Seluruh tubuh Leandra terasa membeku setelah lelaki itu mengatakannya. Ya Tuhan, apa - apaan ini?
Keduanya bahkan baru saja bertemu. Tapi lelaki itu dengan sangat berani mengutarakan pertanyaan seperti itu? Menikah katanya?
Well, Leandra telah menunggu datangnya jodoh dalam kurun waktu yang cukup lama. Lebih lama dari pada wanita pada umumnya.
Ia begitu menanti - nanti hari di mana ia dilamar oleh jodohnya. Tapi jika ia tiba - tiba dilamar seperti ini ... hal itu belum pernah terbesit dalam pikiran terliarnya sekali pun. Leandra sama sekali belum siap.
Pernikahan bukan lah sesuatu yang bisa dipermainkan. Dibutuhkan persiapan yang matang dari pihak laki - laki atau pun perempuan agar dapat saling berkomitmen bersama seumur hidup.
Untuk itu lah, calon mempelai harus saling mengenal. Itu lah mengapa diperlukan proses taaruf maksimal tiga bulan, untuk saling memperkenalkan diri masing - masing.
Maksimal tiga bulan, karena jika lebih, hal itu tak akan ada bedanya dengan pacaran. Pacaran dilarang agama, karena hal itu sama saja dengan mendekati maksiat. Dan mendekati maksiat, adalah salah satu dosa besar.
Lelaki itu masih berdiri di tempat yang sama, dengan Leandra yang menunduk semakin dalam.
"M - maaf karena saya terlalu langsung pada inti." Lelaki itu akhirnya lanjut bicara lagi. "Anda pasti terkejut karena saya tiba - tiba datang melamar. Tapi perlu anda ketahui bahwa ... saya serius."
Leandra masih menunduk. Tak berani menatap paras lelaki itu sama sekali. Ia takut kehilangan kendali lagi.
Pernyataan lelaki itu tengah membuat detak jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat. Ada desiran aneh dalam d**a, yang terasa menyenangkan, sekaligus menyesakkan.
"M - maaf," ucap Leandra sebelum berbalik dan berjalan cepat menjauh.
Leandra benar - benar tak tahu harus bagaimana. Sehingga ia memutuskan untuk pergi. Ini terlalu tiba - tiba. Sekali lagi, Leandra sama sekali tidak siap.
Terdapat sebuah benturan dalam diri. Leandra merasakan keraguan teramat sangat akan keseriusan lelaki asing yang mengaku bernama Romza. Namun di lain sisi, ia merasa buruk, karena telah mengingkari sebuah jawaban dari doa - doanya selama ini.
Bagaimana ini? Bagaimana jika setelah ini ia kehilangan kesempatan untuk dilamar lagi?
Leandra seakan berlari memasuki kamarnya. Untung lah Ibu saat ini masih berkutat di dalam mushola rumah ini, sembari menunggu Bapak pulang sebelum makan malam nanti. Jadi, Ibu tak perlu tahu bahwa putrinya baru saja menolak lamaran seorang pria.
Leandra mengunci pintu kamar, seakan - akan lelaki itu ... ah, ia bilang namanya Romza.
Leandra takut jika Romza akan mengejarnya sampai sini. Padahal dalam hati kecil ia mengakui bahwa itu tak mungkin. Leandra hanya terlalu takut.
Wanita itu menghempaskan diri di atas ranjang. Menutup seluruh tubuh dengan selimut, seakan ia tengah menggigil karena demam. Rasa tak nyaman dalam hati begitu mengganggunya sedemikian rupa. Rasa bersalah yang teramat sangat karena telah mengabaikan sebuah lamaran.
Leandra sibuk beristighfar dalam hati supaya ketenangan segera menyapa. Supaya ia tak lagi merasa bersalah, gelisah, dan resah. Supaya Tuhan cepat memberinya jalan keluar dari kegundahan hati.
Merasa sudah cukup tenang, Leandra menyibak selimutnya, bangkit dari pembaringan. Ia turun dari ranjang menuju ke jendela.
Jendela ini mengarah langsung pada pintu gerbang depan, tempat di mana Romza berdiri tadi. Leandra hanya ingin melihat apakah ia masih di sana. Jika iya, mungkin Leandra bisa mempertimbangkan lamarannya tadi.
Jika tidak ... maka lamaran itu hanya lah semu belaka.
Leandra menyibak sedikit korden yang menjuntai di sepanjang jendela. Kecewa menyapa begitu mengetahui bahwa tidak ada siapapun yang tengah berdiri di ambang pintu gerbang. Di sana kosong, tak ada orang sama sekali.
Ke mana perginya dia ... laki - laki itu bahkan sudah pergi?
Leandra yakin sekarang. Bisa jadi, Leandra tadi hanya berfantasi karena keinginan besarnya untuk segera menikah. Sudah jelas, kejadian tadi hanya lah khayalannya saja.
Ya ... bisa jadi begitu, kan? Karena ini tidak mungkin sebuah kenyataan.
Astaga ... sudah separah ini kah tingkat frustrasinya ... sehingga ia mulai mengalami halusinasi yang terasa sangat nyata? Apa ia bahkan perlu konsultasi dengan psikiater?
***
Karena tidak punya uang untuk membeli kue ulang tahun, Banyu beritikat baik untuk membuat tumpeng sebagai pengganti kue tart. Banyu membuat tumpeng itu dari nasi putih. Ia hanya bisa membuat itu, karena tidak bisa membuat nasi kuning.
Banyu meletakkan mie instan dan juga potongan telur dadar di sekitar tumpeng buatannya sebagai lauk.
Leandra geleng - geleng heran sekaligus prihatin saat sampai di rumah Banyu. Bagaimana seorang ayah tega membuat kue ulang tahun seperti itu untuk anaknya? Banyu benar - benar hanya jago modus, tapi tak pernah mau modal.
Untungnya ia punya sahabat baik macam Leandra. Mumpung para undangan lain belum datang, ia bergegas belanja keperluan membuat kue tart.
Sebenarnya dengan membeli akan mempersingkat waktu, dari pada membuat sendiri. Hanya saja, Leandra adalah wanita yang cukup teliti dan pemilih dalam hal makanan.
Kue tart yang dibeli di luar, belum tentu terbuat dari bahan yang aman. Dan ia tak tahu bagaimana proses produksinya. Higienis atau tidak. Makanya wanita itu memilih untuk membuat sendiri.
Setelah membeli keperluan membuat kue, ia pulang lagi. Tentu saja karena Banyu tidak punya alat - alat untuk membuat kue tart. Saat Leandra kembali, rumah Banyu sudah dipenuhi dengan teman - teman sekelas Langit, bersama ibu ataupun wali masing - masing.
Leandra tersenyum puas dan merasa lega karena ia sampai tepat waktu. Sebelum ia sempat khawatir akan terlambat.
"Tante Lele, mana kadonya? Itu, tuh, diminta sama Kakak Langit!" seru Banyu sembari beringsut mendekati Leandra.
Wanita itu merengut menanggapi pertanyaan Banyu. Padahal Langit saat ini sedang bersenang - senang dengan teman - temannya. Jadi, seseorang yang menanyakan kado sepatu yang ia minta dengan terlampau gamblang melalui modus busuk -- dengan mengambinghitamkan putra sulungnya -- adalah Banyu sendiri.
"Bantuin bawa kue ini dulu ke meja, Nyu! Yakali gue baru dateng udah ditagih kado!" protes Leandra.
"Ya ... kali aja Tante Lele lupa!" Banyu mengambil kue indah nan kelihatan enak buatan sahabatnya itu.
"Stop manggil gue Tante Lele! Lo bukan Langit, Awan, ataupun Jingga! Enak aja manggil gue tante - tante!" Leandra mencak - mencak.
Ia menengok kanan kiri, memastikan tak ada yang melihat dirinya mengomeli Banyu. Ia hanya tak mau semua orang mengetahui dirinya yang sesungguhnya. Leandra malu.
"Kan gue cuman mewakili Kakak Langit. Sebagai ayah yang baik gitu!".
"Jijik! Ayah yang baik, tukang modus, dan pelit?!" sadis Leandra. "Lagian lo kemanain, sih, kiriman istri lo tiap bulan? Bukannya jumlahnya banyak banget? Eh, sepatu anak bolong, malah mintanya sama gue!"
Banyu terbahak keras sekali. "Hemat, Le, hemat! Anak gue tiga, mereka butuh sekolah semua ke depannya."
"Tapi pelit lo, tuh, kebangetan, Banyu! Duh ... tumpeng lo!" Leandra kembali sangat miris melirik tumpeng melarat hasil buatan Banyu yang kini teronggok di meja dapur.
Banyu kembali terbahak keras. "Yah, setidaknya gue udah berusaha, lah. Ngomong - ngomong, makasih, ya, kuenya!".
Leandra tak menanggapi apa pun. Ia mengambil duduk bersama para ibu dan wali dari teman - teman Langit. Sementara, Banyu bablas untuk meletakkan kue buatan Leandra di atas meja yang dipenuhi banyak kado.
Leandra sebenarnya heran tentang sifat pelit Banyu yang sudah mendarah daging. Padahal Banyu termasuk berasal dari keluarga yang berkecukupan, dibanding keluarga Leandra.
Rumah ini saja sangat besar. Rumah warisan kedua orang tua Banyu yang sudah lama meninggal. Bukan rumah ini saja warisan dari orang tua Banyu, banyak sekali investasi emas dan juga uang yang disimpang di bank.
Di balik banyaknya harta warisan milik Banyu, lelaki itu agak pemalas. Ia bahkan enggan untuk bekerja. Membuat istrinya terpaksa pergi ke Taiwan. Meninggalkan Jingga -- putri bungsu mereka -- yang masih berusia satu setengah tahun. Padahal di usia tersebut, Jingga masih membutuhkan asupan ASI.
Untuk kehidupan sehari - hari, Banyu juga sangat hemat. Ia sangat bisa membeli kendaraan yang lebih bagus dari vespa butut pemberian orang tua sang Istri. Tapi Banyu sangat getol menggunakan vespa itu saja. Yang penting bisa jalan katanya. Tanpa merasa prihatin dengan anak - anaknya yang kerap dijadikan bahan ejekan tetangga karena kelakuan nyeleneh bapaknya.
Tak apa jika Banyu benar - benar orang tak punya. Tapi ia sama sekali tidak seperti itu. Justru bisa dikatakan, bahwa Banyu adalah orang kaya.
"Kakak Awan sama Dedek Jingga, yuk, temenin Kakak Langit di depan!" ajak Banyu sembari menggendong anak bungsunya yang masih belum bisa berjalan.
Dibanding Langit dan Awan, Jingga ini adalah anak yang memiliki wajah paling mirip dengan Banyu. Sementara kedua kakaknya lebih mirip dengan ibunya. Memang katanya seperti itu, kan? Anak laki - laki cenderung lebih mirip ibunya. Sementara anak perempuan, cenderung lebih mirip ayahnya.
Banyu sengaja memberi nama anak - anaknya, mirip dengan namanya sendiri. Yaitu diambil dari nama alam ciptaan Tuhan -- Langit dan Awan. Namanya sendiri adalah Banyu yang berarti air.
Namun agak berbeda pada nama si Bungsu. Namanya diciptakan berdasarkan atas nama salah satu warna, Jingga.
Dulu Banyu ingin menamainya Mega, yang berarti langit senja. Namun istrinya tidak setuju. Karena menganggap nama Mega terlalu umum. Banyu kemudian bingung harus memberi nama anaknya siapa. Ia bertanya apakah sang Istri punya usul? Eh, istrinya juga bingung.
Banyu menelepon Leandra. Untungnya sang Sahabat memang cerdas dan selalu memiliki jalan keluar yang jitu. Leandra mengusulkan nama Jingga. Nama yang melambangkan warna yang sesuai dengan langit senja, sesuai apa yang diinginkan Banyu. Akhirnya, nama itu lah yang dipilih.
Meski pun orangnya agak - agak random dan tidak jelas. Sebenarnya Banyu memiliki jiwa seni yang cukup keren dalam dirinya. Terbukti dari caranya memberi nama anak - anaknya. Jika bukan berjiwa seni, ia pasti tak akan kepikiran memberikan nama yang unik - unik begitu pada anak - anaknya.
***
Pesta ulang tahun Langit berjalan meriah dan menyenangkan meskipun dalam kesederhanaan. Semua anak terlihat bahagia, terutama Langit sendiri.
Satu per satu tamu undangan mulai berpamitan meninggalkan rumah ini. Banyu dan Leandra menunggu di depan pintu, agar semua mudah saat berpamitan, tanpa harus kerepotan mencari tuan rumah.
Di antara banyak undangan yang sudah berpamitan, ada seorang ibu yang terlihat kebingungan di halaman rumah Banyu yang sangat luas dan dipenuhi banyak pepohonan.
Merasa prihatin, Leandra, Banyu, dan juga ibu - ibu yang tersisa memutuskan untuk menghampiri ibu itu.
"Ibuk, kenapa, Buk?" tanya Leandra.
Ibu itu terlihat semakin kebingungan. Rautnya terlihat gelisah dan ketakutan. Ia pun terlihat sangat khawatir. "A - anak saya, Mbak. Anak saya nggak ada!".
"Nggak ada gimana, Buk?"
"Tadi anak saya bermain dengan anak - anak lain di halaman sini. Jadi, saya pikir dia akan kembali bersama anak - anak itu, nanti saat mereka sudah puas kejar - kejaran. Tapi saat anak - anak kembali, anak saya tidak. Saya khawatir. Saya coba cari daritadi. T - tapi ... belum ketemu!"
Leandra dan ibu - ibu lain seketika panik. Berbeda dengan Banyu yang terlihat geram.
"Tenang, Buk. Kita coba cari bersama - sama, ya!" Leandra berusaha menenangkan.
"Nggak, Le!" cegah Banyu.
"Lhoh, gimana, sih, Nyu? Anaknya Ibuk ini nggak ada, lho. Ayo kita cari!" protes Leandra.
"Anak itu nggak akan balik dengan dicari seperti ini!" Nada suara Banyu meninggi.
"M - maksud lo?"
"Anak itu ... dia diculik sama genderuwo penghuni pohon asem ini!" Banyu menunjuk pada pohon buah asam yang berdiri kokoh nan menjulang serta rimbun di hadapan mereka.
Semua orang seketika menatap pohon besar nan sangat tinggi itu. Dan seketika pula bulu kuduk mereka berdiri, membayangkan seseram apa sosok Genderuwo penghuni pohon asam, yang dibicarakan oleh Banyu tadi.
***