Thea mengikuti Freysia masuk ke dalam kamar tidur sepupunya itu, tak peduli delikan maat Freysia yang mengancam. Dia sangat ingin tahu bagaimana keadaan Freysia. Dia khawatir, dan itu sesuatu yang wajar, bukan? Mereka bersepupu dan dekat satu sama lain. Selain itu, dia juga ingin tahu apa yang dibicarakan Freysia bersama Tuan Callisto. Biarkan saja Freysia menganggapnya terlalu ingin tahu atau tukang ikut campur. Daripada nanti dia tidak dapat tidur, bukankah lebih baik dia bertanya?
"Bisakah kau keluar, Thea?" pinta Freysiaematao Thea yang tak beranjak dari satu-satunya sofa yang berada di kamarnya. "Aku sangat lelah dan mengantuk, aku perlu istirahat. Kurasa kau juga, bukan?"
Namun, Thea tetap tak beranjak satu senti pun. Jangankan memindah duduknya, tubuhnya pun tidak bergerak. Dia seperti sebuah patung hidup dengan kelopak mata yang berkedip.
"Astaga, apa kau tuli?" Suara Freysia naik beberapa oktaf. Dia sudah sangat lelah dan sepupu garangnya justru mengikutinya ke dalam kamar. Entah apa yang diinginkan Thea, yang pasti itu sangat mengganggu. "Kembali ke kamarmu sekarang juga, Thea, atau aku akan...."
"Katakan apa yang kalian bicarakan!" pinta Thea memotong perkataan Freysia. "Aku tidak akan dapat tidur kalau kau tidak melakukannya, Fre!"
Freysia berdecak, memutar bola mata bosan. Dia sudah menduganya, Thea pasti ingin tahu apa yang dibicarakannya dengan Tuan Callisto tadi.
"Bukan sesuatu yang penting," jawab Freysia setelah menguap. Dia menutup mulutnya dengan tangan kanan. "Dan yang pasti bukan urusanmu. Sekarang keluar dari kamarku atau aku akan menyerangmu!"
Mata biru Thea melebar. Dia berdiri dengan cepat melihat Freysia memasang kuda-kuda. Apakah Freysia serius akan menyerangnya kalau dia tetap berada di sini? Ah, sial! Ini adalah sesuatu yang sangat menyebalkan. Semua tidak berjalan sesuai rencananya. Seharusnya Freysia berterima kasih karena dia sudah menunggunya, kemudian bercerita apa saja yang dibicarakannya bersama Tuan Callisto. Bukan seperti ini, Freysia mengusir dan mengancam akan menyerangnya.
"Keluar sekarang atau kau mau tidak bisa melihat selama beberapa waktu!"
Freysia terlihat sangat serius dengan ancamannya. Dia berdiri di sisi tempat tidur dengan tatapan terarah pada Thea yang juga menatapnya dengan mata mengerjap beberapa kali. Thea sadar, dia tidak akan menang kalau harus melawan sepupunya itu. Ilmu sihir Freysia lebih tinggi dibandingkan dengan dirinya dan ketiga teman mereka lainnya. Diantara mereka hanya Freysia yang mampu menguasai tiga kekuatan sihir sekaligus, sementara mereka berempat hanya dua kekuatan, itu pun sudah mencapai tingkat tertinggi. Satu lagi, Freysia dapat menyerang seseorang tanpa harus menggerakkan anggota tubuhnya, cukup dengan menatapnya saja. Seperti yang dilakukannya pada Orion di pertempuran mereka tadi siang.
"Baiklah baiklah!" Thea mengangkat tangan, dia menyerah. Kalau ada yang berani menegur dan menentangnya, itu adalah Freysia. Sikap lembut dan ramah Freysia mampu meredam sikap emosian yang dimilikinya. "Aku tidak tahu kalau kau ternyata juga sangat cerewet saat sedang lelah."
Freysia mengembuskan napas. Ternyata Thea menyadarinya, dia kelelahan, tapi gadis itu tetap memaksanya untuk bercerita. Astaga!
"Tapi, besok kau harus menceritakan semuanya pada kami!" pinta Thea dengan bibir meruncing. "Agar kami semua tidak khawatir padamu," ucapnya dengan nada suara yang rendah.
Freysia kembali mengembuskan napas, kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Dia tahu akan hal itu, teman-temannya khawatir padanya. Namun, mereka tidak seharusnya seperti itu, dia baik-baik saja. Hanya sedikit kelebihan rasa bersalah saja.
"Terima kasih, Thea, tapi sungguh aku baik-baik saja." Freysia tersenyum. "Dan untuk apa yang kubicarakan bersama Tuan Callisto, itu benar-benar bukan sesuatu yang penting. Hanya pembicaraan biasa-biasa saja."
Thea memutar bola mata. Sepupunya memang keras kepala. Kalau sudah seperti ini lebih baik dia ke kamarnya saja dan berusaha untuk tidur meskipun akan sedikit sulit. Thea memutar tubuh, mengarahkan langkah menuju pintu keluar.
Selamat malam, Fre," ucap Thea sebelum memutar handle pintu dan membukanya.
"Selamat malam, Thea," balas Freysia sambil menarik selimut sebatas dadanya. "Mimpi indah."
Thea tidak menyahut, dia hanya mengangguk kemudian keluar dan melangkah menjauhi kamar itu setelah menutup pintunya. Thea tidak langsung kembali ke kamarnya, dia lebih memilih untuk pergi ke tempat lain. Dia belum mengantuk, rasa penasarannya terhadap apa yang dibicarakan Freysia dan Tuan Callisto membuat rasa kantuknya terbang entah ke mana. Thea melangkah tanpa tujuan, terserah kakinya membawa saja. Dia baru berhenti saat matanya menangkap sesosok bayangan yang menembus kegelapan datang dari arah luar sana. Thea segera bersembunyi agar bisa melihat lebih jelas siapa atau apa bayangan itu. Bayangan yang awalnya samar semakin lama semakin tampak nyata, dan berhenti di balkon tak jauh dari tempatnya bersembunyi.
Thea nyaris memekik setelah mengetahui siapa bayangan itu. Segera saja dia menutup mulutnya menggunakan kedua tangannya. Dia tak ingin ketahuan. Bayangan itu adalah Antares Hyperion. Pria tampan tapi mengerikan itu entah datang dari mana bersama kudanya. Thea membelalakkan mata melihat bagaimana kuda itu terbang dan menghilang di kegelapan malam. Sangat menakjubkan, tak pernah dia melihat seekor kuda terbang secepat itu.
Thea mengerang kesal dalam hati. Seharusnya dia tidak perlu heran lagi. Ini adalah Ameris, sebuah planet yang dipenuhi dengan berbagai macam monster dan sihir. Di mana semua yang tidak dilihatnya di dunia nyata terjadi di sini. Thea memukul kepalanya pelan, kembali memerhatikan Antares yang sudah terjadi dak terlihat lagi. Thea mengerjap, kagum dengan kecepatan menghilang Antares yang sungguh di luar ekspektasi. Pria itu sangat misterius memang, dia harus berhati-hati padanya. Dia yakin kekuatan sihir Antares jauh di atas yang lainnya.
***
Di atas tempat tidurnya Freysia terlihat gelisah. Beberapa kali tubuh yang tertutup selimut itu bergerak-gerak seolah sedang mengalami sesuatu yang mengerikan. Seperti mimpi buruk. Sepasang kakinya terlihat menendang-nendang di balik selimut. Keringat membasahi pelipisnya. Mata yang terpejam dan bergerak liar terbuka dengan cepat. Freysia terbangun dan duduk di atas tempat tidurnya dengan napas memburu dan tubuh basah oleh keringat. Dia mengalami mimpi buruk. Sebuah mimpi buruk yang sangat aneh, di mana dirinya tersedot ke dalam sebuah pusaran lubang hitam dan tidak dapat kembali lagi. Yang mengerikan adalah dirinya yang berubah menjadi bukan dirinya. Dia bertarung melawan teman-temannya dan mengalahkan mereka. Semua temannya tewas. Dia terbangun karena mendengar sebuah suara tawa perempuan yang sangat mengerikan.
Freysia menyeka keringat yang membasahi pelipisnya. Mimpinya tadi terasa sangat nyata. Sungguh, dia tak ingin itu terjadi. Dia tidak ingin menghabisi teman-temannya, dia bukan seorang pembunuh. Seperti yang dikatakan Tuan Callisto, semua yang terjadi di Ameris bukanlah salah dirinya. Putri Emery sudah memperhitungkan semua konsekuensi sebelum memanggil mereka berlima. Jadi, dia tidak perlu merasa bersalah dan bertanggung jawab pada keadaan Ameris yang sekarang.
Meskipun demikian tetap saja rasa bersalah itu ada dan terus menghantuinya. Apalagi dengan kemunculan Antares dan pria itu yang menyalahkan dirinya dan teman-temannya atas kematian saudaranya, membuatnya semakin dihantui rasa bersalah yang menjadi-jadi. Namun, semua itu memang tidak ada hubungannya dengan mimpi yang baru dialaminya. Tak dak ada Tuan Callisto atau penghuni Ameris yang lain selain teman-temannya dan ... Antares.
Napas Freysia berhenti selama beberapa detik. Udara di sekelilingnya seakan menipis, tersedot habis oleh benda lain yang tak kasat mata. Dadanya terasa sesak, detak jantung memacu dengan cepat. Iya dia baru mengingatnya, Antares ada bersama mereka. Pria itu bersama keempat temannya bertempur melawannya. Antares dipihak mereka. Apakah ini artinya Antares tidak jahat? Apakah dia tidak perlu mewaspadai pria itu? Entahlah. Freysia memencet pangkal hidung, menyandarkan punggung pada kepala tempat tidur. Sepertinya dia tidak akan bisa melanjutkan tidur, dia sudah tidak mengantuk lagi.
Freysia turun dari tempat tidur. Kakinya yang tanpa alas terasa dingin menapak di lantai kastil yang terbuat dari marmer. Tangannya bergerak hendak memutar handle pintu sebelum sebuah suara merdu menyapa gendang telinganya. Sepasang alis pirangnya mengernyit, Freysia merasa dia pernah mendengar alunan musik itu, tapi entah di mana dia sudah lupa. Freysia mengurungkan niat untuk membuka pintu. Dia kembali ke tempat tidur dan berbaring. Suara musik itu membuatnya kembali mengantuk. Perlahan mata biru Freysia terpejam. Tak lama dengkuran halus terdengar, menandakan gadis itu kembali pulas.
Di kamarnya, Antares tersenyum. Ia mengembalikan seruling yang tadi ditiupnya ke tempat semula, kemudian berbaring dan menarik selimut sebatas pinggang.
"Selamat tidur, Fre," ucap Antares sebelum memejamkan mata.
***
"Kyaaaaaaaaa!"
Suara pekikan keras mewarnai pagi di kastil Amethis. Pekikan itu berasal dari kamar Freysia, tapi suara pekikan bukan dari gadis itu, melainkan dari Tita yang sekarang menatap Thea dengan mata berbinar.
"Benarkah apa yang kau katakan itu, Thea?" tanya Tita tersenyum lebar. "Antares memiliki kuda perang?"
Thea menggeliat jijik. "Aku tidak mengatakan seperti itu!" sangkalnya. "Aku hanya mengatakan kalau Antares memiliki seekor kuda berwarna hitam, dan kuda itu bisa terbang meski tanpa sayap. Itu saja!"
"Sama saja!" sentak Tita cepat. Hanya sedetik wajahnya kembali berubah mode gembira. "Bukankah itu sangat keren?"" tanyanya pada teman-temannya.
Thea mengangkat bahu. "Menurutku itu biasa saja," jawabnya datar. "Tak ada yang istimewa. Ini Ameris, semua yang mustahil dan tak mungkin akan menjadi mungkin di sini!"
Tita mendengkus kesal mendengar perkataan Thea. Mata cokelat terangnya memicing menatap Thea.
"Satu lagi!" Thea menunjuk Tita tepat di depan hidung gadis itu. Mereka memiliki tinggi badan yang sama. "Hentikan pekikan kerasmu itu. Tidakkah kau sadar kalau itu sangat mengganggu? Telingaku sakit mendengarnya, asal kau tahu!"
"Apa...."
"Thea benar." Anne memotong perkataan Tita. "Berhentilah berteriak atau Tuan Callisto tidak akan memberikan kita tempat tinggal."
Anne tentu masih ingat dengan pertengkaran kedua sahabatnya ini yang sampai menghancurkan rumah tempat tinggal mereka, saat mereka baru diberikan kekuatan sihir oleh Tuan Callisto. Pria itu menggantikan rumah mereka dengan kemah. Sangat mengenaskan. Anne tidak ingin semua itu terulang lagi, dia tidak mau tidur di dalam kemah lagi.
Tita berdecak. Dia semakin kesal saja. Dilihat dari raut wajah mereka, dua temannya yang lain, Lucia dan Freysia, seperti ya sependapat dengan Anne dan Thea. Padahal menurutnya berteriak ataupun memekik itu tidak salah, dia hanya ingin melupakan kegembiraannya. Mengetahui satu tentang pria ya g dikagumi merupakan sesuatu yang penting untuk pendekatan diri. Semua gadis memerlukannya untuk mendekati pria pujaan mereka. Dasar semua temannya saja yang tidak mengetahui hal itu. Mereka terlalu kuno.
"Sudahlah!" Freysia melerai mereka semua. "Sebaiknya kita keluar sekarang. Kurasa Tuan Callisto dan yang lainnya sedang menunggu kita."
"Iya!" seru Lucia semangat. "Mereka pasti sudah menunggu kita di meja makan untuk sarapan bersama." Wajah cantiknya berbinar. "Aku sudah sangat lapar."
"Selalu saja makanan yang ada di pikiranmu!" Tita bersungut ketus. "Tidak bisakah kau tidak memikirkannya sehari saja? Asal kau tahu, diantara kita semua tubuhmu yang paling kecil, tapi kau juga yang paling rakus. Aku curiga jangan-jangan kau cacingan."
Tawa Thea dan Freysia pecah begitu saja mendengar perkataan Tita. Gadis itu ada-ada saja menurut mereka. Tidak mungkin Lucia menderita cacingan seperti yang dituduhkannya, mereka semua sehat.
"Kenapa kalian tertawa?" tanya Tita memprotes. "Aku benar, bukan?"
Thea mengangguk. "Aku setuju denganmu, Tita. Aku juga curiga jangan-jangan Lucia memang cacingan."
Thea kembali tertawa setelah mengatakannya. Dia menyodorkan telapak tangannya pada Tita, mereka berdua melakukan high five.
Freysia tersenyum melihat semua itu setelah tawanya reda. Thea dan Tita memang sering berselisih paham. Keduanya memiliki pendapat dan sifat yang berbeda. Namun, semua itu hany sementara, pertengkaran mereka tidak pernah serius. Mereka berdua lebih sering bekerjasama, terutama dalam hal menggoda Lucia seperti sekarang ini.
***
Seperti yang dikatakan Lucia tadi, Tuan Callisto dan yang lain sudah menunggu mereka di ruang makan. Untung saja mereka tidak tersesat menuju ruangan yang tak pernah mereka kunjungi sebelumnya. Mereka hanya mengandalkan suara Tuan Callisto saja yang mengiang di telinga mereka sebagai penunjuk arah.
"Maafkan kami,.Semuanya." Lucia membungkuk untuk yang kesekian kali. "Kami semua terlambat gara-gara aku," ucapnya sedih.
Emelia tersenyum, menghampiri gadis bertubuh mungil itu, mengusap bahunya. "Tidak apa-apa," ucapnya lembut. "Sarapan belum dimulai."
"Ada yang lebih terlambat lagi dari kalian," celetuk Dione.
Pemuda itu tersenyum geli, membuat Freysia dan keempat gadis lainnya penasaran. Mereka yakin Dione menyembunyikan sesuatu.
"Sudahlah, Dione. Aku tidak ingin terjadi keributan lagi di meja makan ini." Tuan Callisto mengakhiri semua sandiwara pagi ini. "Sebaiknya kita sarapan sekarang!"
Semuanya mengangguk. Lucia yang paling bersemangat. Menurutnya semua hidangan di Ameris sangat lezat, selalu cocok dengan lidahnya. Namun, semangat gadis itu lenyap seketika ketika Antares memasuki ruangan. Hawa dingin yang dibawa pria itu mampu membuat kelima gadis terdiam. Hanya Tita yang terlihat mencuri pandang ke arah Antares yang dengan cuek duduk di kursi yang bersebelahan dengan kursi Tuan Callisto.
"Selalu terlambat seperti biasanya." Carora tersenyum penuh arti, melirik ke arah Antares yang tetap bersikap tidak peduli. "Apakah tadi malam kau kembali memporak-porandakan rawa Amber lagi?" Carora menatap Antares terang-terangan, dia sedang berbicara dengan pria itu. "Meskipun kau berusaha menghancurkannya, rawa Amber akan tetap ada, tidak akan menghilang semudah itu. Para monster yang tinggal di sana akan kembali memperbaiki tempat tinggal mereka."
Antares tak memedulikan Carora, ia terus mengunyah makanannya.
"Aku tidak menyangka kalau ternyata pahlawan yang kalian agungkan suka mengintip."
Tuan Callisto dan yang lainnya mengerutkan kening mendengar perkataan Antares. Mereka saling pandang, tidak mengerti dengan maksud kata-kata pria itu. Terkecuali Thea, gadis itu menundukkan kepala, kedua tangannya terkepal. Dia tahu perkataan Antares itu ditujukan untuknya.