ALEX.

2261 Kata
ALEX. BRUCE baru saja akan membawa mobilnya keluar dari halaman gedung tempat di mana ia menurunkan Eva saat seseorang tiba-tiba mengetuk kaca jendelanya. Matanya memicing dan mengamati sosok di luar jendela. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengenali siapa sosok itu. Bruce menurunkan kaca jendela mobilnya lalu menegakkan punggung. “Oh, sial! Apakah ini benar-benar kau, Bruce?” suara pria itu terdengar sedikit serat tetapi Bruce masih bisa mengenalinya dengan baik. Delta Montano. Sembari memutar bola matanya, Bruce berkata. “Ini aku. Apa yang kauinginkan? Kau mabuk berat, sebaiknya jangan dekat-dekat denganku!” “Astaga! Masih sama seperti dulu. Si Penggerutu. Semakin ke sini kau semakin terdengar seperti nenek-nenek, Bruce!” “Tutup mulutmu, Montano!” Bruce berkata dengan nada satu oktaf lebih tinggi. Saat ini ia tidak punya stok kesabaran melimpah untuk menghadapi salah satu atau bahkan kedua Montano sekaligus. Ia bersiap menutup jendelanya ketika tiba-tiba Delta memasukkan setengah lengannya ke dalam jendela. “Jangan buru-buru, Bung!” ucap pria itu santai. “Ngomong-ngomong, apa yang kaulakukan di sini? Aku tidak menyangka mendapati dirimu berada di club malam. Sepagi ini. Kupikir di jam-jam seperti sekarang kau masih sibuk dengan istri komputermu.” Sindir pria itu. Bruce menghela napas. Montano bersaudara memang menyenangkan. Mereka berteman akrab sejak masih kecil, tetapi mereka berdua jauh lebih menyebalkan saat mabuk. Dan saat ini, Delta tengan berada di bawah pengaruh alcohol. Orang yang terpengaruh alkohol cenderung berbicara melantur. Ia tidak mau menghabiskan waktu untuk meladeni kata-kata Delta. Namun, tiba-tiba… “Tunggu, apa yang kau katakan?” “Apa?” Delta berkata sembari mengerutkan keningnya. “Kau barusan mengatakan club malam?” ulang Bruce dengan perasaan cemas. Delta mengangguk, dari seringai nakalnya Bruce tahu kalau pria itu pasti akan mempermainkannya lagi. “Kau barusan dari club itu, bukan? Apa kau bertemu wanita cantik yang kebetulan cocok untuk kau kencani? Atau kau sudah membawanya sekarang? Di mana dia? Aku penasaran seperti apa pilihanmu-“ “Delta, kau yakin ini sebuah club?” tanya Bruce untuk kedua kalinya. Ia kembali melongok keluar dan mencari tanda-tanda keberadaan Eva. Sudah sekitar setengah jam Eva menghilang di balik pintu masuk. Ia tidak tahu lagi apa yang saat ini dilakukan wanita itu. Kepanikan mulai melandanya. Bruce hanya bisa menelan salivanya kasar. Sebelum ia berpikir terlalu jauh, mungkin ia harus bertanya dulu kepada Delta. Untuk sekali ini, kehadiran Delta merupakan sebuah anugrah dalam hidupnya. Delta menelengkan kepala, mulai tertarik dengan pertanyaan Bruce. “Ya. Sebuah club malam. Kau tidak tahu?” tanyanya. Bruce menggeleng. Ia tidak pernah mendatangi tempat seperti itu sebelumnya. Bagaimana ia bisa tahu kalau gedung angkuh itu adalah sebuah klub? Oh, yang benar saja! Bruce menyandarkan punggungnya di kursi, merasa semakin frustasi. “Kalau kau tidak tahu tempat apa itu, jadi apa yang kaulakukan di sini?” Dengan amarah yang mulai menguasai dadanya, Bruce meninju stir mobil sambil mengumpat, “Sial!” Delta sedikit terkejut, “Wow… wow! Ada masalah, Kawan?” Bruce menatap Delta dengan tatapan elangnya. “Aku baru saja dibohongi oleh seorang gadis licik. Dia bilang tempat ini adalah sebuah tempat tinggal dan bukan sebuah club-“ “Ha? Seorang Bruce Smith dibohongi? Apa aku tidak salah dengar? Kau-“ Delta meneguk salivanya sata Bruce memelototkan mata. Ia mengangkat kedua tangan, menyerah. “Baiklah, tolong lanjutkan.” Ucap pria itu sambil meringis. Sambil menghela napas, Bruce melanjutkan ceritanya. “Aku menghadiri sebuah pesta dan menemukan seorang Cinderella yang sepertinya kesulitan menghadapi buaya darat. Jadi aku membantu Cinderella itu dengan membawanya pulang, bahkan mengantarkan hingga ke depan pintu rumahnya. Dia mengatakan itu rumahnya.” Ucap Bruce sambil menunjuk sebuah gedung yang yang lain adalah sebuah club malam. “Ralat. Dia mengatakan itu rumah temannya dan saudara kembarnya ada di sana. Mereka berencana menginap di tempat itu.” Bruce kembali menunjuk club itu dengan gerakan yang sangat dramatis. Bruce menghentikan ceritanya saat Delta menatapnya iba. “Apa kau kau lihat!” bentaknya. “Kau.” Jawab Delta polos. Hening selama sesaat. Baik Bruce maupun Delta enggan mengucapkan sepatah kata pun. Terlebih Bruce, ia muak dibohongi seperti sekarang. Ia sama sekali tidak menyangka, Eva berani mempermainkannya seperti sekarang. Atau sebaliknya dirinya lah yang terlalu bodoh selama ini? “Ngomong-ngomong, Bruce. Aku kurang setuju kau menggunakan kata Cinderella.” “Apa masalahmu?” sahut Bruce ketus. “Cinderella atau bukan, dia telah mempermainkanku.” Delta mengangguk, menyetujui kata-kata Bruce. “Siapa dia memangnya? Apa aku mengenalnya?” “Kau mendengarkan aku?” bukannya menjawab pertanyaan Delta, Bruce justru melempar pertanyaan lain pada pria itu. “Tentu saja aku mendengarmu!” sahut Delta tak kalah kesal. “Kau pikir aku tuli?” “Tidak.” Bruce mendengus. “Kau tidak tulis tapi kau mabuk.” Delta mengeluarkan lengannya dari jendela Bruce. “Aku tidak mabuk, Bruce dan aku masih bisa mendengarmu. Ngomong-ngomong, siapa gadis yang kita bicarakan ini?” “Eva.” “Oh…” Delta mengangguk-anggukan kepalanya. Setelah menyadari nama yang barusan disebut oleh rekannya, ia menoleh pada Bruce dan berkata cepat. “Eva? Benarkah?” Bruce mengangguk, tersenyum puas. “Dia bilang Ava ada di sini. Dan mereka berencana menginap di tempat yang kau maksud club malam itu.” Bruce juga melihat kegelisahan di mata Delta. Ia tahu apa yang saat itu dipikirkan oleh Si Montano keras kepala itu. “Sepertinya kau terkejut?” Delta menatap Bruce dengan tatapan tidak suka. “Tidak. Elaknya. “Biasa saja.” Pria itu berbalik dan melihat club malam. “Jadi, Si Kembar di dalam?” “Sepertinya begitu.” Sahut Bruce lebih riang. “Jadi, apa yang harus kita lakukan?” “Turunlah, Bodoh! Kita masuk dan cari mereka!” ucap Delta dengan nada tinggi. Puas dengan jawaban Delta yang ternyata memikirkan hal serupa dengannya. Bruce akhirnya membuka pintu dan melangkahkan kakinya keluar dari mobil. Embusan angin malam menerbangkan rambutnya yang mulai panjang. Bruce berharap, ia tidak melihat Eva sedang b******u dengan p****************g di dalam. Ia yakin Eva masih di dalam, entah dengan siapa. Yang pasti, ia tidak berharap menemukan Eva dalam keadaan yang tidak baik. ** “Alex.” Pria itu memperkenalkan dirinya dengan begitu sopan. Eva nyaris tidak mempercayai pendengarannya saat Alex menyebutkan namanya. Ada banyak sekali Alex yang pernah ia temui tetapi hanya Alex yang ini yang menarik. Entah bagian mana dari pria itu yang membuat dirinya ingin mengenal Alex lebih jauh dan lebih dekat. “Hallo?” Alex melambaikan tangan di hadapan Eva, menghentikan lamunannya. Eva tertawa, “Maaf. Apa yang barusan kau katakan? Kurasa aku melamun.” Katanya malu-malu. Alex hanya mengedikkan bahu. “Aku hanya menyebutkan namaku. Kau pasti berpikir kalau namaku pasaran.” Kepalanya meneleng mendengar ucapan Alex. “Begitulah.” Katanya pada akhirnya. “Senang berkenalan denganmu.” Ucap Alex sembari menyesap minumannya. Eva mengikuti gerakan Alex, mengambil gelas yang sudah diisi dan menyesapnya perlahan. Ia sedikit kikuk saat pria itu sama sekali