Rayden menghabiskan minumannya dalam sekali tenggak, menimbulkan efek terbakar pada tenggorokan. Saat ini ia berada di sebuah bar, menikmati sebotol minuman yang memabukkan. Setelah apa yang Ruby katakan, ia memaksa Ruby keluar dari mobilnya dan meninggalkannya.
“Kukira kau sudah tepar.”
Seorang pria duduk di sebelah Rayden, memperhatikan Rayden yang sepertinya hampir mabuk, wajahnya sudah memerah.
“Kukira kau bercanda saat mengatakan ada di sini,” ucap pria itu kembali. Ia adalah Dafa, teman dekat Rayden.
“Aku ingin membunuhnya,” ucap Rayden sambil menatap bibir gelas di tangannya yang tampak berkilau terkena cahaya lampu.
“Maksudmu, istrimu?” tanya Dafa. Namun, tanpa Rayden menjawab pun, ia yakin yang dimaksudnya adalah Ruby. “aku tidak tahu harus mengatakan apa. Tapi, jujur saja, jika aku jadi Ruby, aku akan melakukan hal yang sama.”
Rayden melotot dan segera menoleh pada Dafa.
“Maafkan aku, Ray, tapi aku juga tidak ingin kau bersama wanita yang tidak baik. Baik lah, aku tahu kau mencintainya, dia adalah cinta pertamamu, tapi … kau juga harus menggunakan logikamu, Bung,” ujar Dafa seraya berniat menepuk bahu Rayden. Namun, sebelum itu terjadi, Rayden menepis tangannya dengan kasar serta menatapnya dengan tatapan tajam.
Rayden tak mengerti kenapa semua orang berpihak ada Ruby. Tak ada satupun yang mengerti perasaannya. Airin mungkin sudah membuatnya kecewa, tapi apa mau dikata? Ia sudah terlanjur cinta, meski benci dan kecewa mendalam, tapi perasaannya tak dapat dihapuskan dengan mudah dan dengan segera.
Dafa mengangkat kedua tangannya di depan d**a. “Oke, oke, sorry, Ray. Aku tahu di saat ini kau pasti tak ingin mendengar kata-kataku tadi. Baiklah, aku menarik kata-kataku,” ujarnya yang dapat mengerti arti tepisan kasar dan tatapan tajam Rayden padanya. Ini lah yang membuatnya tak banyak bicara mengenai masalah yang Rayden hadapi. Ia tahu, tak mudah membuka pikiran Rayden.
Rayden menuang minumannya ke dalam gelas dan kembali menenggaknya hingga tandas. Ia lalu mendorong bahu Dafa dan mengatakan, “Enyah kau dari sini.” Ia merasa menyesal sudah memanggil Dafa. Ia pikir Dafa ada di pihaknya setelah ia memberitahu Dafa bahwa Ruby adalah akar dari permasalahannya.
“Kau yakin? Mana berikan, biar kubantu habiskan sebelum kau mabuk.” Dafa mengambil botol minuman Rayden dan meminumnya langsung. Ia tahu Rayden tak kuat minum. Dan benar saja, baru saja ia meletakkan botol dari tangannya, Rayden tiba-tiba tersungkur saat mencobabangun dari duduknya.
“Hish, sok keras tapi kau sangat lemah. Dasar,” gerutu Dafa.
Di sisi lain, Ruby baru saja tiba di rumah.
“Terima kasih. Mau mampir dulu?” tawar Ruby. Setelah Raiden mengusirnya keluar dari mobil, ia bertemu dengan Dafa dan pria itu pun mengantarnya pulang.
“Tidak, terima kasih. Sudah malam. Lagipula, apa nanti kata suamimu?” balas Dafa. Pandangan Dafa tampak teduh. Ia masih ingat bagaimana ia menemukan Ruby di parkiran di mana wanita itu tampak tidak baik-baik saja. Namun, Ruby tak mau bicara. “By, maaf untuk malam ini.”
Ruby setengah memiringkan kepala, terheran dengan apa yang ia dengar. “Hah? Maaf? Untuk apa?”
“Untuk tadi. Kau sampai berniat pulang sendiri.”
“Apa? Tidak, Az. Bukankah sudah kubilang? Aku di sana mencari udara segar dan mencari sinyal. Tidak ada sinyal di toilet,” ujar Ruby berdusta. Ia tak ingin memberitahu Azka apa yang sebenarnya terjadi.
Azka dapat melihat kebohongan dari ucapan Ruby. Namun, ia tetap mengangguk mengerti tak ingin memaksa Ruby berkata jujur.
“Baik lah kalau begitu, aku pulang. Terima kasih untuk malam ini.”
“Uum.”
“Sampai jumpa,” ucap Azka sebelum akhirnya memasuki mobilnya.
Ruby melambaikan tangan. “Ya, sampai jumpa. Hati-hati.”
Ruby masih berdiri di depan teras sampai akhirnya mobil Azka pergi dari halaman. Melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya sejenak, ia kemudian berbalik masuk ke dalam rumah. Sudah hampir pukul 10 malam dan mobil Rayden tidak ada di rumah. Satu-satunya yang Ruby pikirkan sekarang adalah, ke mana perginya suaminya itu. Ia tahu Rayden pasti kecewa bahkan mungkin semakin membencinya sekarang, tapi, mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi.
Beberapa saat kemudian, Ruby telah berdiri di depan cermin kamar mandi. Ia sedang membersihkan wajahnya dari sisa make up.
“Kurasa wajahku tidak terlalu buruk,” gumam Ruby setelah wajahnya bersih dari make up.
Tangan Ruby terangkat menyentuh wajahnya kemudian ibu jarinya mengusap lembut bibirnya lalu berakhir mengusap dagunya yang sedikit terangkat, memperhatikan struktur wajahnya yang menurutnya sudah sempurna. Tapi, kenapa Rayden tak tertarik padanya? Wajahnya berbentuk oval, dengan bibir sedikit tebal membuatnya semakin terlihat seksi, bukan? Kelopak mata cukup lebar berpadu dengan bulu mata lentik serta hidung kecil membuatnya bak boneka, tapi kenapa tak mampu membuat Rayden terpesona?
Ruby menyisir rambut halusnya sembari memperhatikan lengan atasnya yang kecil sesuai dengan postur dan berat tubuhnya. Kemudian perhatiannya jatuh turun pada dadanya yang cukup berisi dan tampak kencang, belum pernah terjamah pria manapun. Tapi, kenapa semua itu tak mampu membuat Rayden ingin menyentuhnya?
Tiba-tiba gerak tangan Ruby terhenti dan entah bagaimana, tetes demi tetes air mata mulai jatuh bercucuran. Meski tampak begitu kuat, ada kalanya Ruby merasa lelah.
Ruby melanjutkan kegiatan menyisir rambutnya sambil berusaha menahan air mata dengan mendongak seraya mengatur napas. “Apa yang kau lakukan, Ruby? Jangan menangis!” teriak Ruby dalam hati. Selalu saja, di saat ia berada di titik terendah hingga menangis, ia selalu berteriak dalam hati, melarang dirinya sendiri menangis. Namun, setelah menangis ia justru merasa sedikit lebih tenang dan kembali menjadi Ruby yang sekuat baja setelahnya.
Ruby kembali membasuh wajahnya, menghapus jejak air mata sampai tiba-tiba ia tersentak mendengar suara bel. “Siapa?” batin Ruby. Ia yakin bukan Rayden, suaminya tak akan menekan bel untuk masuk ke rumahnya sendiri. Ingin segera melihat, ia bergegas keluar dari kamar mandi menuju pintu utama.
“Hah … akhirnya kau membuka pintu. Suamimu ini sangat berat.”
Baru saja Ruby membuka pintu, ia telah disambut suara desahan berat Dafa. Pria berusia 28 tahun itu merangkul Rayden yang tak sadaran diri. Rayden benar-benar mabuk.
“Ada apa dengannya?” tanya Ruby. Namun, sebelum Dafa menjawab, ia sudah bisa menebak apa yang terjadi saat mencium bau alkohol yang begitu menyengat dari tubuh sang suami.
“Dia mabuk. Padahal tidak kuat minum tapi suamimu ini benar-benar. Benar-benar menyusahkan aku,” jawab Dafa seraya membaringkan Rayden dengan sedikit kasar ke sofa. Ia lalu menjatuhkan dirinya di sofa lain untuk beristirahat.
Ruby menatap Rayden dalam diam. Ia tahu Rayden tidak suka minum. Jika sampai seperti ini, mungkin karena yang dia katakan sebelumnya.
“Boleh aku minta tolong? Aku sangat haus. Tenagaku terkuras habis membawanya kemari. Entah dosa apa yang dia buat, dia benar-benar berat,” ucap Dafa dengan sedikit terengah dibuat-buat, mendramatisir betapa susah payahnya ia membawa Rayden ke dalam rumah.
Ruby tersadar dari tenggelamnya pikiran. “Ah, ya, baik lah,” ucapnya dan segera melangkah ke dapur mengambilkan Dafa minuman.
Tak lama setelahnya, Ruby kembali dengan membawa segelas minuman untuk Dafa.
“Terima kasih,” ucap Dafa menerima minuman yang Ruby berikan. Ia segera meminumnya hingga tandas seakan tenggorokannya benar-benar kekeringan. “huah ….” Dafa mengusap mulutnya yang basah jejak air minumnya. Meletakkan gelasnya ke atas meja, diperhatikannya Ruby yang duduk di tepi sofa di mana Rayden terbaring yang mana ia tengah membuka pakaian Rayden.
Ruby membuka kancing kemeja Rayden satu- persatu sampai tiba-tiba gerak tangannya terhenti saat mendengar suara Dafa.
“Sebenarnya, kau itu siapa?” tanya Dafa. “kau sudah lama mencintai Rayden, kan? Tapi, dia sama sekali tidak mengenalmu. Dari mana kau mengenal Rayden?” imbuhnya.
Ruby terdiam sampai jari lentiknya kembali bekerja sama membuka kancing kemejanya Rayden. Pikirannya pun tenggelam, mengingat bagaimana dirinya bisa sangat mencintai suaminya itu.