Bab 5. Menantu Hina

1368 Kata
Melody terbangun keesokan harinya dengan badan yang pegal-pegal. Ia bahkan tak bisa tidur nyenyak karena kamar Kavi sangat dingin. Ia tak berani meminta selimut pada Kavi yang tidur dengan nyenyak hingga ia memutuskan untuk memakai jaketnya. "Kak Kavi nggak bangun?" Melody dengan suara lirih mencoba membangunkan Kavi. Adzan sudah berkumandang sepuluh menit yang lalu dan sejak kemarin Melody tak melihat Kavi sholat. Namun, ia ingin mencoba. "Kak! Udah subuh ini. Kakak nggak sholat." "Aah! Apaan sih?" Kavi hanya menggeliat lalu menarik selimut ke wajahnya. "Aku masih ngantuk!" Melody mencebik. Ini memang sia-sia. Lebih baik ia mandi lalu sholat dan turun untuk melihat sesuatu yang bisa ia makan. Ia mungkin bisa menyiapkan sarapan untuk mertuanya, juga Kavi. Ketika keluar dari kamar, Melody menatap was-was ke sekeliling rumah. Tak ada siapa pun. "Mungkin belum pada bangun." Ia bergumam seraya menuruni anak tangga. "Pagi, Non Melody," sapa Leni yang sedang menyapu lantai ruang tamu. "Pagi, Bi. Panggil Melo aja," tukas Melody. Leni mengangguk pelan. "Semalam kenapa nggak makan, Non?" "Ehm, saya nggak laper. Tapi, sekarang saya agak laper. Dapurnya sebelah mana?" tanya Melody. "Di belakang. Ayo. Ini saya masih masak nasi, Non. Biasanya yang masak Bi Asri, tapi baru cuti. Jadi saya yang masak nanti," kata Leni. "Saya bantuin ya." Leni membuang napas panjang. Ia tak tahu apa yang terjadi pada Melody karena ketika insiden itu terjadi, ia juga sedang cuti. Andi memanfaatkan waktu itu untuk membawanya ke rumah. Tak disangka Anggun sudah menyiapkan warga untuk menggerebek mereka. Melody sudah berkutat dengan panci dan wajan. Ia menggoreng ayam dan membuat sayur bayam bening. Ia lebih banyak memasak dibandingkan Leni karena Leni juga harus mencuci pakaian semua orang. "Bagus! Kamu tahu diri juga rupanya!" Anggun baru saja memasuki dapur. Ia melotot sempurna pada Melody. "Pagi, Tante. Saya cuma bantu-bantu masak," ujar Melody seraya mematikan kompor. "Ya. Aku emang mau bilang sama kamu, kalau mulai hari ini kamu harus ngurus dapur. Jangan numpang gratis aja kamu di sini!" hardik Anggun. Ia mengintip masakan Melody lalu mendengkus. "Awas kalau masakan kamu nggak enak!" Melody menelan keras. Untung saja ia sudah belajar memasak cukup lama dari almarhum ibunya. Ia menatap punggung ibu mertuanya hingga tak terlihat lagi. Bahkan, ia ragu untuk memanggilnya mama. Ia lebih suka memanggil Anggun dengan sebutan tante. Karena di sini, ia bahkan tidak dianggap sebagai seorang menantu, apalagi istri. Melody menata meja makan dengan masakan yang ia buat. Ia juga menyiapkan teh hangat manis kalau-kalau ada yang ingin minum. "Buatkan kopi!" Kali ini Melody dibuat terkejut dengan suara serak Andi. Ia yang sedang mengaduk teh pun langsung meletakkan sendok kecilnya. "Ya. Kopi pahit atau apa, Om?" Andi tersenyum tipis. Ia mendekati Melody lalu mengurung tubuh Melody dengan meletakkan kedua tangannya di tepian konter dapur. Melody hampir memekik, tetapi Andi dengan cepat mendesis di telinga Melody. Melody semakin gemetar ketika punggungnya menyentuh d**a keras Andi. "Om jangan begini. Aku ... aku buatin kopinya sekarang," ucap Melody terbata. Andi mengusap punggung tangan Melody sekarang. "Kamu masih punya utang sama aku, Melo. Bagaimana jika kamu menebusnya dengan tidur sama aku kalau aku menginginkan kamu?" Melody menegangkan, tetapi ia akhirnya menggeleng. Ia tak akan tidur dengan ayah mertuanya sendiri. "Seharusnya kamu bisa menebus utang itu dengan keperawanan kamu, tapi kenapa kamu justru tidur dengan Kavi? Ingat, kamu adalah milik aku meskipun kamu sudah menikah dengan Kavi. Kamu harus melayani aku kapan pun ketika aku mau," ujar Andi. Ia merapatkan dadanya ke punggung Melody hingga gadis itu menahan napas. "Ingat itu. Kalau aku pengen, kamu nggak boleh menolak." "Papa ngapain di sini?" Anggun mendadak muncul dengan penuh amarah. Andi membuang napas panjang lalu cepat-cepat mundur dari tubuh Melody. Ia menoleh pada istrinya dengan eskpresi kesal karena telah mengganggu paginya. "Papa cuma minta dibuatin kopi sama menantu kita. Dia bikin teh, tapi Mama tahu kalau Papa lebih suka kopi di pagi hari." Anggun mengikuti langkah Andi menjauh dari dapur dengan matanya. Ia melotot sempurna pada pria yang berstatus sebagai suaminya itu. Ia tak percaya, di depan matanya sendiri Andi berani mendekati Melody. Ia mengepalkan tangannya lalu mendekati Melody yang sedang menjangkau cangkir dari rak. Dengan keras, ia menarik lengan Melody. Melody terkesiap hingga cangkir yang ia genggam akhirnya jatuh dengan bunyi keras. "Ta-Tante ... mau kopi juga?" Anggun tersenyum miring lalu melayangkan tamparan keras di pipi Melody. Ia menatap jijik Melody yang baru saja mengusap pipinya dan terisak. "Dasar penggoda! Apa tidak cukup kamu menikah dengan anak aku, kamu juga mau goda suami aku? Ini masih pagi, Melo! Tapi apa yang kamu lakukan? Hah? Kamu pikir kamu cantik?" Di depannya, Melody menggeleng berkali-kali, tetapi ia tak percaya pada gadis itu. Dengan cepat, ia menyambar gelas teh hangat itu. Ia menuangkan teh itu ke puncak kepala Melody tanpa ampun. "Kamu cuma menantu hina di sini! Kamu hanya akan menikah selama beberapa bulan dengan Kavi. Kamu akan jadi janda sebentar lagi. Makanya, jangan kegatelan sama suami orang!" Melody menangis lebih keras. Namun, tak ada yang peduli di sini. Ia mengusap wajahnya yang basah, ketika itu ia bertemu tatap dengan Kavi yang baru saja masuk ke ruang makan. Kavi hanya menatapnya selama sedetik, Kavi tahu ia basah kuyup, tetapi pria itu langsung duduk di meja makan. "Buruan buat kopi! Dan bersihkan kekacauan ini!" Anggun meninggalkan dapur dengan langkah menghentak. Melody meraba dadanya yang sakit. Ia pernah dihina, sering malahan, tetapi tidak pernah ia dikatai sebagai w*************a atau wanita gatal. Ia tak pernah ingin menggoda Andi. Dengan gemetar, Melody berjongkok lalu memunguti pecahan cangkir itu. Setelah menyapu lantai dapur, ia segera membuat kopi untuk Andi. Melody membawa teh dan kopi itu ke meja makan. Sekali lagi, ia bertemu tatap dengan Kavi. Ia mencengkeram baki di tangannya karena Kavi kembali fokus pada ponselnya sambil menikmati sarapan. Melody lapar, tetapi ia basah kuyup dan ia memutuskan untuk segera naik. Ia mandi dengan kilat lalu berganti pakaian. Kemudian Melody mulai membereskan tas kuliahnya karena ia ada kuliah pagi. Melody dalam masalah, ia bisa terlambat jika tidak segera sarapan lalu berangkat. Namun, ia tak tahu ia harus naik apa untuk berangkat ke kampus. "Mungkin, aku harus pesen ojek," gumam Melody seraya menuruni anak tangga. Ia menatap jam di dinding. Sungguh sial! Ia tak akan sempat sarapan lagi. Di bawah, hanya tinggal Anggun yang terlihat menonton siaran televisi sementara Andi tak terlihat—Melody bersyukur. Dan Kavi tampaknya juga sudah pergi. "Tante ... aku pamit kuliah dulu," kata Melody. Ia mengulurkan tangannya kepada Anggun. Namun, mertuanya itu hanya melipat tangan di depan d**a. Menatap saja tidak! Melody menahan semua perasaan dalam hatinya. Ia memutuskan untuk keluar rumah saja. Ia lapar, tidak sempat makan dan ia kesal dengan keadaan ini. Baru sehari ia tinggal di rumah ini. Ah, ini bukan rumah, ini neraka. Melody mengingatkan dirinya. Ketika Melody keluar dari pintu gerbang dengan berjalan kaki, ia bisa mendengar deru motor Kavi dari belakang. Sontak, ia pun menoleh. Ia tak tahu bahwa selama ia mandi lagi, Kavi sengaja berlama-lama di garasi untuk memastikan ia keluar dari rumah dengan kondisi baik-baik saja. Melody merasa agak senang karena mungkin ia bisa menumpang pada Kavi. Ia tak ingin terlambat di kelas paginya. Jadi, ia melambaikan tangannya pada Kavi. Melody merasa lega karena motor Kavi berhenti tepat di sebelahnya. Kavi bahkan menaikkan kaca helmnya. "Kak! Aku boleh bonceng motor nggak? Cuma sampai deket kampus." "Urus diri kamu sendiri!" hardik Kavi. "Aku sudah bilang, aku nggak mau direpotkan dengan kamu. Dan aku nggak mau ambil risiko kalau sampai ada orang yang melihat kita berdua. Aku nggak mau!" Kavi menurunkan kembali kaca helmnya. Ia lalu menggeber mesin motor dan menarik gas, meninggalkan Melody yang semakin kesal saja. "Aku nggak tahu jalan ke kampus!" Melody berteriak, tetapi itu sia-sia. Ia dengan kesal pun membuka aplikasi di ponselnya. Ia hendak memesan ojek untuknya berangkat ke kampus, tetapi ia terkejut karena jarak rumah ini dengan kampus sangat jauh. "Ya, Tuhan!" Melody tak punya pilihan lain. Ia memesan saja meskipun ia harus membayar banyak. "Mungkin, besok aku bisa tanya Kak Kavi gimana biar bisa naik bus ke kampus. Itu juga kalau dia mau jawab." Melody menunggu tukang ojek datang dengan resah. Ia menendang kerikil yang ada di jalan untuk membuang resah. Namun, ia tahu, ia tak bisa tenang. Pernikahan ini, hinaan mertuanya dan pelecehan yang dilakukan oleh Andi ... semuanya membuat Melody merasa ingin menangis saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN