Persekongkolan

1221 Kata
Mang Daya datang ke ruangan Bu Ani bersamaan dengan datangnya petugas siskamling. Rupanya Bu Septi mengajak juga Kepala Desa ke panti untuk melihat lelaki mencurigakan yang ditangkap Mang Daya. Denga sigap Mang Daya membalikkan tubuh kedua lelaki yang tak sadarkan diri itu hingga terlentang. Dia menyodorkan sesuatu di dekat hidung kedua lelaki itu bergantian. "Itu apa, sing, Mang? Baunya naudzubillah. Tercium sampai ke sini." Bu Ani membersit hidungnya beberapa kali untuk mengusir bau. Dia juga mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan hidung. "Kaos kaki saya yang belum dicuci setelah kehujanan kemarin, Bu." Orang-orang yang berada di ruangan itu berjengit. Petugas siskamling bahkan mengeluarkan sumpah serapahnya merutuki perbuatan Mang Daya. "Kalau saya jadi mereka, saya mending nggak sadarkan diri saja daripada bangun-bangun nyium begituan." Mang Daya nyengir mendengar komentar Bu Septi, merasa tak bersalah. Namun usaha Mang Daya membuahkan hasil. Tak berapa lama tubuh yang tadinya diam mulai bergerak-gerak. Kedua lelaki itu ingin mengusir bau tak sedap dari depan hidungnya, sayangnya mereka kesulitan karena tangannya terikat. Mereka pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Salah satu petugas siskamling berjongkok dan mengusir Mang Daya. Dia menepuk-nepuk pipi salah seorang lelaki untuk membuatnya tersadar penuh. Lelaki itu menggeliat pelan sebelum matanya membelalak ketakutan. Pandangannya mengelilingi ruangan, berusaha mempelajari keadaan dan mengamati dengan siapa mereka kini berhadapan. "Kalian siapa?" tanya petugas siskamling. "Ngapain mengendap-endap di panti? Mau berbuat jahat, ya?" Petugas siskamling mengeraskan suaranya. Berusaha mengintimidasi lelaki itu. Petugas yang lain menarik tubuh lelaki itu dan membantunya duduk. Mang Daya melakukan hal yang sama pada lelaki yang lain. "Namamu siapa?" tanya petuga siskamling lagi, ketika lelaki di hadapannya tak juga membuka suara. "Agus," jawab lelaki yang dipegang petugas siskamling. Tidak ada gunanya dia membisu, toh sekarang mereka berdua sudah tertangkap. Siapa tahu dengan jujur, mereka bisa mendapatkan belas kasihan dan dibebaskan. "Kamu siapa!" bentak Mang Daya sambil mencengkeram kerah lelaki yang berada pada kuasanya. "A-agus," jawab lelaki itu terbata. Matanya membeliak ketakutan. "Elah, dua-duanya namanya Agus? Ini nama bohong atau beneran, coba geledah pakaiannya!" perintah petugas siskamling pada Mang Daya dan temannya. Mereka pun menuruti dan menggeledah saku-saku serta lipatan baju kedua lelaki yang katanya bernama Agus. Tidak ditemukan identitas apa pun. Tidak ada yang bisa membuktikan apakan perkataan mereka bohong atau benar. "Ya sudah, bawa saja mereka k epos, besok pagi kita bawa ke kantor polisi. Biar polisi saja yang membuktikan kebenaran cerita mereka." "Am-ampun, Pak. Jangan dibawa ke polisi. Kami berdua memang namanya Agus. Dia Agustino, saya Gusriyanto. Kami sama-sama dipanggil Agus. Ampun, Pak. Jangan bawa ke polisi." Lelaki itu mengangkat kedua tangannya seperti menyembah. "Terus ngapain kamu mengendap-endap di panti? Mau nyuri, ya?!" "Ti-tidak. Bukan mau nyuri, saya mencari seseorang." "Seseorang?" Gusriyanto dan Agustino saling berpandangan. Mereka bingung mau jujur atau bohong saja. Namun bayangan kantor polisi dan dipukuli agar mengaku membuat mereka ketakutan. Dipukuli Mand Daya saja rasanya seperti mau mati. "Kami ini penculik. Kami menculik anak orang kaya untuk dimintai tebusan," kata Agustino lemah. Sudah kepalang basah ketangkap, lebih baik jujur saja. "Penculik? Siapa yang kamu culik?" Bu Ani menggeser tempat petugas siskamling dan minta penjelasan lebih dari dua lelaki itu. "Anak orang kaya di kota. Kami menyekapnya di pondok dekat hutan." Terdengar sedikit gaduh dari dekat pintu. Bu Septi sedikit girang karena dugaannya selama ini benar. Memang ada orang di pondok tepi hutan. "Sekarang di mana anak yang kamu culik itu?" Tanya Bu Ani khawatir. Kedua Agus saling berpandangan. "Dia kabur, kami nggak tahu di mana dia?" Bu Aan mendekati kedua penculik itu, "Apa kalian yang mencuri makanan di dapur panti?" tanyanya tegas. Agustino memandang Bu Aan tidak suka. "Kami memang penculik, tapi kami tidak mencuri," ujarnya sedikit tersinggung. Bu Aan memandang Bu Ani, "Sepertinya saya tahu di mana anak yang diculik itu berada," _*_ Anggoro membalas tatapan Gilang yang masih belum percaya jika lelaki satu itu berada satu meja dengannya. "Lama-lama gue bakal mikir kalau lo itu belok, Lang. Gitu amat ngeliatnya," kata Ari sambil mengibaskan telapak tangannya di depan Gilang. Membuat fokus sahabatnya buyar. "Gue masih nggak percaya satu meja sama Anggoro. Lo tau siapa dia, kan? Wajahnya sering muncul di infotainment. Ngomong-ngomong lu beneran cere dari Viola?" Gilang memajukan wajahnya meminta jawaban dari Anggoro. "Gila lo! Gosip banget, sih jadi cowok. Itu urusan pribadi, Lang nggak usah ditanya-tanya." Anggoro tersenyum dan mengangkat tangannya, memberi tanda kedua orang itu untuk diam. "Nggak papa, Ri. Wajar dia nanya, bagus malah. Kita mau bekerja sama, kan? Jadi harus tahu kepribadian masing-masing dan juga harus saling mempercayai. Menikah sama Viola itu jaminan untuk mendapatkan dukungan. Bukan begitu maksud lo, Lang?" Gilang mengangguk. Tanpa dukungan mertuanya, kekuasaan Anggoro tak seberapa. "Gue sama Viola emang lagi break. Tapi kita belum ketuk palu. Dan gue masih direksi di perusahaan mertua gue. Jadi, ya ... gue masih punya pengaruh." "Sebesar apa? Kalau lo punya masalah sama anaknya, bukannya orang tua bakalan memihak anak, ya? Dan bukan nggak mungkin nanti lo bakal didepak kalau ternyata jadi cere sama Viola," kata Dika. Anggoro ganti memandang Dika dan mengangguk. "Gue sama Viola cuma break. Itu pun gue yang minta. Off the record, Viola berusaha keras mempertahankan pernikahan kita. Yang tidak kalian ketahui, keluarganya minta gue mati-matian buat stay jadi suami Viola. Bisa kalian bayangkan posisi gue?" Ketiga orang yang berada di meja yang sama dengan Anggoro mengangguk. Mereka paham, kalau posisi tawar Anggoro jauh lebih tinggi. "Terus apa alasan lo mau kerja sama ma kita? Kalau soal materi jelas nggak mungkin lah, ya?" Memang bukan materi yang membuat Anggoro setuju untuk membantu mereka. Kekayaannya kini jauh lebih besar dari kekayaan orang tua teman barunya jika dikumpulkan. Namun ada satu hal yang membuatnya tertarik, Nadia, istri Angga. "Waktu Ari cerita soal masalah yang menimpa keluarganya, gue nggak kepikiran mau membantu. Tapi waktu Ari nyebut nama Angga, gue sedikit tertarik. Apa lagi sama istri yang baru dinikahi Angga, gue tertarik banget." Anggoro menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangan kanannya mengetuk-ngetuk meja. Dia menikmati sensasi menjadi pusat perhatian ketiga teman barunya. Ari sudah tahu ceritanya sedikit jadi tidak terlalu penasaran dengan alasan Anggoro mau membantu mereka. Namun tetap saja dia penasaran karena ada nama Nadia disebut. "Lo masih suka sama Nadia, Ri?" tanya Anggoro tiba-tiba. Ari memandang Anggoro dan menimbang jawaban apa yang harus diberikan. "Sebaiknya lo cari cewek lain saja. Nadia cuma casingnya saja yang bagus, dalemannya minus. Lo bakal menyesal nanti. Lihat saja yang sudah dilakukannya sama Angga." "Ari suka sama Nadia cuma buat menyakiti dia. Iya, kan, Ri?" tanya Gilang. Ari mengangkat bahu. "Bisa kita lewati aja bagian itu? Urusan perasaan gue di skip aja. Rencana balas dendam kita lebih penting." "Terserah. Gue udah kasih peringatan sama lo. Gue juga dah pernah kena batunya sama tu cewek. Dan itu bukan sesuatu yang baik. Dia emang ular." "Sebaiknya kita focus, Ang. Apa rencana lo buat ngejatuhin Sebastian." "Hhhmm, kalian bener-bener serius? Kalian tau siapa Sebastian, kan. Nggak gampang ngejatuhin dia. Dan ... yakin Angga setuju soal ini?" "Seperti kata gue kemarin-kemarin, hidup Angga berantakan gara-gara campur tangan Sebastian." "Eh, tapi tunggu. Sebelum lanjut, gue penasaran ... apa masalah besar lo sama Nadia sampai lo pingin kasih tu cewek pelajaran?" Anggoro menatap atap kafe dan memunculkan kembali peristiwa menyakitkan yang diakibatkan perempuan satu itu. Dulu sebelum dia seperti sekarang ini. Dulu sewaktu dia belum bertemu Viola dan menjadi pangeran di sebuah kerajaan. Jika Viola yang mengangkatnya dari lumpur, sebaliknya ..., Nadia adalah orang yang membenamkannya ke dalam lumpur. [] ============== ©elopurs - 2021  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN