There was a time when I was alone, drrtt...
No where to go and no place to call home, drrtt...
"Halo? Siapa, sih? Tau jam berapa nggak ini? Malah nelpon nggak penting," cerocosku tanpa memedulikan manusia di seberang sana yang meneleponku.
"Tabitha Hardiwinata! Kamu mau saya pecat, ha? Kamu tau ini jam berapa? Talitha juga perlu ke sekolah. Ternyata kebo sekali kamu." Astaga, mampus! Suara itu, suara berat milik Rafael Gumilar, iblis dari dunia lain.
"Ha? Memangnya sekarang jam berapa?" tanyaku linglung, efek bangun tidur.
"Sebaiknya kamu segera bangun, buka matamu dengan lebar dan lihat jam!"
"Saya tunggu 15 menit lagi, kalau nggak, gaji kamu akan saya potong sesuai janji saya hari itu," sambungnya.
Tut!
Tut!
Telepon dimatikan sepihak. Aku segera membuka mata dan melihat ke arah jam dinakas. Sontok mataku melotot! Demi Tuhan, ini udah jam 7.30. s**t! Kenapa alarm sialan itu nggak membangunkanku?
Aku hanya punya 15 menit lagi untuk sampai di rumah Rafael. Jaraknya cukup dekat, tapi aku meragukan lalu lintas kota yang padat ini.
Dalam waktu 5 menit, ritual pagiku udah siap. Kupilih t-shirt hitam yang dipadukan dengan blazer coklat muda dan bawahan celana kain yang bewarna senada dengan blazer. Untuk sepatu, aku menetapkan pilihan pada high heels 5 cm.
Segera kusambar semua yang kubutuhkan yaitu tas beserta kawan-kawannya. Tak lupa sebuah kopi kalengan.
"Ma, Tabitha pergi dulu, ya. I love you."
Mama membalas dari arah dapur sebelum aku menutup pintu rumah dengan rapat.
*
Gila!
Ini benar-benar gila. Kalian tau apa? Aku, Tabitha Hardiwinata, sedang berlari menerobos lalu lintas. Maafkan aku yang melanggar prinsip sendiri. Ini benar-benar penting.
"Ish! Heels ini bikin emosi jiwa, deh. Aku nggak tau dia bakal bikin aku kesusahan sampai sebegininya," cibirku sambil melepas heels-ku dan bersiap untuk lari.
Nggak jarang aku mendapat umpatan dari orang-orang yang kutabrak saat berlari, tapi aku hanya bisa membalas sambil berkata 'maaf' dan terus berlari.
"Kamu telat 0,99 detik, Tabitha. Mungkin 80% dari gajimu akan habis setelah ini." Asdfghjkl, gimana ini? Gajiku tinggal seuprit dong?
"Loh? Kok gitu? Emang Bapak tega sama saya? Dimana hati nurani Bapak? Dimana rasa berperikemanusiaan Bapak?" tanyaku penuh drama. Padahal di dalam hati, aku udah melontarkan segala macam makian berupa kumpulan nama hewan.
"Kakak Cantik. Ayo, kita berangkat." Lili menggandengku. Si Manis itu udah memakai seragam dan menyandang tas Strawberry Shortcake di pundaknya. Sungguh menggemaskan!
Aku mencium pipinya sekilas sanking gemasnya.
"Papa, kenapa Papa nggak kiss Kakak Cantik?" Situ waras, Dek?
"Nggak bisa, Lili. Kakak Cantikmu ini bukan Mama kamu. Jadi Papa nggak bisa sembarangan cium," jelas Rafa.
Untuk ukuran anak berusia 8 tahun, Lili sangat cerdas bahkan terlalu cerdas. Anak ini sangat kritis menelaah sekitarnya. Walaupun terkesan cuek, tapi Lili diam-diam memperhatikan apa yang terjadi di sekelilingnya.
"Ih, nggak apa-apa, Papa. Nanti 'kan Kakak Cantik bisa jadi mamanya Lili. Tapi sekarang, Papa harus kiss Kakak Cantik dulu. Soalnya, guru di sekolah bilang kalau kiss itu tandanya sayang. Papa harus sayang sama Kakak Cantik karena Lili juga sayang!" Lili melotot galak yang mana malah membuat anak itu semakin lucu.
Oalah, Li. Edan permintaanmu!
Tanpa aba-aba, pinggangku tertarik ke sebelah kanan dan menubruk tubuh Rafael. Bibir pria itu langsung menempel di pipiku. Walaupun hanya beberapa detik, semburat merah pasti sudah muncul di wajahku.
Tipe cewek apapun kamu, pasti selalu merona kalau dicium. Jangan munaknik, deh!
Lili terkikik senang. Tuhan, bahagia sekali bocah itu. Terengut sudah kesucian pipiku yang sudah kujaga hampir seperempat abad ini.
Tapi kamu suka 'kan?
"Main nyosor aja terus. Dikiranya aku apaan? Temen bukan, pacar bukan, istri mah apalagi," cerocosku dengan suara kecil.
Mata itu memandangku dengan tajam, membuat nyaliku ciut seketika. "Telinga saya masih cukup bagus untuk mendengar ucapakan kamu itu, Tabitha."
Aku hanya diam sambil menunduk sedikit. "Kak, ayo kita pergi. Dadah, Pa." Ugh, si Manis itu memang penyelamatku.
Ia berjalan sambil menggandeng tanganku dan melompat-lompat, masih bisa kurasakan aura dingin yang menguar dari tatapan tajam yang menusuk di belakang punggungku.
Say good bye pada iblis dari dunia lain itu.
*
"Alisha!" Aku menepuk pundak sahabat lamaku. Kami sudah nggak ketemu kira-kira 9 tahun.
Alisha saat itu harus pindah ke luar kota untuk ikut orang tuanya. Jadi, persahabatan kami terputus karena lost contact. Sampai sebulan yang lalu baru kami sempat saling menyapa lagi setelah sekian lama.
"Eh, Tabitha, ya? Kok makin cantik aja lo?" tanya Ale, nama panggilannya.
"Ah! Bacot. Muka kayak habis disiram minyak urapan gini lo bilang cantik, ampun deh," kataku sambil membuka buku menu.
Bip!
30 menit lagi kamu sudah harus Samapi di kantor. Ada rapat penting, kamu harus dampingi saya.
"Ish! Sebenernya dia ikhlas nggak sih ngizinin aku ketemu sama Al?" Gerutuanku terdengar oleh Alisha, padahal suaruku sangat kecil.
"Siapa, Bi?" tanya Al sambil menyeruput jus jeruknya.
"Oh, si Bos Gendheng. Padahal tadi gue udah minta izin. Emang dasarnya betingkah banget itu orang. Kalau bisa, dari hari itu udah gue ceburin ke empang," jawabku berapi-api. Alisha tertawa mendengar gerutuanku.
"Ngomel mulu lo, Bi. Nanti jadi suka baru tau!"
"Najis! Najong abis!"
Aku hanya membaca pesan Rafa tanpa berniat membalasnya. Tapi sialnya, aplikasi chatting ini bisa melihat kalau pesannya sudah dibaca atau belum. Ah, pada rese semua.
Kenapa nggak balas, Nona Tabitha? Waktumu tinggal 15 menit lagi.
Sialan banget, ya, itu orang. Nggak ada habisnya buat cari masalah sama aku.
"Jadi, lo kerjanya di bagian mana?"
"Jadi asisten direktur. Tapi harus ngurut d**a gue tiap hari liat bos besar."
"Duh, gue harus cabut sekarang. Nggak masalah 'kan?" tanyaku sambil menyambar tas untuk segera pergi.
"It's okay. Next time 'kan masih ada waktu buat ketemuan." Aku segera bangkit sambil melambaikan tangan.
"See you next time," kataku sebelum keluar dari cafe itu.
Di luar cafe, supir Rafa sudah menunggu. Padahal tadi aku sudah menyuruhnya untuk balik ke kantor. Pasti ini kerjaan Rafa.
Ketika masuk ke dalam mobil, Pak Asma tanpa bertanya langsung menjalankan mobilnya. Pasti dia udah tau mau kemana.
Sabar dong, Pak. Ini juga lagi di jalan. Emang bisa langsung teleport?
Emang dikiranya aku punya pintu Doraemon, apa?
Seandainya si Iblis itu ada dihadapanku, pasti aku sudah dihadiahi tatapan super tajam darinya.
Kamu nggak ada sopan-sopannya ya sama saya.
Malas menanggapi ucapannya yang sarkatis itu, aku mematikan ponsel.
20 menit perjalanan dari cafe ke kantor Rafa, membuatku bosan karena terus melihat ke arah jendela. Nggak ada yang menarik untuk dikerjakan, bahkan pikiranku juga nggak mampu berpikir dengan baik.
Sesampainya di kantor, aku segera keluar dari mobil dan menuju ke ruangan Rafa dengan lift.
Ting!
Bergegas keluar dari lift, aku menabrak seseorang. Amaris, teman wanita Rafael yang berambut pirang itu. Pakaiannya sedikit acak-acakan.
Apa dia baru keluar dari ruangan Rafa? Apa yang mereka lakukan di dalam sana? batinku berkecamuk memikirkan itu semua.
Tentu saja wanita itu baru keluar dari sana karena di lantai ini hanya ada satu ruangan. Tapi aku hanya asistennya, apa hakku untuk memikirkan itu?
Ah, masa bodoh! Nggak peduli.
Aku berjalan menuju ruangan Rafa tanpa mengetuk pintu. Pasti pria itu sudah menungguku sedari tadi karena ponselku sudah sibuk berdering sejak di lobby tadi.
"Kamu sudah telat berapa menit, Nona?"
"Kenapa susah sekali mengaturmu, Gadis Nakal? Beritahu saya, hukuman apa yang kamu inginkan?" lanjutnya.
Pipiku merona, tubuhku bergetar juga kakiku nggak sanggup menopang tubuhku ketika tangan besar dan kasar itu mengusap pipiku dengan lembut.