tidak mengalihkan tatapan darinya. Bukannya ia terlalu peercaya diri, tetapi Eva terbiasa ditatap seperti itu oleh laki-laki di luar sana. Kecuali… Bruce. Lagi, nama itu kembali terlintas di benaknya. Eva buru-buru menghapus Bruce dari kepalanya sebelum ia bertindak bodoh. “Aku juga senang berkenalan denganmu.” Katanya seraya meletakkan gelas. Keduanya terdiam cukup lama. Eva memainkan gelas di tangannya dengan penuh perasaan. Sekilaas, ia melihat jam di tangan Alex. Pukul empat dini hari. Sudah waktunya tidur. Saat ini ia hanya ingin memeluk gulingnya dan bergemul di bawah selimutnya yang hangat. Bukannya terdampar di club malam sendirian. Memikirkan tempat tidurnya, membuat Eva tidak sengaja menguap dan Axel melihatnya dengan jelas. “Kau mengantuk?” pria itu bertanya. Eva menoleh dengan mata menggelayut. “Begitulah.” Katanya jujur. “Kenapa kau tidak pulang? Jangan memaksakan dirimu untuk tinggal di sini sampai nanti siang.” Ceramah Alex. Eva mengangguk, membenarkan. Ia ingin sekali pulang, tapi masalahnya Eva tidak membawa mobil dan harus menggunakan jasa transportasi online. Kedua, jika dia keluar sekarang, mungkin Bruce masih di luar menunggunya. Jika mereka bertemu lagi… Eva tidak tahu apa yang akan terjadi dengan keduanya. “Aku tidak membawa mobil.” akunya. Alex tampak bersimpatik. “Kebetulan aku membawa mobil. Kau mau aku mengantarmu?” Berpikir sejenak, tawaran Alex sungguh menggiurkan. Ia bisa saja meminta pria itu untuk mengantarnya pulang sampai ke apartementnya, tetapi bagaimana jika Alex bukan pria baik-baik? Bagaimana jika pria itu berniat jahat padanya? Meskipun, entah bagaimana ia sangat yakin kalau ayahnya masih mengawasinya sampai detik ini dan mustahil ada yang bisa terlepas begitu saja dari mata-mata ayahnya. Namun, Eva tidak mau terlalu sombong dengan berpikir kalau ia bebas dari ancaman dalam bentuk apa pun. Ia ingin tetap waspada. Kapan dan di mana pun. Karena begitulah kedua orangtuanya mendidiknya. “Aku tahu apa yang kau pikirkan.” Ucap Alex tiba-tiba. Eva mengerutkan kening, tidak tahu bagaimana harus bereaksi. “Aku bukan pria jahat seperti yang ada di benakmu. Dan ngomong-ngomong, baguslah kalau kau punya gagasan seperti itu. Gadis seusiamu memang harus selalu waspada.” Ujar Alex panjang lebar. “Waspada?” ulang Eva. “Ya.” Alex hanya mengedikkan bahu dan meminta bartender mengisi gelasnya lagi. Setelah menunggu sesaat, ia lalu menyesap minuman beralkohol itu hingga tandas sambil terus menatap lurus ke depan. “Sebentar, biar kuluruskan. Kurasa aku bukan gadis kecil lagi yang harus selalu waspada dalam menghadapi setiap situasi yang ada di hadapanku. Usiaku saat ini 24 tahun dan aku merasa sudah cukup dewasa dan tahu apa yang harus kulakukan. Jadi, mungkin saja yang kau pikirkan berbeda dengan apa yang saat ini kupikirkan, Alex.” Jelas Eva panjang lebar. Di sisinya, Alex hanya mengangguk-anggukan kepala. Mereka diam lagi untuk waktu yang cukup lama. Alex kembali mengisi minumannya, pun dengan Eva. Keduanya minum dalam diam. Bukan sesuatu yang buruk. Lalu, setelah sesaat, Alex kembali membuka mulut. “Kalau begitu, tidak masalah kah jika aku mengantarmu?” tanya pria itu sembari menoleh agar bisa menatap Eva. Eva mengangguk, lalu menggeleng singkat. Sebelum ia sempat berbicara beberapa kata, lagi-lagi Alex mendahuluinya. “Ada masalah? Kau tampak tidak yakin?” Jika boleh jujur, saat ini ia memang tidak punya banyak pilihan. Ia sempat berikir untuk tidak memberitahu Alex tentang situasinya. Tentang Bruce yang menunggunya di luar dan tentang kebohongannya. Menurut perkiraannya, saat ini Bruce sudah pergi. Jadi, jika Alex mengantarnya pulang sekarang, rasanya itu bukan masalah. “Aku hanya tidak mau merepotkanmu, Alex. Kita bahkan baru saja saling mengenal.” “Sama sekali tidak.” ucap pria itu. “Dan sebagai catatan, aku sama sekali tidak berniat jahat padamu.” Tambahnya. Eva merasa saat itu juga pipinya merona. Betapa bodohnya dirinya karena menganggp Alex bukan pria baik-baik. Alex mungkin memiliki memiliki tampang bak malaikat yang setan yang menjelma bagai malaikat. Dengan hidung lancip, rahang tegas, d**a yang sepertinya berotot jika ia boleh menebaknya serta rambut warna merah muda yang kontras dengan kulitnya yang… Eva terdiam selama sesaat. Tunggu, sejak lahir Eva tahu jenis apa kulit penduduk pribumi yang kebetulan berbeda dengannya karena ia bukan pribumi. Tapi, kenapa Alex memiliki warna kulit yang sama persis seperti dirinya? Mungkinkah dia pendatang? “Apa kau akan terus mengamatiku seperti itu atau kita beranjak sekarang?” tanya Alex yang langsung menghentikan lamunan Eva. Satu kesalahan lagi. Eva merutuki dirinya sendiri karena memperhatikan Alex dengan begitu detailnya. Ia mengambil napas banyak-banyak dan berkata, “Baiklah, ayo!” wanita itu turun dari kursi dan nyaris terjungkal karena efek alkohol yang ditelannya. “Wow… wow… wow… hati-hati, Kawan.” Alex menggunakan kedua tangannya untuk menahan punggung Eva. Keduanya sempat oleng selama beberapa saat hingga Alex akhirnya mendapatkan kesadarannya kembali. “Terima kasih.” Ucap Eva setelah berhasil berdiri tegap dan lepas dari pelukan pria asing di hadapannya. “Sama-sama.” Sahut Alex ramah. “Aku akan membayar minuman kita. Apa kau bisa menunggu di sini?” Eva mengangguk. Syukurlah Alex mau membayar minumannya, ia tidak perlu repotl-repot meninggalkan jejak di club itu. Jika nanti Bruce tiba-tiba, entah secara ajaib membongkar kebohongannya, ia tidak perlu mengarang alasan apa pun. Dan apa pun yang menyangkut tentang Bruce memang sungguh memuakkan. Sesaat kemudian, Alex kembali dengan wajah riang. Karena rasa penasaran yang teramat besar, Eva tidak bisa menahan mulutnyan untuk tidak bertanya. “Ada apa denganmu?” “Kedua sepupuku sudah pergi sejak lima belas menit yang lalu. Jadi, aku tidak perlu repot-repot meminta ijin kepada mereka.” “Oh, kukira kau baru saja memenangkan sesuatu. Kau tampak sangat bahagia.” Eva tertawa pelan. Alex menggeleng seraya mengedikkan bahu. Ia memimpin langkah mereka berdua dan… “Tunggu,” Eva menghentikan langkah mereka. “Ada apa?” tanya Alex kebingungan. “Kau yakin ini jalan yang benar?” Eva mengamati sekitarnya. Tadi, saat masuk ke club, ia hanya melewati satu jalur dan langsung bertemu dengan meja bartender. Kini Alex membawanya berbelok setelah dua meter dari meja bartender. Itu memang sebuah jalan, tetapi benarkah ini jalan yang benar? Atau jangan-jangan? “Aku tahu apa yang kau pikirkan.” Ucap pria itu lagi. “Kukatakan padamu, Eva, yang keras kepala. Ini jalan yang benar. Kau tadi mungkin lewat jalan itu.” Alex menunjuk lorong yang dilewati Eva. Gadis itu mengangguk mantap. “Tapi ada jalan lain untuk masuk dan keluar dari sini. Salah satunya adalah jalan ini.” Katanya seraya menunjuk sebuah lorong yang tidak terlalu lebar di hadapan mereka. “Aku…” Eva kehilangan kata-katanya. “hanya ingin memastikan kita tidak tersesat. “Tidak akan.” Alex melangkah melewati Eva. Ia lalu menggandeng tangan gadis itu dan membimbing langkah mereka melewati satu per satu orang-orang yang tengah berciuman di sepanjang lorong. Tiba-tiba saja Eva merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya ketika jemarinya dan jemari Alex saling bertautan. Sesuatu yang… sulit dijelaskan.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN