"Seriusan kamu mau pergi begitu saja? Ini tidak seperti Alexa yang aku kenal."
Berjalan memasuki lift, Halen terus meledek Alexa yang bersikap seperti bukan dirinya. Namun di sisi lain dia juga menunjukkan rasa simpati dengan merangkul Alexa sambil berdiri di sampingnya.
"Kamu mengharapkan apa dariku? Apa aku harus menangis histeris dan berteriak seperti orang gila? Atau aku harus menghancurkan semua barang di sana membuat keributan?"
Alexa berdecak. "Pria b******k seperti itu tidak layak untuk ditangisi. Satu tamparan tadi sudah lebih dari cukup untuk menebus semuanya. Bukan karena aku masih mencintainya, tapi karena dia tidak layak."
"..."
Halen sempat terdiam mendengar apa yang dikatakan Alexa. Kemudian bertepuk tangan.
Menurut dia, sepupunya malam ini sedikit berbeda dari hari-hari biasanya. Yang biasanya selalu suka membuat masalah tiba-tiba berubah menjadi agak dewasa.
"Jika terus seperti ini mungkin ke depannya pekerjaanku akan lebih ringan," batin Halen, tersenyum diam-diam.
Alexa menunggu di depan pintu keluar saat Halen mengambil mobil. Lima menit kemudian Halen datang sambil menurunkan kaca. Melambaikan tangan meminta Alexa segera naik.
Alexa mendekat. Namun tidak membuka pintu melainkan hanya menunduk meletakkan dagunya di atas jendela yang separuh terbuka.
"Aku sudah pesan taksi. Pulanglah duluan."
Kening Halen mengernyit. Menatap Alexa sambil berusaha membuka pintu, tapi Alexa sengaja menahan agar pintu tidak dapat terbuka.
"Minggir, tidak? Aku akan menarikmu masuk sekarang juga."
"Kubilang aku sudah pesan taksi. Kamu pulanglah duluan," pinta Alexa.
Sejenak Halen diam memperhatikan jam di ponselnya. "Memangnya mau ke mana lagi? Ini sudah jam sembilan. Kamu harus pulang."
"..."
Tidak ada kata yang diucapkan Alexa. Sikap diamnya itu membuat Halen cukup frustrasi. Pada akhirnya hanya bisa membiarkan Alexa pulang sendiri seperti keinginannya.
"Baiklah. Tapi ingat! Jangan keluyuran ke sembarangan tempat. Saat ini media masih sangat sensitif tentangmu. Dan pastikan untuk pulang sebelum tengah malam. Mengerti?"
"Iya iya. Cerewet sekali," gumam Alexa pelan, tapi siapa sangka Halen mendengarnya cukup jelas.
"Aku cerewet karena kamu terus membuat masalah akhir-akhir ini. Membuatku harus bekerja membereskannya setiap waktu."
Alexa hanya tersenyum tanpa mengatakan apapun. Membuat Halen mendengus kemudian menyalakan mesin mobil dan melaju pergi meninggalkan tempat tersebut.
Tiga menit berlalu dan taksi yang dipesan belum juga datang. Alexa berjalan ke arah trotoar. Berdiri sambil bersandar di tiang lampu jalan.
Tanpa disadari sepasang mata sejak tadi terus memperhatikannya. Memandang dari kejauhan seperti memiliki kesan yang ingin disampaikan.
"Tuan? Apa ada yang tertinggal?"
Pertanyaan dari sang sopir menyadarkan pria itu. Dia membuka pintu mobil di depannya. Menaikkan satu kaki sembari pandangannya kembali ke tampat wanita yang ada di seberang jalan.
Namun, dia tak menemukan sosok yang sebelumnya masih berada di sana.
"Ke mana dia? Sudah pergi?"
___
Rose Bar. Sebuah bar hotel di pusat kota yang telah beroperasi belasan tahun dengan pelanggan dari berbagai kalangan.
"Hei! Kau lihat pelanggan yang di sana? Coba kau tawari sesuatu. Dia sudah di sana sejak tiga puluh menit yang lalu dan belum memesan apapun."
Seorang bartender bicara dengan rekan kerjanya. Fokus mereka tertuju pada Alexa yang tampak sendirian di ujung meja bar.
"Baiklah. Aku akan pergi," ucap bartender itu sambil meraih botol wine di belakangnya.
Perlahan dia menggeser kakinya hingga tepat berada di depan Alexa.
"Nona, boleh saya memberikan rekomendasi? Ini adalah petrus wine. Salah satu koleksi terbaik yang kami miliki. Berasal dari daerah Pomerol di Bordeaux, Prancis. Dibuat dari anggur merlot dan dianggap sebagai salah satu wine terbaik di dunia."
Alexa yang sudah diam di depan meja bar perlahan mengangkat wajahnya mendapati seorang bartender di depannya.
"Apa itu bisa membuatku melupakan perasaan menyedihkan?"
Bartender itu menjadi agak ragu mendengar pertanyaan yang menurutnya sedikit di luar nalar.
"Ya. Mungkin," jawabnya.
Alexa diam cukup lama sebelum melepas masker, memperlihatkan wajah cantiknya yang menawan.
"Berikan padaku."
Bartender itu tertegun beberapa saat. Merasa seperti pernah melihat wajah di depannya, tapi tidak begitu ingat di mana pernah melihatnya.
Brak!
Alexa memukul meja dengan telapak tangannya. Tidak begitu keras, tapi cukup untuk menyadarkan bartender yang terus menatapnya dan segera menuangkan wine untuknya.
"Bisa tinggalkan aku sendiri?"
Setelah menggeser botol wine bartender itu pergi meninggalkan Alexa. Tak perlu memaksakan diri karena dia sudah cukup senang membayangkan bonus yang akan diterimanya setelah berhasil menjual wine seharga 45 juta.
Memang cukup mahal untuk ukuran minuman beralkohol. Namun bagi Alexa nominal itu masih tidak terlalu besar. Dia meraih wine yang sudah dituangkan sebelumnya dan meneguk wine tersebut hingga gelas itu kosong tak bersisa.
Karena merasa kurang Alexa kembali mengisi gelas itu dengan petrus lalu sekali lagi meneguknya.
Sampai di gelas keempat wajah Alexa terlihat cukup merah. Tangannya bergetar, tapi masih bersikeras menuang wine itu ke dalam gelas.
Tanpa sadar saat itu air matanya mulai menggenang. Padahal dia ingin menghapus semua kenangan menyedihkan dengan membuat dirinya mabuk. Namun bukannya hilang, kenangan itu malah memenuhi kepalanya dan muncul seperti klip video panjang.
"b******k!" ucap Alexa memaki mantan pacarnya.
Meski Alexa tak menunjukkan respon berlebihan saat memergoki perselingkuhan mantan pacarnya, tapi sebagai seorang wanita dia pun merasakan kekecewaan yang begitu dalam. Apalagi memikirkan wanita yang menjadi selingkuhan adalah juniornya di agensi yang sama.
Bagaimana mereka bisa melakukan hal itu padanya? Dan masih menyalahkan dirinya saat mereka b******u di atas ranjang yang sama.
Alexa berpura-pura tangguh di depan mereka agar tidak terlihat lebih menyedihkan. Dia menutupi rasa sakitnya dengan memperlihatkan wajah acuh tak acuh. Namun sekali lagi, tidak ada orang yang akan baik-baik saja setelah memergoki pasangan mereka telah berselingkuh. Tidak ada. Tidak satu pun.
Saat itu, dari arah pintu, dua orang pria baru memasuki bar. Satu dari mereka mengenakan kemeja merah, sedangkan satu lainnya mengenakan kemeja putih.
"Jadi ini tempat yang kamu maksud? Terlihat biasa saja. Tidak ada yang istimewa."
Pria berkemeja merah mendengus mendengar perkataan temannya. "Jangan terlalu cepat menilai. Kau bahkan belum melihat koleksi minuman di sini. Setelah melihat sendiri, aku yakin kau tidak akan berkata seperti itu."
"Aku meragukannya," sahut pria berkemeja merah.
Mereka berdua sampai di depan meja bar. Dan tanpa membuang banyak waktu pria berkemeja merah meminta bartender mengeluarkan koleksi terbaik mereka.
Ada sekitar sepuluh botol dengan empat merek yang berbeda. Semua adalah wine dengan kualitas terbaik. Pria berkemeja merah tersenyum dan meminta bartender itu mengemas semua untuk mereka.
"Berapa totalnya?"
Bartender segera mengambil kalkulator dengan wajah sumringah. "Totalnya 478 juta. Mendapat diskon 5 persen, jadi Anda hanya perlu membayar 454 juta."
Ugh!
Pria berkemeja merah terdiam mendengar nominalnya. Meski sudah menduga harganya akan mahal, tapi tidak mengira akan semahal itu.
"Kenapa? Tidak punya uang? Jika begitu biar aku yang bayar."
Tcih!
Pria berkemeja merah mendengus dan menatap kesal temannya. "Barra Agra!! Aku memang tidak sekaya kau. Tapi aku juga tidak miskin. Hanya ratusan juta. Aku masih mampu membayarnya."
Pria itu kemudian mengeluarkan kartu kreditnya dan melakukan transaksi saat itu juga.
"Kalian bilang saat itu ada koleksi baru yang datang dari prancis. Tapi sepertinya bukan termasuk dari empat merek ini. Kalian tidak mau mengeluarkannya?"
Kedua bartender itu saling memandang. "Maaf Tuan. Tapi untuk koleksi yang Anda sebutkan. Botol terakhir baru saja terjual oleh nona yang ada di ujung meja."
Terjual?
Pandangan mereka langsung tertuju pada Alexa. Pria berkemeja merah yang bernama Alfian menghembus nafas kecewa. Sedangkan Barra tampak cukup serius saat memandang sosok Alexa.
"Dia ...."
Walau ini pertama kali Barra melihat wajahnya, tapi dia yakin jika wanita yang ada di ujung meja adalah sosok yang sama yang datang ke kamar Alfian dan terlihat di bawah tiang jalan.
"Barra! Ayo kembali ke hotel," ajak Alfian karena sejak awal mereka datang hanya untuk membeli minuman dan akan menikmatinya di hotel bersama beberapa teman lainnya.
"Kau duluan saja. Aku ingin pesan yang lain."
"Begitukah? Jangan lama-lama. Ku tunggu di tempat parkir."
Barra hanya berdehem. Namun dia tak segera memesan dan hanya duduk sambil melirik ke tempat Alexa.
Saat itu, di tempat Alexa, seorang pemuda tiba-tiba duduk di sampingnya. Terlihat memperhatikan wajah Alexa, dan merasa sangat puas saat menyadari wajah cantiknya.
"Manis! Kamu sendirian di sini?"
Seperti predator yang baru menemukan mangsanya. Pemuda itu menyisir rambut dengan tangan lalu memamerkan kunci mobil BMW-nya.
"Namaku Johan. Mau berkenalan?" ucapnya sembari mengulurkan tangan.
Namun Alexa bahkan tidak bergeming. Dia hanya fokus meneguk wine lalu mengisi gelas kembali setelah menghabiskannya.
Suara tawa terdengar dari belakang. Sepertinya itu adalah kelompok pria bernama Johan. Mereka tertawa kerena teman mereka benar-benar diabaikan seperti seorang pecundang.
Tentu saja situasi ini membuat senyum di wajah Johan menjadi kaku. Dia merasa seperti telah dipermalukan dan merasa sangat kesal. Namun dia masih mencoba menahannya.
"Kamu tahu, teman-temanku sedang melihat dari belakang. Jadi bisakah kamu bekerja sama?" Johan berbisik untuk mengajak Alexa bermain peran.
Namun sayang Alexa sudah dalam pengaruh alkohol dan dia sangat sensitif.
"Berisik! Apa kau harus datang ke sini dan membuatku jijik? Enyahlah!" usir Alexa tanpa menolehkan wajahnya.
Seperti dipermalukan dua kali. Wajah pria bernama johan semakin memerah padam. Matanya melotot, sementara tangannya terkepal.
"Dasar jalang! Kau pikir bisa bersikap angkuh hanya karena punya wajah cantik?!"
Dia benar-benar marah. Berniat menarik tangan kiri Alexa, tapi karena posisi kaki tidak menemukan pijakan yang pas membuatnya kehilangan keseimbangan dan terhuyung ke belakang saat tak bisa meraih tangan Alexa.
Sial baginya karena ada sebuah kursi tepat di belakangnya. Tubuhnya masih terhuyung dan seketika terjungkal ke belakang.
Bruak!
Beberapa kursi bar ikut terbanting seperti efek domino. Membuat kekacauan agaknya menarik cukup banyak perhatian.
Johan yang masih terlentang kemudian bangkit dengan amarah. Dia melirik ke tempat teman-temannya yang masih tertawa menertawakannya.
Dia semakin marah. Dan untuk melampiaskan rasa malunya dia memilih menyalahkan semua pada wanita jalang di depannya.
"Sial! Aku akan memberimu pelajaran."
Alexa terkejut dengan teriakan pria itu. Lebih terkejut lagi melihat dia benar-benar berniat menamparnya.
Dengan sisa kesadaran yang masih ada Alexa memalingkan wajah ke arah lain sambil menyilangkan tangan melindungi kepalanya.
Dia berpikir tamparan itu pasti akan mengenainya. Namun setelah cukup lama memejamkan mata dan masih tidak merasakan apapun, Alexa perlahan menengadahkan kepala sambil menurunkan tangannya.
Ternyata ada lengan yang tampak kokoh muncul di depannya menahan tamparan itu. Pemiliknya seorang pria berwajah tegas dengan rambut sedikit ikal mengenakan kemeja berwarna putih.
"Kamu baik-baik saja?"
Pandangan Alexa terus tertuju pada mata hitam legamnya. Seolah dia telah terhipnotis dengan tatapan dalam pria di depannya.
"Sialan! Siapa kau ikut campur dalam urusanku?! Lepaskan!!"
Johan merongrong berusaha menarik tangannya dari cekalan Barra. Pandangan Barra yang semula masih pada Alexa seketika beralih pada pria yang masih ia pegang tangannya.
"Seorang pria tidak mengangkat tangannya untuk melukai wanita. Jika ada pria yang melakukannya, itu berarti dia tidak pantas disebut pria."
Setelah berusaha mati-matian akhirnya Johan berhasil melepaskan cekalan tangan itu. Dia mundur beberapa langkah sambil memegang pergelangan tangannya.
"Apa masalahmu?! Jangan ikut campur urusan orang lain."
Barra memiringkan kepalanya. "Kalo mau tetap ikut campur kamu mau apa?"
"..."
"Haish- ...."
Johan berbalik pergi karena tahu kemampuannya dalam berkelahi sangat payah. Jika tetap berada di sana dia hanya akan semakin mempermalukan dirinya di depan teman-temannya.
Huh!
Barra mengangkat sedikit ujung bibirnya. Dia berbalik hendak mencari Alexa, tapi tak berpikir wanita itu tiba-tiba sudah berada di depannya dan berdiri sangat dekat hingga hampir tidak ada jarak di antara mereka.
"Kamu ...."
Alexa semakin mendekatkan wajahnya. Meraba d**a bidang pria di depannya lalu tersenyum sambil menatap matanya.
"Siapa namamu? Mau tidur denganku?"