KIENAR: Kasta yang Berbeda

1331 Kata
*KIENAR* Senin yang buruk. Sejak kakiku memasuki lobby gedung perkantoran berlantai dua puluh ini, setiap mata memandang dengan tatapan beraneka macam. Sinis, penuh rasa ingin tahu, kasihan, juga merendahkan. Pasti berita tentang kaburnya Angga di malam pengantin sudah menyebar ke mana-mana. Sudah pasti aku yang menjadi tersangka utamanya. Mungkin mereka pikir aku ini tokoh rekaan dalam n****+ Suman HS yang menculik anak perawan untuk dikawini. Tentu saja aku adalah Sir Jon versi perempuan.  Aku mencintai Angga, demikian juga dengan Angga. Walau dia bersikeras ingin membatalkan pernikahannya dengan Nadia, seharusnya dia sadar, tidak ada yang bisa mengubah keputusan Nyonya Angela. Nyonya satu itu memiliki pengaruh yang luar biasa dalam keluarganya. Bahkan perusahaan yang sekarang dipimpin Angga pun tidak luput dari campur tangan mamanya. Sedangkan Pak Sebastian, papa Nadia, selain pengusaha konstruksi yang berhasil dia juga seorang anggota dewan yang sangat berpengaruh. Hampir seluruh penghuni gedung ini adalah pendukungnya. Jika ada yang tidak memilih dia pada pemilihan legislatif, itu pasti hanya beberapa saja dan jelas mereka memiliki masalah pribadi dengan Pak Sebastian. Aku sendiri tidak memiliki alasan untuk tidak menyukai Pak Sebastian. Dia salah satu donatur di panti asuhan tempatku dibesarkan. Ketika aku lulus dengan predikat sangat memuaskan dari universitas negeri terfavorit di Jakarta, Pak Sebastian menawari bekerja di perusahaannya. Aku bukan seorang idealis yang menolak kesempatan emas di saat orang lain mengharapkannya. Untuk seorang fresh graduate, yang terkadang harus menelan pil kecewa karena setiap kali melamar kerja selalu ditanya soal pengalaman, ditawari pekerjaan di sebuah perusahaan mentereng adalah sebuah anugerah. Lagi pula dengan gaji yang ditawarkan, aku bisa membantu biaya operasional panti yang semakin membengkak dari bulan ke bulan. Tidak ada alasan bagiku untuk memaksa memutuskan pernikahan putri Pak Sebastian. Aku mencari makan di perusahaannya, masa iya aku menjadi pegawai yang tak tahu membalas budi. Jangan ditanya apakah aku baik-baik saja saat ini. Aku masih perempuan biasa, normal. Dengan air mata yang mudah mengalir seperti air hujan dari langit. Hanya saja aku tidak harus mengumbar kesedihanku di hadapan banyak orang. Kesedihanku bukan konsumsi publik. "Muka lo palsu," kata Priska, rekan satu ruanganku. Dia satu-satunya teman yang sering menjadi tempat sampah buatku. "Kenapa? Mirip Pevita Pearce, kan?" Sebuah pena melayang dan mengenai dahiku tanpa ampun. Priska memang begitu, kasar. "Kalau sampai muka gue cacat lo harus tanggung biaya perbaikannya, Pris." Aku mengusap dahi yang alhamdulillah masih baik-baik saja. Priska berjalan menghampiri dan meraba dahiku. "Mending gue bawa elo ke dokter syaraf, Kin. Otak lo yang harus diperiksa. Elo ini gesrek atau mati rasa? Lo yakin baik-baik saja setelah ditinggal kawin sama Angga? Kalau gue jadi elo, mending ambil cuti dan menghilang beberapa waktu. Bukannya nongol di kantor dan cengengesan kayak kuda mau dikawinin." "Emang lo pernah liat kuda mau dikawinin?" Lagi-lagi ujung pena mengenai dahiku tanpa ampun. Kali ini dipukulkan langsung oleh Priska. "Sakit, Pris! Lo preman banget, sih jadi cewek. Pantes nggak laku-laku." "Jangan bawa-bawa status. Nggak lucu," sahut Priska ketus. Dia menyandar di dinding kubikel dan memandangku dengan tatapan menyelidik. "Apa?" tanyaku ketika sudah cukup lama dia memandang tanpa ada kata-kata yang keluar dari mulut tipisnya. "Jujur sama gue, malam minggu kemaren, habis resepsi, Angga ke tempat lo, kan?"  Aku mengangguk dan membalas tatapannya. Untuk apa menyembunyikan kenyataan yang sudah bisa ditebak oleh semua orang? Walau aku menyangkal, Priska bisa melihat tanda samar yang ditinggalkan Angga di ceruk leher yang kadang-kadang terlihat ketika scarf-ku tersingkap. "Lo gila!" bisik Priska penuh penekanan. Matanya melirik ke segala arah. Tidak ada orang lain di ruangan kami. Mungkin mereka terlambat datang. "Gue masih waras, Pris. Mana ada orang gila yang bisa dandan cantik di hari Senin pagi." "Ngapain aja lo sama Angga?" tanyanya lagi tanpa memedulikan leluconku. "Lo pikir aja sendiri. Orang dewasa kalau berduaan sepanjang malam di kamar itu ngapain? Main domino?" "Gila lo, ya? Angga itu sekarang sudah jadi suami Nadia. Anak bos besar kita, Pak Sebastian. Jangan macem-macem sama mereka, Kin! Kalau lu masih sayang sama nyawa." "Gue masih sayang Angga. Kehilangan dia disaat lagi sayang-sayangnya itu menyakitkan." Priska memelukku. Hangat. Seharusnya pelukan seperti