“Halo.”
Alis Rayden mengernyit mendengar suara yang tidak ia kenal dan semakin membuatnya berpikir orang itu adalah penculik Ruby. Namun, pikirannya itu terbantahkan saat pemilik suara di seberang sana kembali bicara.
“Namaku Azka, dan aku … teman Ruby. Sebelumnya aku ingin minta maaf, aku hanya ingin menanyakan bagaimana kabar Ruby. Aku mencoba menghubunginya sejak tadi pagi tapi nomornya tidak aktif.”
Rayden terdiam, mencerna apa yang baru saja ia dengar. Dan sebelum ia menjawab, suara Azka kembali terdengar.
“Tadi malam dia kelihatan tidak baik-baik saja, jadi aku merasa khawatir tidak bisa menghubunginya.”
“Jadi, kau teman yang pergi dengannya tadi malam?”
“Ya. Sebelumnya aku minta maaf karena sudah lancang membawa Ruby tanpa izin lebih dulu padamu. Tapi jangan salah paham, kami hanya teman. Kami berteman saat masih anak-anak.”
“Aku tidak peduli,” batin Rayden.
“Jadi, apakah Ruby baik-baik saja? Atau, apa terjadi sesuatu dengan ponselnya?”
“Dia baik-baik saja. Kusarankan, jangan terlalu khawatir pada istri orang.”
Tepat setelah mengatakan itu, Rayden mengakhiri panggilan. Bukan ia cemburu hingga sengaja mengatakan kalimat itu. Ia hanya merasa kesal kenapa Ruby seperti bunga yang selalu didekati kumbang. Kemarin Dominic dan sekarang teman masa kecil Ruby yang sok perhatian. Padahal ia merasa tak ada yang menarik dari Ruby tapi kenapa lelaki lain seperti sangat mudah tertarik padanya?
Kling!
Belum sempat Rayden meletakkan ponselnya, denting tanda pesan terdengar. Ia pun menggeser layar dan melihat siapa yang mengirimkan pesan.
Mata Rayden seketika melebar setelah membuka pesan yang berisi foto Ruby dan seorang pria yang berjalan bersama. Foto itu diambil dari belakang membuatnya tak bisa melihat wajah pria di samping Ruby. Namun, dengan jelas ia melihat wajah Ruby tampak ceria karena posisinya menoleh menatap pria di sampingnya.
Rayden meremas ponselnya. Ia marah. Ia menyesal sudah merasa khawatir dan memikirkan Ruby seharian ini, tapi wanita itu justru bersenang-senang dengan pria lain. Tangan kirinya mengepal kuat, gemeretak giginya terdengar samar. Ia benar-benar merasa seperti i***t dan memutuskan tak akan menjadi lebih i***t dengan menghubungi nomor asing yang mengirimnya foto. Ia tak peduli apa yang Ruby lakukan, persetan dengan keberadaan Ruby sekarang.
Sementara itu di tempat Azka, ia masih menatap layar ponselnya meski Rayden telah memutus panggilan sepihak beberapa menit yang lalu. Ia tahu sangat tidak sopan menanyakan istri orang pada suaminya sendiri dan secara langsung, tapi ia tak bisa menahan rasa khawatir karena seharian tak bisa menghubungi Ruby. Ia hanya ingin memastikan jika Ruby baik-baik saja.
Azka menempelkan ponselnya ke telinga, mencoba menghubungi Ruby kembali. Akan tetapi, masih sama, nomor Ruby tidak aktif.
Azka berdecak kasar saat menurunkan ponsel dari telinga. Ia marah dan juga gelisah sampai akhirnya ia memutuskan akan mencari Ruby besok jika masih tak bisa menghubunginya. Ia tak ingin menyesal jikalau sebenarnya Ruby tidak baik-baik saja dan itu karena suaminya.
***
Rayden mengerjap saat samar-samar indra penciumannya mencium aroma yang lezat. Aroma yang kerap tercium di rumahnya ketika Ruby memasak. Seketika ia pun membuka mata lebar dan mengarah pandangan ke arah jam yang telah menunjukkan pukul 8 pagi.
Rayden segera turun dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Instingnya mengatakan seseorang telah berada di dapurnya dan ia meyakini bahwa itu adalah Ruby. Akan tetapi, ia dibuat terdiam di ambang pintu dapur saat tak menemukan sosok Ruby. Hanya ada sepiring nasi goreng di atas meja makan yang masih panas terlihat dari kepulan asap transparan yang timbul di atasnya.
“Sayang, kau baru bangun?”
Rayden tersentak. Ia menoleh perlahan ke sumber suara dan menemukan Ruby berjalan ke arahnya dari arah kamarnya.
“Selamat pagi,” ucap Ruby dengan senyuman manis terukir di bibir saat langkahnya berhenti selangkah di hadapan sang suami. “untung saja ini hari libur. Jika tidak, kau sudah terlambat bekerja.”
Tiba-tiba saja rahang Rayden mengeras, tangannya terkepal kuat di sisi tubuhnya.
“Untuk apa kau kembali,” ucap Rayden dengan suaranya yang terdengar begitu dingin, sedingin dan sesuram raut wajahnya yang menatap Ruby.
“Ih, kenapa bilang begitu. Harusnya kau senang aku kembali, kan? Aku yakin, kau pasti mencariku kemarin. Kau pasti merindukan aku, kan? Ayo, jujur saja,” ucap Ruby seraya mengambil langkah untuk berdiri di samping sang suami dan dengan sengaja menyikut lengannya. “ayo lah, mengaku saja, kau merindukan aku, kan?”
Rayden mendorong Ruby, tapi tak sampai membuat istrinya itu terjatuh. Namun, apa yang Rayden lakukan itu berhasil membuat Ruby sedikit terkejut.
“Kalau pergi, pergi saja, untuk apa kau kembali ke rumah ini? Aku sama sekali tak peduli kau pergi dengan siapapun dan ke manapun,” ucap Rayden dengan nada suara sedikit meninggi. Ia ingat foto yang diterimanya semalam serta teringat teman Ruby bernama Azka yang membuatnya meluapkan kemarahannya.
Ruby tak mengalihkan pandangannya meski tatapan Rayden padanya begitu tajam. Ia pikir Rayden akan merindukannya, setidaknya merindukan masakannya atau rindu dirinya yang cerewet. Akan tetapi, ia salah, Rayden tetap saja merasa senang jika dirinya tidak ada.
“Kau mengatakan Airin bukan wanita baik-baik, lalu bagaimana denganmu? Kau pergi seharian dengan pacarmu setelah kau pergi dengan teman laki-lakimu. Benar-benar jalang. Pantas saja Dominic tertarik padamu, mungkin dia bisa melihat bahwa kau sama dengan jalang-jalang yang pernah ditidurinya.”
Ruby menatap Rayden dengan pandangan sulit diartikan. Raut wajahnya seakan menunjukkan ketidakpercayaan pada apa yang baru saja ia dengar. Untuk pertama kalinya Ruby mendengar kata serta kalimat kasar itu dari mulut Rayden. Kata-kata itu lebih kasar dari kata kasar yang pernah terucap sebelumnya. Untuk pertama kalinya Rayden menyebutnya jalang tanpa alasan.
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Rayden. Sebenarnya Ruby tak pernah ingin melakukannya, tak pernah ingin menyakiti pria yang ia cinta. Akan tetapi, menurutnya Rayden sudah keterlaluan.
“Aku pulang menemui ayah dan ibu, ayah baru saja kecelakaan. Meski tidak terlalu parah, tapi sewajarnya aku datang melihat keadaanya, bukan? Aku tidak memberitahumu karena kau masih mabuk saat aku akan pergi. Jika aku membangunkanmu apa menurutmu kau akan ingat dan peduli? Dan aku tak bisa menghubungimu karena ponselku rusak. Seseorang menabrakku saat keluar dari bandara,” jelas Ruby seraya berusaha menahan emosi. Ia tak terima Rayden menyebutnya jalang bahkan menyebutnya jalan-jalan dengan pacarnya. “apa pantas kau mengatakan kata-kata tadi tanpa bukti? Kau menuduhku pergi seharian dengan pacarku, apa kau melihat dengan mata kepalamu sendiri? Dan aku memang pergi dengan teman laki-lakiku tapi kau bilang terserah, bukan? Dan untuk Dominic, apa salahku jika dia tertarik padaku? Sementara aku bahkan tidak mengenalnya.”
Dada Ruby terlihat naik turun. Ia mengatakan kalimat terakhir nan panjang itu dengan satu kali tarikan napas yang membuatnya meraup oksigen dengan serakah setelahnya. Sementara itu, Rayden hanya diam, ia masih merasakan panasnya pipinya akibat tamparan Ruby. Akan tetapi, ia tetap mendengar semua yang Ruby katakan.
“Wah-wah, pertengkaran suami dan istri di pagi hari, menarik sekali.”
Sebuah suara terdengar membuat Ruby dan Rayden menoleh ke sumber suara dan menemukan seseorang berjalan ke arah mereka.