Rayden menggosok rambutnya yang basah menggunakan handuk. Ia baru saja selesai membersihkan diri dan bersiap mengganti baju sampai tiba-tiba, pintu kamar yang terbuka membuatnya menoleh.
“Pesananmu sudah siap, Suamiku. Mau makan sekarang, atau … makan aku dulu?”
Ruby berjalan menghampiri Rayden yang berdiri di depan lemari. Namun, seketika langkahnya terhenti saat suara Rayden terdengar.
“Berhenti di sana dan keluar,” ucap Rayden.
Ruby menggembungkan pipi sengaja memasang wajah kesal. Ia pun bersedekap d**a. “Hish, padahal kita ini suami istri tapi kau selalu menjaga jarak denganku.”
“Jangan sengaja memperbanyak pembicaraan denganku. Cepat keluar.”
Ruby semakin menekuk wajah sampai tiba-tiba ia memasang wajah terkejut dibuat-buat, tangannya pun berada di depan mulutnya yang terbuka. “Ha? Apa jangan-jangan kau itu gay?”
Alis Rayden berkerut tajam. Ia tahu Ruby hanya ingin memancingnya, tapi ia tak akan terpancing.
“Ya, kau pasti gay, kan? Hanya gay yang bisa tahan tak menyentuh lawan jenisnya padahal sebulan tinggal seatap,” ucap Ruby kembali. Ia sengaja, ia ingin membuat Rayden marah dan membuatnya membuktikan bahwa ucapannya itu tidak benar.
Rayden mengambil langkah membuatnya tepat berada di hadapan Ruby, hanya berjarak satu langkah. Ia lalu mengatakan, “Ya, kau benar. Sebenarnya aku adalah gay. Aku memang gay, dan aku hanya memanfaatkan Airin untuk menutupinya. Sekarang, apa yang mau kau lakukan? Kau mau kita berpisah? Katakan saja, aku akan mengatur semuanya. Kau tahu aku tak bisa menceraikanmu karena ayah. Tapi jika kau yang ingin bercerai, ayah pasti tak dapat melakukan apa-apa.”
Ruby terdiam, semua tak seperti yang ia bayangkan dan pikirkan. Ia pikir Rayden akan marah lalu membuktikan bahwa dia bukan gay dengan menyentuhnya, tapi Rayden justru membeli tuduhannya.
Rayden mengangkat dagu menatap Ruby seakan dirinya hanyalah sampah tak berarti. “Kau kira bisa mempermainkanku? Caramu terlalu kekanakan. Sekarang, cepat keluar.” Aura Rayden tampak begitu suram saat mengatakan kalimat terakhir. Ruby yang biasanya kebal dengan itu tiba-tiba saja merinding dan membuatnya memilih berbalik dan melangkah pergi. Meski bisa bersikap seperti tak terjadi apa-apa setelah tamparan yang Rayden berikan kemarin, sebenarnya dirinya tak bisa benar-benar melupakannya, masih tersisa sedikit rasa takut berpikir Rayden akan kembali memberinya tamparan serupa.
Ruby berdiri di depan pintu kamar Rayden setelah menutupnya. Tangannya terkepal di depan d**a seolah mengepal jantungnya yang berdebar-debar. Memejamkan mata sejenak, ia mengembuskan napas berat lewat mulut. “Jangan menyerah, jangan pernah menyerah, Ruby. Apapun dan bagaimanapun, jangan pernah berhenti berusaha membuatnya jatuh cinta padamu,” ucap Ruby menyemangati diri sendiri. Namun, tiba-tiba saja ia tertunduk lesu setelah menghela napas berat. Kalimat penyemangat itu begitu mudah terucap, sayangnya terasa begitu sulit terwujud.
Tak lama kemudian, Rayden dan Ruby telah duduk di kursi meja makan menikmati makan malam bersama. Seperti biasa, Rayden menikmati masakan Ruby. Meski tak menyukai orangnya, ia akui, masakan Ruby sesuai dengan selera lidahnya.
“Nanti aku mau keluar dengan temanku,” ucap Ruby tiba-tiba yang seketika menghentikan gerak tangan Rayden yang hendak memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
Rayden mengangkat kepala, menatap Ruby yang tetap menikmati makan malamnya setelah mengatakan kalimat sebelumnya. Ini kali pertama Ruby meminta izin padanya keluar rumah bersama teman. “Terserah,” jawab Rayden.
“Kurasa aku akan pulang larut.”
Baru saja Rayden hendak kembali memasukkan nasi ke dalam mulut, gerak tangannya terhenti. Namun, pada akhirnya ia kembali mengucapkan kata yang sama seperti sebelumnya.
Ada sedikit rasa kecewa yang terpancar di wajah Ruby. Ia berharap Rayden penasaran ke mana ia pergi dan dengan siapa, tapi sepertinya suaminya itu benar-benar tidak peduli, seperti biasa.
Cukup lama setelahnya, Rayden menyibak gorden kamarnya saat mendengar suara mobil di luar. Seperti yang Ruby katakan sebelumnya, ia akan pergi dengan temannya dan temannya itu menjemputnya sekarang.
Rayden menajamkan penglihatannya, melihat siapakah teman Ruby, apakah laki-laki atau perempuan. Namun, ia tak dapat melihatnya dengan jelas sebab teman Ruby itu tak turun dari mobil.
Sret!
Rayden menutup gorden setelah mobil yang menjemput Ruby meninggalkan halaman rumahnya. Untuk apa ia penasaran? Mau ke manapun Ruby atau dengan siapapun dia pergi, itu sama sekali bukan urusannya. “Harusnya dia seperti ini sejak awal,” gumam Rayden saat membalikkan badan dan melangkah menuju ranjang. Ia duduk di tepi ranjang dan mengeluarkan ponsel dari saku celana saat benda pipih itu bergetar.
“Halo,” jawab Rayden setelah mengangkat panggilan.
“Di mana?”
“Di rumah.”
“Mengenai kemarin, sepertinya foto-foto itu benar.”
Rayden hanya diam. Ia menyuruh seseorang menemukan keberadaan Airin dari foto-foto yang ayahnya berikan, menemukan lokasi di mana foto itu diambil.
“Tapi dia tidak sendirian. Dia bersama seorang laki-laki.”
Ulu hati Rayden seolah ditusuk. Mengetahui kenyataan mengenai Airin saja sudah membuat hatinya begitu sakit, apalagi mendengar wanita itu bersama lelaki lain setelah meninggalkan pernikahannya begitu saja. Andai saja waktu itu Airin memberitahunya, mengatakan semuanya sejelas dan sejujurnya, mungkin ia akan mengerti bahkan menerimanya meski sulit. Tapi, semuanya sudah terlambat sekarang, hanya ada rasa sakit hati yang tersisa di hati Rayden.
“Aku tidak tahu mereka sudah menikah atau tidak, tapi mereka tinggal bersama. Rumah yang wanita itu tempati adalah rumah pria itu.”
Rayden menutup panggilan tanpa mengatakan apapun, rasanya ia tak sanggup lagi mendengar sesuatu mengenai Airin. Rasa benci, kecewa dan marah menjadi satu. Namun, bayangan Airin yang bak malaikat kala tersenyum padanya seakan-akan masih tersimpan dalam relung hati kecilnya dan justru semakin membuat dadanya sesak.
Di tempat lain, Ruby masih dalam perjalanan, menghadiri acara reuni bersama teman lelakinya bernama Azka Zayyan.
“Kau yakin suamimu tidak akan marah?” tanya Azka. Pria itu merupakan teman Ruby saat SD. Mereka tak sengaja bertemu setelah Ruby kembali dari luar negeri waktu itu yang membuat keduanya kembali menjalin pertemanan. Dan malam ini Azka meminta Ruby menemaninya menghadiri acara reuni SMA.
“Kurasa … tidak,” jawab Ruby yang menyandarkan kepala pada jok sambil memainkan ponselnya.
Azka melirik Ruby sekilas lewat ekor mata lalu kembali mengatakan, “Maaf, sudah merepotkanmu. Harusnya aku meminta bantuan orang lain.”
Ruby seketika menoleh, mengalihkan perhatiannya dari ponsel di tangan. “Apa maksudmu? Sudah kukatakan, aku tidak keberatan. Kurasa aku memang butuh sedikit hiburan.”
Azka tersenyum tipis. “Yah … kau memang pahlawanku. Terima kasih.”
“Ck, bicara apa dirimu? Tapi, sebenarnya aku merasa aneh. Sangat aneh tidak ada wanita yang mau denganmu dan menjadi pasanganmu di acara seperti ini. Ingat, kau hampir kepala tiga, loh. Setidaknya, cari pacar sebelum kau jadi kakek-kakek,” cerocos Ruby.
Azka terkekeh. Namun, tak mengurangi konsentrasinya pada kemudi. “Jangan bicara seakan aku sudah sangat tua, kita ini seumuran,” ujarnya.
Ruby menggoyangkan telunjuknya dan membalas, “A … a, aku masih dua puluh lima, kau hampir dua puluh enam, jadi lebih mendekati kepala tiga.”
Kekehan Aska kembali terdengar. Ia merasa senang, Ruby selalu bisa membuatnya tertawa. Andai saja tak memikirkan hubungan pertemanan mereka, ia sudah mengatakan alasannya belum memiliki pasangan. Semua itu karena Ruby, pertemuannya dengan Ruby beberapa bulan yang lalu membuatnya memiliki rasa pada teman masa kecilnya itu.
“Sebenarnya, aku bisa memilih wanita manapun, banyak wanita yang mau jadi pacarku, tapi–”
“Tapi tidak ada yang sesuai seleramu,” sela Ruby.
“Sangat pintar. Bagaimana aku menjalani hubungan dengan wanita yang bukan tipeku?”
Ruby terdiam, apa yang Azka katakan mengingatkan akan hubungannya dengan Rayden. “Ya, kau benar,” gumamnya disertai senyum kecut.
Azka melirik rubi sekilas. Sebenarnya ia tidak benar-benar tahu seperti apa hubungan Ruby dan suaminya. Meski cukup yakin hubungan pernikahan mereka tidak baik-baik saja, ia tak ingin menjadi pengganggu dalam hubungan mereka kecuali Ruby yang memintanya.
“Eh?” Ruby bergumam saat ponselnya bergetar. Wajahnya seperti terheran melihat nomor Rayden tertera pada layar apa lagi video call. Ia pikir suaminya itu sama sekali tak peduli.
“Ada apa?” tanya Azka.
“Suamiku menelpon,” jawab Ruby sambil menunjukkan layar ponselnya. Sebagian hatinya menyuruhnya mengangkat panggilan dan menunjukkan pada Rayden ia pergi dengan teman prianya, berpikir mungkin saja suaminya itu akan marah. Namun, sebagian hatinya merasa ragu, tak ingin kembali kecewa jika respon Rayden seperti biasa, sama sekali tak peduli.
“Kau mau mengangkatnya?”
Ruby hanya diam sambil meremas ponsel di tangan. Mengambil napas dalam-dalam, ia mengambil satu keputusan.
“Kurasa ….”