ini yang menemaniku sepanjang malam dan akhir pekan. Pelukan menenangkan yang mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja jika aku mau bersabar. Bukan pelukan penuh gairah yang menjadi dingin ketika si pemeluk pergi. Dan rasa kosong yang ditinggalkannya begitu dalam dan membuat nyeri. "Gue bukan temen yang baik karena nggak ada ketika lo butuh. Lagian lo susah dihubungi setelah insiden ciuman kalian setelah akad nikah." Aku melepas pelukan kami dan terkekeh geli. Pantas saja pandangan orang-orang padaku begitu menggila. Insiden itu pasti sudah terekam dan mungkin tersebar sejagad medsos. Hari gini? Tingkah gila semacam itu bakal jadi pembicaraan panas dan ... entahlah. Aku tidak sanggup membayangkan amarah Nyonya Angela yang terhormat. "Gue emang lagi pengen sendirian. Malam ketika Angga datang ke kosan gue, gue abis nangis parah sampai mata gue bengkak." "Lo harus ninggalin Angga, Kin. Dia beda kasta ama kita. Kalau mau berjuang pun, effortnya harus sepadan ama hasilnya. Lo dapat Angga tapi yang lo tinggalin, yang lo lawan dan juga rasa sakit yang lo dapat itu gimana? Belum lagi hidup lo ke depan, yakin bisa bahagia ever after? Gue rasa ... mamanya Angga nggak akan ngebiarin lo bahagia sama anaknya. Orang rendahan kayak kita dianggap nggak pantas untuk hidup sama anaknya." Priska benar. Memang seperti itu Nyonya Angela memandangku. Sehebat apa pun diriku dalam bekerja, meski aku bisa menghasilkan keuntungan untuk perusahaannya, aku tidak akan pernah pantas menjadi bagian dari keluarga dia yang tanpa cacat. Hanya karena aku seorang yatim piatu dengan latar belakang yang tak jelas. Sejak bayi, aku tidak pernah tahu siapa orang tua kandungku. Apa mereka masih hidup, kenapa mereka meninggalkanku di pintu panti, apa mereka begitu miskinnya, kenapa? Pertanyaan itu juga tidak pernah bisa dijawab Ibu panti. Dia hanya bilang, aku diletakkan di depan pintu dengan selimut tipis yang membungkus tubuh mungilku. Pakaian dan selimut bayi yang kukenakan berasal dari merek terkenal dan mahal, Ibu menduga orang tuaku berada. Alasan mengapa aku diletakkan di pintu panti, hanya orang tuaku dan Tuhan saja yang tahu. Mungkin aku bukan anak yang kelahirannya diharapkan di keluarga. Aku mengangguk membenarkan ucapan Priska. Memang lebih baik jika aku tidak berhubungan lagi dengan keluarganya Angga. Nanti akan kuberikan pengertian kepadanya bahwa masa depan untuk kita tidak pernah ada. Meski kita memaksa, hanya kesakitan saja yang akan kita dapatkan. Angga mungkin tidak akan mengerti, karena dia terbiasa mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku adalah keinginannya, maka dia harus mendapatkanku. Sayangnya kali ini dia harus berhenti bersikeras.  "Bu Kienar! Dipanggil ke kantor Pak Sebastian!" Seorang OB dengan wajah cemas menyerobot masuk ke ruangan dan menyampaikan pesan dengan napas terengah. Aku dan Priska saling pandang. Apa pikiran kami sama? Aku mengangguk pada OB dan berkata akan ke sana segera. Ini bahkan belum jam masuk kantor tapi aku sudah terlibat masalah. "Kin." Priska memegang lenganku dan memandang penuh kekhawatiran. Aku tersenyum berusaha tenang walau aslinya dadaku seperti mau pecah saking kencangnya berdetak. "Pesenin macchiato, ya, kayaknya gue butuh glukosa selepas keluar dari ruangan Pak Sebastian," kataku berusaha berkelakar sebelum meninggalkannya. Ruangan Pak Sebastian tidak benar-benar dihuni olehnya. Dia bahkan tidak pernah datang lagi ke kantor ini sejak menjabat sebagai anggota dewan. Nadia sempat menggunakan ruangan itu sebelum dia memiliki ruangan sendiri yang letaknya bersebelahan dengan ruangan milik ayahnya. Kini ruangan itu hanya digunakan untuk menyambut tamu-tamu penting perusahaan saja. Sepertinya aku bisa menebak siapa tamu yang datang. Perutku mulai terasa tak nyaman dan sepertinya dadaku jatuh ke bawah karena rasanya seperti sedang menaiki mobil pada jalanan yang menurun tajam. Ketika membuka pintu kayu mahoni yang berat, embusan pendingin ruangan langsung menerpa wajahku. Seolah ada yang menyiram es batu ke wajahku. Sepertinya rasa dingin ini bukan karena AC-nya. Namun karena orang-orang berwajah dingin yang menungguku di ruangan itu. Mereka duduk melingkar di sofa dan semuanya menatap dingin padaku yang berdiri diam di muka pintu. Bunyi klik pelan terdengar di belakang ketika kedua daun pintu bertemu dan menutup rapat. Kupandangi satu per satu wajah bengis yang sedang menelanjangiku. Nyonya Angela yang terhormat, Nadia, dan Pak Sebastian. Tumben bapak itu meninggalkan singgasananya di Senayan? [] ©elopurs-2020
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN