.KIENAR.
Seharusnya aku mengganti nomor ponsel, bukan menggunakan dua ponsel seperti sekarang ini. Entah apa yang kuharapkan, tapi rasanya berat untuk melepas kenangan dengan nomor yang lama. Aku enggak bohong, walau menyakiti diri sendiri, tapi aku masih suka membaca pop up yang muncul dan melihat ternyata Angga masih mencariku. Kenangan tentang lelaki itu belum sepenuhnya bisa terhapus dari kepalaku dan meski aku sudah berjanji akan melepaskan dia, aku tetap butuh waktu. Tidak secepat mengedipkan mata atau semudah membalikkan telapak tangan.
Ini ruang kantorku sekarang. Kecil. Sempit. Walau bermandikan cahaya matahari dengan jendela-jendela besar yang terbuka, suasana kantor yang baru ini tidak langsung membuat batinku sehat. Pandai sekali Pak Sebastian membuang karyawannya. Kantor pinggiran kota. Huh! Bahkan pekerjaan yang harus dilakukan pun entah apa. Seminggu sudah aku di sini dan yang kulakukan hanya menonton youtube atau berselancar di internet membaca berita terkini. Suasana kantor sungguh santai. Yang sibuk hanya pimpinannya. Dia tidak punya sekretaris atau asisten. Semua dilakukan sendiri. Aku yang berusaha membantu pekerjaannya pun ditolak. Bahkan hinaan kecil sempat kuterima darinya.
"Karena kamu berasal dari kantor pusat, bukan berarti kamu lebih mahir dalam pekerjaan. Di kantor ini tidak ada aturan. Akulah aturannya. Jadi tidak perlu repot-repot menunjukkan keahlianmu yang luar biasa. Keahlian yang diperlukan di sini hanya satu. Diam, jangan banyak bertanya."
Sungguh aneh sebenarnya. Namun aku tidak mau repot-repot mencari tahu apa yang terjadi di kantor ini. Segera setelah aku punya pekerjaan lain, aku akan pergi meninggalkan kantor aneh dan membosankan ini.
"Kienar! Ikut saya sebentar!" Bos besar memanggil dan melemparkan kunci mobil. Aku diminta menyetir?
"Ke mana kita, Pak?" tanyaku ketika mobil sudah keluar dari halaman kantor.
"Menyetir saja sampai daerah kumuh di pinggir pantai. Nanti saya kasih tahu selanjutnya."
Aku tahu daerah itu. Pemukiman nelayan yang padat penduduk. Kabarnya akan diadakan penertiban pada kawasan itu karena akan dibangun hunian elit bagi orang-orang berduit. Aku tidak tahu kalau Pak Sebastian punya proyek di daerah sini. Setahuku selama ini, dia punya tambang batu bara di Kalimantan dan juga perkebunan sawit di Sumatera. Dia juga membangun gedung-gedung pencakar langit di pusat kota yang disewakan untuk perkantoran dan bank.
Setelah tiga puluh menit menjadi supir pribadi Pak Darma, bos baruku, kami tiba di daerah yang dimaksud. Pak Darma menyuruhku memajukan mobil lebih jauh dan berhenti di sebuah rumah yang lebih bagus dari rumah di sekitarnya. Pagar teralis hitamnya membuka ketika mobil kami berhenti di depan rumah itu.
"Tidak perlu masuk. Kamu parkir saja di pinggir jalan. Saya nggak lama. Dan tetap nyalakan mesin mobil."
Aku mematuhi apa yang diperintahkan Pak Darma. Menepikan mobil sehingga ada cukup ruang bagi mobil lain untuk lewat tanpa bersingungan dengan mobil kami. Mesin tidak kumatikan. Kuambil ponsel dan kulihat pop up baru dari Angga. Masih pertanyaan-pertanyaan yang sama. Di mana kamu? Apa yang terjadi? Ingat janji kita? Dan lain sebagainya.
Angga, seandainya cinta itu menyatukan dua perbedaan, lantas mengapa kita harus dipisahkan?
Maaf karena aku terpaksa ingkar janji. Bukan aku menjadi pengecut dan tak mau berjuang, tapi aku tidak bisa mengorbankan anak-anak panti hanya demi keegoisan semata. Mungkin saat ini Nadia bisa berpuas diri dan tertawa keras karena berhasil memiliki Angga. Namun aku yakin, perjuangannya sangat sulit untuk menaklukan hati Angga.
Angga, seandainya saja suratan takdir itu bisa diketahui lebih awal, kita pasti bisa merasa yakin pada pilihan kita. Aku akan menjalani masa pengasingan ini dengan tabah, demi masa depan yang mungkin mempertemukan kita kembali. Sayangnya masa depan sama abu-abunya dengan langit sore di musim hujan. Tidak tahu apa yang disembunyikan di balik awan untuk esok hari. Mungkin cerah, mungkin juga gerimis. Bisa jadi ..., badai.
"Cepat jalan!" perintah Pak Darma yang masuk mobil tiba-tiba. Aku memasukkan gigi dan mulai menjalankan mobil.
Dari kaca spion bisa kulihat seseorang yang bersarung dan berpeci putih mengacung-ngacungkan lembaran-lembaran kertas yang kemudian dilemparkannya ke udara. Beberapa orang berbadan besar mengejar kami di belakang. Namun laju mobil bukan tandingan kaki-kaki manusia. Berpuluh meter kemudian tenaga mereka habis dan mereka yang mengejar memilih menyerah.
Kulirik Pak Darma di samping yang juga mengamati melalui spion di sisinya. Senyuman sinis tersungging ketika melihat mereka menyerah mengejar. Pak Darma merogoh saku kemeja dan menyalakan ponsel untuk menghubungi seseorang. Aku terpaksa menguping pembicaraan putus-putus mereka. Mengenai hari yang direncanakan, alat-alat berat, dan sejumlah uang.
Sebenarnya, ini kantor apaan, sih?
"Pak Sebastian bilang, kamu pegawai cerdas dan cekatan. Kamu juga bisa diandalkan untuk melakukan hal-hal yang rahasia. Apa kamu punya hutang budi khusus sama Pak Sebastian?"
Pak Darma membuka percakapan. Pertanyaan resmi lumayan pribadi yang pernah dia ajukan selama seminggu bekerja. Sewaktu kedatanganku pertama kali, dia hanya menunjukkan meja tanpa menanyakan latar belakangku dikirim ke sini.
"Bapak yang menyokong panti asuhan tempat saya dibesarkan," jawabku tanpa mengalihkan pandang dari jalanan.
Kulirik cepat Pak Darma. Dia menganggukkan kepala berkali-kali. "Artinya kamu akan melakukan apa saja untuk Pak Sebastian selama donasi masih mengalir terus untuk panti asuhan tempatmu?"
Untuk saat ini, ya. Aku tidak mau membuat ibu panti kecewa. Panti memang sangat bergantung pada sumbangan donatur. Sejauh ini Pak Sebastian yang terbesar.
Aku mengangguk, walau hatiku berat untuk menyetujui tindakanku. Aku tidak tahu yang dimaksud 'apa saja' itu apa? Kalau sampai melakukan perbuatan yang menentang hukum, apa aku sanggup? Entah kenapa perasaanku tidak enak.
Kulirik lagi Pak Darma. Dia menganggukkan kepala lagi. Mobil kuarahkan kembali ke kantor, karena dia tidak memberi instruksi akan ke mana selanjutnya.
"Walau kamu direkomendasikan Pak Sebastian, bukan berarti saya setuju. Saya masih menilai kamu. Apa lagi katanya kamu sempat terlibat skandal dengan menantunya. Kasak kusuk walau tanpa bukti cepat tersebar. Karena itu kamu dipindahkan kemari, kan?"
Seharusnya aku tidak terkejut mendengar kata-kata Pak Darma. Itu memang benar adanya.
"Saya nggak ngerti kenapa Pak Sebastian masih mempertahankan kamu. Untuk pegawai non jabatan sepertimu sekarang, gaji yang Pak Sebastian berikan sangat besar. Hampir sama dengan gaji saya. Hhhh."
Kulirik Pak Darma, pandangan kami bertemu sepersekian detik. Bibirnya tertarik sedikit. Sama seperti dia, aku juga heran. Namun tidak kupermasalahkan. Realistis saja, aku butuh uang itu. Aku akan bertahan semampuku di kantor ini.
"Kita langsung ke kantor lagi, kan, Pak?" tanyaku ketika tujuan kami hampir dekat.
"Di depan belok kanan," katanya memberi instruksi.
Aku menurut. Kanan berarti menjauhi kantor. Kenapa tidak bilang dari tadi?
"Ada yang ingin saya tahu dari kamu. Sebaiknya kita berbicara di tempat yang lebih nyaman. Kamu belum makan siang, kan?"
"Belum, Pak." Sedari tadi aku bersama dia, kapan sempat makan siang?
Terdengar desahan di sebelahku. Sepertinya Pak Darma sedang menimbang sesuatu. Sebenarnya aku sedang berurusan dengan hal apa, sih? Sejak pernikahan Angga semakin banyak saja misteri yang membuatku bertanya-tanya. Ah, setelah hari ini, aku harus menghentikan kebiasaan berselancar di internet membaca berita dan mengganti dengan aktivitas melamar ke perusahaan lain.
Apa aku harus pindah kota? Di Jakarta sini, sepertinya bakal sedikit sulit mencari pekerjaan. Semua orang tahu perusahaan Pak Sebastian. Pasti sedikit mengherankan jika aku resign dari perusahaan sebesar itu. Orang akan selalu mengaitkanku dengan Angga dan Nadia. Mungkin memang aku harus pindah kota. Kudengar suami Renata membuka perusahaan baru di Bandung. Mungkin aku harus menghubungi dia dan menanyakan pekerjaan. []
==============
©elopurs - 2020