10. Lamaran Ala-ala Gery

1027 Kata
"Gea! Ya, Tuhan! Kamu ini benar-benar sukses memberikan kejutan," ucap Gilda, mamanya Gibran yang merupakan adik sepupu dari Mama Gina. Perempuan cantik dengan kerudung lebar itu bahkan sudah memeluk keponakannya karena sangat bahagia mengetahui Gea pada akhirnya menemukan jodohnya. "Jadi kamu beneran mau lamaran, Ge? Kenapa mendadak banget. Mama kamu telpon tante jam setengah enam tadi. Dan kamu tahu, Tante sampai shock mendengarnya. Tapi Tante ikut berbahagia karena sebentar lagi tidak hanya Gibran saja yang akan menikah, tapi kamu pun juga." "Iya, Tante." "Mama kamu ke mana?" "Masih di kamar. Lagi siap-siap." "Ya sudah Tante ke belakang dulu, ya?" Gea mengangguk. Kini tinggallah Gibran dengan Gea yang saling berdiri berhadapan karena Ghufran, ayahnya Gibran ada di ruang tamu menemani papanya Gea. "Kukira kamu bercanda pas kemarin mengatakan jika malam ini akan dilamar," ucap Gibran dengan wajah masam, itu yang tertangkap oleh kedua netra Gea. "Ya kali gue bercanda tentang hal ginian." "Bosmu keren juga ya. Sat set." Gibran terkekeh dan semua itu terlihat tidak natural. Entahlah, apa karena mata Gea yang siwer atau mungkin karena patah hati yang Gea rasakan sudah berada di garis maksimum sehingga menatap Gibran yang biasa saja, di mata Gea seolah Gibran tidak suka dengan dirinya yang akan dilamar. Dalam hati Gea merutuki dirinya sendiri karena masih juga berharap agar Gibran menggagalkan acara lamarannya. Itu sungguh mustahil bukan? Wanita itu meremas ponsel dalam genggaman. Jangan sampai Gibran mengetahui bahwa sebenarnya dia tidak yakin untuk menerima lamaran Gery malam ini. "Gea!" Panggilan dari Gustaf, membuyarkan semua keruwetan dalam pikiran Gea. Gadis itu mendongak memusatkan pandangan pada ruang tamu yang mana terlihat papanya berdiri dan menuju pintu keluar. "Iya, Pa!" "Sepertinya calonmu sudah datang." Masih dengan suara yang lantang, Gustaf memberi tahu Gea. Perempuan itu meninggalkan Gibran yang masih mematung di tempatnya. Gea ikut mengintip keluar dan benar saja. Mobil mewah Gery sudah terparkir di depan. Lalu di belakang mobil Gery, Gea mengenali adalah mobil milik Gama, kekasih Gendis. "Iya, Pa. Itu Mas Gery." Sengaja Gea menyematkan panggilan Mas agar lebih sopan daripada dia memanggil Pak yang nantinya bisa-bisa dia keceplosan memanggil demikian di acara lamaran malam ini. "Mama kamu mana? sama kakak kamu. Coba lihat mereka sudah siap atau belum. Biar papa dan Om Gufran yang menyambut kedatangan mereka." Gea mengangguk. Berbalik badan, berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Bertemu lagi dengan Gibran yang menatapnya dalam diam. Sebelum dia menuju kamar mamanya, Gea berbalik badan. "Bran! Tolong dong elu lihatin Kak Gio. Udah siap apa belum? Dicari papa soalnya." "Gio nya di mana memangnya? Tadi aku juga lihat ada mobilnya di depan." "Kak Gio ada di kamarnya. Tenang saja. Dia sendirian kok nggak bareng Kak Gisel. Aku ke kamar mama dulu." Gibran masih memperhatikan Gea yang nampak semangat. Mengembuskan napas panjang sebelum dia berlalu ke dalam kamar Gio. ••• Gery menghentikan laju mobilnya didepan pagar karena melihat di halaman rumah Gea sudah terparkir mobil lain yang dia tebak mungkin saja keluarga atau saudara Gea. "Ini rumahnya Gea, Ger?" Gandhi bertanya yang diangguki kepala oleh Gery. "Kamu sering datang ke sini?" Gwen pun ikut bertanya. Gery nyengir. "Baru satu kali." Gwen menghela napas panjang seraya geleng-geleng kepala. Gandhi yang penasaran kembali mengajukan tanya. "Kamu sudah pernah kenalan sama orangtuanya Gea?" "Belum lah. Ketemu juga belum." "Lah!" "Sudahlah, Pa. Ayo masuk. Itu sepertinya kita sudah ditungguin." Gery mengintip ke dalam rumah melalui celah pagar besi yang mana nampak olehnya dua orang lelaki sedang berdiri di teras rumah. "Ya sudah ayo turun." Gandhi membuka pintu mobilnya dan turun dari dalamnya. Disusul oleh Gery dan juga Gwen. Di belakang mereka, Gama pun sudah berdiri di samping mobilnya. "Sudah siap semua kan? Ayo kita masuk." Gery mencoba bersikap normal. Padahal sebenarnya dalam hatinya sedang ketar ketir. Wajar kan sebagai seorang lelaki yang akan melamar anak gadis orang kalau merasakan deg deg an. "Ger! Sepertinya kamu melupakan sesuatu?" Gwen mencoba mengingatkan sang putra. Entah saking semangatnya atau karena gugup, sampai-sampai Gery bersiap masuk ke dalam rumah calon istri dengan tangan kosong. Gery mengernyitkan keningnya. "Lupa apa sih, Ma?" Gwen geleng-geleng kepala. Benar saja. Gery memang tidak ingat jika mereka tadi sudah menyiapkan banyak hantaran. Gama justru cekikikan dengan tingkah laku kakaknya. "Astaga, Gery. Buat apa juga tadi kamu beli banyak makanan juga menyiapkan satu set berlian jika tidak kamu bawa ke dalam." Gama ikut-ikutan menggoda. "Memalukan sekali. Masak datang dengan tangan kosong begitu!" Dan Gery baru teringat. Ia tepuk keningnya merasa konyol dengan kelakuannya sendiri. "Aku beneran lupa, Ma." Lalu, Gery gegas membuka pintu mobilnya. Mengeluarkan barang-barang dan meminta pada papa, mama dan juga Gama untuk membantu membawa. Berdehem sekali, sebelum dia benar-benar melangkah memasuki pagar rumah. Tidak lupa menerbitkan senyum di bibirnya. "Selamat malam, Om! Saya Gery. Dan beliau adalah papa dan mama saya." Gery mengenalkan dirinya disertai dengan tangan yang menjabat dua orang lelaki yang Gery tidak tahu, yang mana papanya Gea. "Selamat malam dan selamat datang di rumah kami yang sederhana ini. Perkenalkan saya Gustaf, papanya Gea. Dan ini Gufran, Omnya Gea." "Oh." Gery manggut-manggut karena baru saja tahu siapa calon mertuanya. Mereka saling bersalaman dan memperkenalkan diri. Selanjutnya, barang-barang yang Gery berikan, diterima oleh Gustaf dan Gufran. Kebetulan juga Gio dan Gibran ikut bergabung sehingga kedua lelaki muda itu pun menerima barang serta makanan yang dibawa oleh Gery. Kecuali satu. Set berlian yang sengaja Gery persembahkan untuk lamarannya kali ini harus dia serahkan langsung pada Gea nanti. Apalagi perhiasan itu juga atas pilihan Gea sendiri. "Mari silahkan masuk!" Gustaf mempersilahkan para tamunya untuk masuk ke dalam. Gandhi dan Gwen duduk saling berdampingan. Disusul oleh Gery yang duduk di sofa yang lainnya. Kemudian Gama pun memilih duduk di samping Gery. Mereka para orangtua saling berbasa basi untuk berkenalan karena memang baru kali ini saling bertemu. Sementara Gery, mata pria itu tidak bisa diam karena terus mengedar ke kiri dan ke kanan. Mengharapakan kehadiran seseorang yang memang menjadi tujuannya malam ini dia datang ke rumah ini. Gama menyenggol pelan lengan kakaknya membuat Gery menoleh. "Apa?" "Sabar sebentar kenapa sih. Nanti Gea juga keluar sendiri. Dari tadi celingak celinguk sampai tidak konsen begitu ditanyain oleh papanya Gea." "Hah!" Gery seperti orang cengo, menolehkan kepala pada kedua orangtuanya lalu pada papa dan Omnya Gea yang sedang menertawakan kekonyolannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN