Bab 1

923 Kata
“Kami datang ke sini, untuk membatalkan pertunangan. Anak kami, Bara, sudah menemukan jodoh yang lebih tepat. Karena itu, saya selaku ibunya, mohon maaf, jika kabar ini membuat keluarga Bu Nilam tidak nyaman.” Deg! Kabar itu membuatku tak bisa berkata apa-apa. Senyuman yang sejak semalam terkulum karena mendapat kabar jika keluarga Bara besok akan datang, kini redup. “Apa saya tidak salah dengar Bu Vamela? Hubungan mereka sudah cukup lama. Jingga---anak saya rela menunggu sampai Bara menyelesaikan S2 nya. Lalu, kenapa seperti ini?” Suara Ibu bergetar. Pasti dia sama kaget dan shocknya seperti aku. “Tidak, Bu Nilam. Ibu tidak salah dengar. Mulai saat ini, Jingga saya bebaskan dan boleh menerima pinangan lelaki lain. Maafkan kalau keputusan ini melukai keluarga Ibu, hanya saja ... maaf, anak ibu hanya guru SD, gak sebanding dengan putra saya.” Dia tersenyum, suaranya masih terdengar lembut, hanya saja terasa begitu menyakitkan. “Kami tak bisa lama. Dua minggu lagi, kalian bisa datang ke nikahannya Bara kalau mau. Undangan virtualnya nanti Bara kirimkan.” *** “Miss, Una sudah selesai.” Astaghfirulloh! Aku mengusap wajah. Bayangan menyakitkan yang terjadi sebulan lalu itu seolah rekaman yang terus-menerus diputar dengan sendirinya setiap kali ada celah. Bahkan aku bisa sampai lupa kalau sekarang aku sudah berada di rumah tmilik Pak Banyu. Sudah satu bulan aku mengajar less privat untuk putri sulungnya Pak Banyu yaitu Aluna atau lebih sering kupanggil Una. “Sini Miss periksa dulu, ya!” Aku menerima buku catatan bahasa inggris milik Aluna. Tulisannya sudah rapi walau dia baru duduk di kelas satu SD. Setiap sabtu-minggu, aku pasti ke rumahnya. Di rumah besar ini, Una hanya tinggal bertiga dengan Papa dan Omanya. “Nah, ini sudah betul. Ini kalimat untuk memperkenalkan diri, jadi kalau bahasa Inggrisnya nama saya adalah. My name is ... pintaaar!” Wajah Aluna tampak sumringah ketika aku memujinya. Selalu seperti ini tekhnik pendekatan yang kugunakan. Aku akan mulai dari kelebihan dia, agar secara alam bawah sadar, Aluna percaya jika dia bisa dan pintar. Usianya masih enam tahun lebih, masih bisa diberikan sugesti positif untuk daya kembangnya. “Yes, aku bisaaa!” Aku mengangguk, lalu melihat soal nomor berikutnya yang dia kerjakan. “Nah kalau yang kedua ini, tadi Miss ada tanya kata bahasa inggrisnya apa kabar, jadi?” Sengaja kupancing agar ada interaksi. “How are you?” Fasih bibirnya menyebut kalimat tersebut dalam bahasa inggris. Aku acungkan dua jempol, lalu mengoreksi perlahan karena dia ada kesalahan. “Kalau bahasa Inggris nenek, apa tadi?” Aku kembali bertanya. Aluna tampak berpikir. Lalu dia nyengir kuda sambil bicara, “He, lupa, Miss!” “Grand mo-” “Grandmother!” pekiknya girang. “Nah betul, jadi kalau yang Miss minta lengkapi tadi, aku cinta nenek. Jadinya I Love ...?” Aluna menepuk keningnya sambil tertawa. “Iya, Una lupa, Miss! I Love Grandmother!” “Anak pintaaar!” Aku serahkan buku tugas bahasa inggris Una. Lalu dia menghapus kalimat yang tadi dia tulis dan ada kesalahan. “Nah, jadi Una sudah betulin, ya, Miss?” "Oke." "Sudah, Miss." “Wah pinternya, Una! Miss makin semangat nih ngajar Una.” “Wah cucu Oma lagi belajar apa?” Suara Oma Fera terdengar. Kami menoleh. Perempuan dengan gamis rumahan itu mendekat. Di tangannya sudah membawakan lagi camilan untuk teman belajar Una. “Belajar bikin kalimat, Oma. Wah, itu Oma bawa apa?” Mata bulat Aluna berbinar. “Ini cake cheese kesukaan Una. Oma sendiri yang bikin. Biar cucu Oma makin semangat belajarnya.” Dia duduk di samping Aluna yang tengkurap bertumpu pada bantal. Tempat belajar kami di gazebo yang menghadap ke kolam ikan. Gemericik air riuh terdengar dari mesin yang memang terpasang dan membuat air mancur di tengah kolam. Semilir angin juga menerobos pintu pagar setinggi dua meter yang terbuat dari besi dan dilapisi cat antigores. Pagar itu mengelilingi rumah megah yang berdiri di tanah yang bagiku sangat luas. Suasana asri ini ditopang juga dari pepohonan. Di mana rimbun pohon nangka yang dulu ditanam membuat gazebo ini terhalang juga dari terpaan langsung sinar matahari. Selebihnya pohon cemara berjajar, berdiri tinggi seiring dengan pagar. “Ya sudah, Una rehat dulu, ya! Miss juga mau shalat dulu.” Aku melirik jam yang sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. “Oke, Miss!” “Ibu Fera, numpang sholat dulu, ya!” “Iya, Jingga. Jangan lama-lama, nanti makan kue bareng Ibu di sini! Oh, ya, sore ini makan malam di sini, ya! Ibu lagi ulang tahun. Anggap saja hadiah kamu buat Ibu.” “Oh ya? Selamat ulang tahun, Bu Fera semoga sehat selalu. Baik, Bu. Saya nanti bilang Ibu di rumah kalau pulang agak malam.” “Alhamdulilah ….” Dia tersenyum sumringah. Aku mengangguk. Lalu segera masuk ke dalam rumah dan menuju ruangan paling belakang yang biasanya digunakan untuk mushola keluarga. Empat rakaat aku tunaikan. Usai shalat, aku berdoa. Tak banyak, hanya minta luka ini sembuh dulu, itu yang utama. Satu bulan, waktu yang belum lama. Luka ini masih terasa sangat perih, apalagi kalau sedang sendiri. Nama Bara masih memenuhi lubuk hatiku. Usai shalat, aku berjalan kembali ke gazebo di mana Una sedang makan kue keju kesukaannya. Omanya tampak tengah menelpon seseorang. “Pokoknya kamu buruan pulang, Banyu! Mama akan tahan dia biar gak pulang dulu!” Dia terdengar menjeda. Lalu kembali bicara, “Kamu harus lihat sendiri orangnya! Sekarang kamu harus gercep, ini waktu yang tepat. Mama dengar dia sedang patah hati! Dia baru saja ditinggal nikah tunangannya! Kamu gak bisa egois, Banyu. Una butuh Bunda baru. Kamu pulang sekarang atau Mama coret dari KK!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN