuhnya yang membuat pikiranku berkelana melewati batas. Rasa manis yang tertinggal dari bibirnya membuatku tak bisa mengalihkan pandang dari bibirnya yang menutup. Bulu-bulu halus mulai tumbuh di bawah bibirnya. Sepertinya hari ini dia tidak bercukur. Membuatnya terlihat semakin maskulin dan membuat jantungku berlompatan karena sungguh ingin mendaratkan ciuman-ciuman panas di wajahnya. Ah, begitu liarnya pikiranku tentang Angga. Namun perempuan mana yang tidak. Angga begitu menggoda dengan segala kelebihan pada dirinya. Tinggi tubuhnya yang 180 cm lebih dengan otot-otot yang terlatih sempurna membuat dia terlihat seksi meski berpakaian lengkap. Bahkan aku sempat mendengar bisik-bisik perempuan sewaktu berada di rest room gedungnya Angga, kalau mereka rela berbagi kehangatan semalam bersama Angga. Bagi perempuan seperti itu, bisa tidur dengan Angga adalah satu kebanggaan sendiri. Bagiku?  Dicintai Angga adalah musibah sekaligus anugerah. "Semakin lama kamu memandangi aku, akan semakin sulit melupakanku, Kin," katanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalan raya di depannya. "Tidak akan pernah mudah melupakanmu, Ga. Meski sosok kamu hilang di telan bumi sekalipun." Dia terkekeh. "Kamu mendadak puitis sekali." "Jangan merusak suasana. Aku ngomong apa adanya." Dia meremas tanganku semakin keras. "Kita akan mencari jalannya, Kin. Aku akan membatalkan pernikahan itu segera dan kembali padamu." Aku mendengkus. "Nggak gampang. Yang kita hadapi itu orang-orang yang bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya. Termasuk istri kamu. Juga mama kamu. Dia akan mengurung dan mengikatmu kalau perlu. Yang penting kamu jauh dari aku." Secara mendadak, Angga memberhentikan mobil di tepi jalan. Di depan sebuah ruko yang gelap. Setelah menarik rem tangan, dia menarikku ke pelukannya. Menundukkan kepala dan menciumi leherku yang terbuka. Tangannya mengusap kepalaku. "Jangan suruh aku meninggalkanmu karena aku nggak akan sanggup, Kin. Aku bukan lelaki yang mudah jatuh cinta. Sekalinya merasakan cinta, akan kuperjuangkan mati-matian. Jangan suruh aku pergi dari sisi kamu, karena aku nggak akan bisa, Kin. Kamu rumah tempatku datang dan akan selalu begitu. Sekalipun dipaksa menjauh, aku akan datang lagi padamu. Mungkin tidak akan segera, tapi aku pasti datang. Kamu harus percaya itu." Embusan napasnya terasa memburu dan hangat di leherku. Tanpa kusadari, air mataku meleleh mendengar ungkapan cinta Angga. Dia bukan lelaki romantis yang sering datang dengan segenggam bunga mawar atau pujangga yang pandai merangkai kata-kata yang bisa menghangatkan hari. Namun kata-katanya barusan, yang meluncur begitu saja dari mulutnya adalah ungkapan cinta paling tulus yang pernah kudengar dari mulutnya. Aku membalas pelukan Angga tak kalah eratnya. Dalam hati aku berjanji ingin mendampinginya berjuang untuk mempertahankan hubungan kami. Tak terbayangkan bagaimana sulitnya jalan itu, asalkan kami melaluinya berdua, aku yakin kami pasti akan menang. Bukankah sudah banyak bukti tentang kisah-kisah cinta sejati yang berakhir bahagia? Cintaku dengan Angga bukan cinta kaleng-kaleng. Aku yakin ini cinta sejati dan akan kuperjuangkan. [] =============== ©elopurs - 2020
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN