Keramaian lalu lintas membuat jalanan tampak padat, suara klakson terdengar menggema di beberapa penjuru. Mobil yang ditumpangi oleh Maira juga Harley, dan tentunya dikemudikan oleh Seam merangkak di antara kemacetan. Kalau sudah seperti ini, kemungkinan mereka akan tiba di rumah ketika adzan maghrib berkumandang.
Di antara jalanan yang macet itu, tak sengaja pandangan Maira jatuh pada iklan di sebuah banner yang terpajang di depan gedung sekolah swasta. Iklan itu berisi tentang penerimaan tenaga didik baru lulusan pondok pesantren yang dulu menjadi tempat Maira bergelut dengan pendidikan.
Tentu saja hal itu membuat Maira tertarik. Bagaimana tidak, ini lah hal yang dijanjikan dan ditunggu-tunggu oleh setiap pelajar berprestasi di tempatnya menuntut ilmu sejak awal. Wanita itu meraih sebuah buku dan pena yang kebetulan tersimpan di saku belakang jok, lalu mencatat kriteria dan persyaratan untuk mendaftar sebagai pengajar di sekolah itu.
"Kau sedang apa?" Harley bertanya setelah menyadari istrinya itu sibuk mencatat di sebuah buku.
Maira melingkari catatannya, lantas menoleh pada Harley yang tampak penasaran dengan apa yang dia tulis. Maira menunjukkannya pada suaminya.
"Mas, aku boleh daftar jadi tenaga didik di sekolah ini?" ucap Maira, bertanya dengan antusiasnya, membuat Harley menaikkan kedua alis heran.
"Apa uangku tidak cukup untuk membiayai kebutuhan dan keinginanmu?" tanya pria itu.
"Tidak, bukan seperti itu maksudku," jawab Maira.
"Lalu?"
"Aku hanya ingin memanfaatkan waktu untuk menyalurkan ilmu pada anak-anak di sekolah, dengan begitu aku bisa beramal seumur hidupku," papar Maira, terdengar begitu tulus dari relung hatinya.
Namun, Harley memikirkan hal lain atas keputusan yang ingin diambil istrinya. Jika Maira bekerja, itu berarti Harley harus ekstra sabar menantinya. Selain itu, waktu yang mereka miliki untuk bersantai pun pasti akan berkurang. Belum lagi jika terjadi sesuatu pada istrinya di luar sana. Tentu kecemasan Harley akan meningkat terhadap wanita itu.
"Tidak, aku tidak akan mengizinkanmu bekerja," putus Harley.
Maira memajukan bibir, sedikit kecewa dengan keputusan Harley. Mau bagaimana pun, dia berjanji tidak akan menentang perintah suaminya. Namun, wanita itu juga berjanji tidak akan menyerah begitu saja untuk merayu agar Harley mengizinkannya, setidaknya untuk mendaftar dahulu di sekolah itu.
"Ayolah, Mas, please. Setidaknya izinkan aku untuk mencoba daftar di sekolah itu. Kalau tidak diterima, berarti aku memang tidak ditakdirkan untuk mengajar di sana," rayunya dengan raut sendu, membuat Harley tak tega sekaligus berat untuk memutuskan bahwa dia mengizinkannya.
"Ya, ya, ya," ucap Maira seraya mengikuti arah pandang Harley yang tampak tak ingin melihat raut memohon di wajahnya.
"Mairaa." Harley berkata dengan napas keluar cukup berat dari lubang hidung dan mulutnya. Pria itu juga bergerak menjauh seolah tak ingin mendengar rayuan dan melihat raut memohon wanita itu.
"Iyaa," jawab Maira yang menganggap barusan pria itu memanggilnya. "Mas Kean mengizinkanku?" tambahnya, kali ini dengan senyum merekah dan suara manja.
"Hm, hm." Maria mengedip-ngedipkan kedua mata dengan tangan yang sudah melingkar di tubuh suaminya, membuat Harley terpaksa harus melihat ke arah wanitanya itu, lalu tersenyum meski singkat. Tak mampu dia menahan geli di perutnya.
"Baiklah kalau itu maumu," ucap Harley pada akhirnya. "Tapi ada syaratnya," tambah pria itu.
"Apa itu? Apa syaratnya banyak? Kalau begitu aku akan mencatatnya," ucap Maira sambil bersiap-siap untuk mencatat semua syarat yang diinginkan suaminya.
Pria itu tersenyum kecil. "Kau tidak perlu mencatatnya. Kau hanya perlu mendengarkan dan mengingatnya baik-baik."
"Apa itu berarti syaratnya cuma sedikit?" tanya Maira.
"Hm," jawab pria itu.
"Kau tidak boleh beralasan letih sebab pekerjaanmu saat aku meminta jatah kapan pun aku mau." Harley mengatakan syarat pertamanya, membuat Maira melirik seorang pria yang tengah mengemudi di depan.
Wanita itu hanya malu sebab Harley mengatakannya saat ada Seam di dekat mereka.
"Shuut," isyarat Maira sambil menutup mulutnya dengan jari telunjuk.
Harley yang mengerti maksud istrinya pun menoleh ke arah Seam yang duduk di belakang kemudi. "Biarkan Seam mendengarnya, sekalian menjadi saksi bahwa kau menyanggupi syarat yang aku berikan," kata Harley dengan senyum nakal.
Maira menggigit bibir bawahnya, menahan senyum malu. Wanita itu hanya mengangguk untuk menyetujui syarat suaminya.
"Oke, yang kedua kau tidak boleh pergi ke mana pun tanpa izin dariku."
Kali ini Maira melemaskan bahu-bahunya. "Tanpa Mas Kean suruh pun aku sudah berjanji pada diriku untuk tidak pergi tanpa izin dari suamiku."
Gantian Harley yang tersipu, pria itu tersenyum dengan tampannya lalu mengubah syaratnya. "Oke kalau begitu syarat yang kedua aku ganti. Kau hanya boleh diantar dan dijemput oleh Seam ke mana pun kau ingin pergi saat aku tidak ada di dekatmu."
"Setuju," putus Maira tanpa harus berpikir panjang.
"Yang ketiga, kau tidak boleh terlalu letih, jaga kesehatanmu dan bayimu, dan jangan pernah menyembunyikan sesuatu apa pun dariku," tambah Harley.
"Setuju." Maira tidak menyangka jika semua syarat yang diberikan suaminya justru sangat menguntungkan baginya.
"Yang keempat, kau harus bahagia," pungkas Harley, membuat senyum di bibirnya tampak sangat manis seiring dengan perkataan yang keluar dari mulutnya.
Lagi-lagi Maira tersipu malu. Wanita itu tertawa geli, dicubitnya lengan pria itu, gemas. Bisa-bisanya Harley membuat dadanya menghangat hingga ke perut. Bayi di dalam perut Maira pun bisa merasakan kebahagiaan ibunya yang mengalir deras hingga ke tali pusar.
Harley ikut tersenyum, diciumnya kepala wanita yang saat ini bergulung manja di depan dadanya.
"Apa ibumu sedang malu saat ini?" tanya pria itu sambil mengusap perut Maira, bertanya pada janin yang masih tertidur nyenyak dalam rahim wanita kesayangannya.
Maira tidak bisa menghentikan senyum tawanya. Dia ikut mengusap perutnya sendiri bersamaan dengan tangan suaminya.
"Dia pasti sudah tidak sabar ingin bertemu dengan papanya yang sangat pandai menggoda ini," ucap Maira, gantian menggoda pria itu.
Harley tidak bisa untuk tidak tertawa. Seharusnya dia tidak meremehkan wanita yang faktanya lebih pandai dalam urusan menggodanya. Tanpa sadar, pria itu meremas salah satu buah yang menggantung di d**a istrinya.
"Hah …!" Maira menarik napas spontan sebab merasakan rangsangan yang sangat panas yang dikirim oleh hormon di tubuhnya.
"Mas …!" bisik wanita itu dengan sedikit protes sebab masih ada Seam yang mengemudi di depan mereka.
"Kau benar, aku harus menunggu sampai tiba di rumah," ucap Harley tanpa harus dijelaskan panjang lebar oleh Maira.
Setelah merangkak di jalanan akibat kemacetan, akhirnya mobil yang dikendarai Seam masuk dan parkir di garasi rumah Harley. Pasangan suami istri yang sejak tadi sudah menunggu waktu untuk mengadu kasih pun tampak b******u mesra di ruang tengah rumah mereka. Tampak Harley yang menggendong Maira di depan tubuhnya, sedangkan Maira menangkup kedua pipi pria itu.
"Kau tidak ingin menciumku?" tanya Harley yang sudah mendongak dan menunggu gadis di gendongannya itu menciumnya.
Maira terkekeh dengan satu kaki tertekuk ke belakang. Gadis itu mencium bibir suaminya, singkat.
"Sesingkat itu?" ucap Harley, membuat Maira terkekeh lagi lantas kembali mencium bibir suaminya.
Harley mendudukkan Maira di sandaran sofa ruang tengah agar kedua tangannya lebih bebas untuk mengakses seluruh tubuh wanitanya. Dia melepaskan khimar yang dipakai istrinya, lalu menciumi tengkuk wanita itu. Maira tertawa sesekali sebab merasakan geli dan bahagia akibat sentuhan suaminya.
"Mas Kean." Maira menghentikan dan menangkup kedua pipi Harley ketika adzan maghrib berkumandang. "Bukankah kita harus solat dan makan malam lebih dulu," ucap wanita itu mengingatkan.
"Kau tau aku tidak bisa menunda hal ini," ucap Harley yang sedang berusaha untuk mengendalikan dirinya.
"Tapi ini darurat," sebut Maira, mengucap sandi yang bisa membuat suaminya menunda niatnya sejenak. Kalimat itu yang menjadi jalan satu-satunya bagi Maira untuk mengingatkan Harley yang tidak bisa berhenti mencumbunya ketika waktu solat tiba.
"Baiklah, kau harus bersiap-siap nanti." Harley mengecup bibir wanita itu sebelum melangkah menuju ke toilet untuk membersihkan diri.
Sementara Maira mengipas-ngipas tubuhnya yang kepanasan dengan kedua tangan. Dia sendiri sudah terbakar oleh api cinta yang diberikan suaminya. Namun meskipun begitu, Maira tidak akan membiarkan cinta itu membuat mereka lengah dengan kewajiban yang sudah menjadi tanggung jawab mereka masing-masing.
***