Freysia tidak dapat tidur. Bukan karena suasana malam di Ameris yang begitu berbeda dengan di bumi atau apa pun. Dia hanya tidak dapat memejamkan mata saja. Perkataan Antares tadi siang membuatnya selalu memikirkan pria itu. Dia takut kalau Antares menyakiti teman-temannya. Sungguh, tidak masalah kalau pria itu meluapkan seluruh dendam padanya karena semua itu memang kesalahannya. Dia akan menanggung semua itu, asal jangan melibatkan teman-temannya, mereka tidak bersalah.
Bosan karena tidak mau tidur juga, Freysia memutuskan untuk keluar kamar berjalan-jalan. Siapa tahu dia akan mengantuk kalau melihat pemandangan di luar kastil. Mungkin saja, 'kan? Meskipun sekarang tidak ada yang berbeda antara siang dan malam di Ameris, dia berharap akan lelah dan mengantuk setelah berjalan-jalan nanti.
Suara petir terdengar bersahutan memekakkan telinga. Kilatan cahaya menghiasi langit gelap di arah timur sana. Sejenak Freysia terpaku, kakinya melangkah ke arah balkon untuk melihat kilatan petir lebih dekat. Sejak pertama dia tiba di Ameris, bahkan saat Putri Emery masih hidup, daerah bagian timur selalu seperti itu, selalu berkilat setiap malamnya. Apalagi sekarang, saat Ameris kehilangan penyangga utama, kilat dan petir semakin sering terdengar. Hampir setiap menit sekali.
Tarikan di gaun tidurnya membuat Freysia tersadar. Cepat dia menoleh ke samping, sedikit menundukkan kepala untuk melihat lebih ke bawah. Seorang gadis kecil berambut cokelat gelap yang melakukannya, menarik gaun tidurnya sejak tadi.
Eh, gadis kecil?
Bagaimana bisa ada gadis kecil di kastil Amethis? Siapa gadis kecil ini? Sepasang alis Freysia menukik tajam, menatap curiga pada gadis kecil yang terus menarik gaun tidurnya, meminta perhatian. Namun, tatapan sepasang mata biru yang bersinar polos itu membuat kecurigaan Freysia berangsur mereda, memaksa bibirnya untuk mengulas senyum dan berjongkok menuruti permintaan si gadis kecil.
"Hai, halo!" sapa Freysia ramah. "Apa yang kau lakukan di sini? Maksudku, kenapa kau bis ada di sini?" tanyanya sambil mencubit pipi chubby gemas yang memerah.
"Aku tersesat, Kakak," jawab gadis kecil itu mengerucutkan bibirnya. "Tadi aku terbangun karena suara petir itu." Tangannya menunjuk kilatan petir yang kembali menyilaukan. "Karena tidak bisa tidur lagi aku keluar dan tidak ingat jalan kembali."
Freysia mengerutkan kening. "Kau tidur di sini?" tanyanya."
Gadis kecil itu mengangguk. Jari mungilnya terangkat menunjuk ke bagian dalam kastil.
"Namamu siapa?" tanya Freysia lagi. "Namaku Freysia, kau bisa memanggilku Fre kalau kau mau." Senyum Freysia masih mengembang.
"Namaku Mina."
"Baiklah, Mina. Katakan di mana kau tinggal, aku akan mencoba untuk mengantarkan kau pulang," ucap Freysia mengusap pucuk kepala gadis kecil itu.
"Benarkah?" Mina bertanya gembira.
"Tentu saja!" Freysia mengangguk. "Ayo!" ajaknya sambil berdiri.
Freysia mengulurkan tangan, menggenggam tangan mungil Mina, membawanya ke dalam. Dia akan mencoba untuk mengantarkannya pulang seperti yang dikatakannya tadi.
"Apa kau bisa menunjukkan jalan di mana letak kau tinggal?" tanya Freysia begitu mereka sudah melangkah beberapa kaki.
"Aku tidak ingat," jawab Mina sendu. "Aku tidak melihat jalan tadi, Kakak."
Astaga! Freysia mengembuskan napas, menjerit keras dalam hati. Dia juga tidak tahu di mana kediaman Mina, bagaimana dia bisa mengantarkan sampai ke rumahnya. Freysia memutar otak, dia harus bisa menepati janji. Apa.yang dikatakannya tadi sama saja dengan janji, mengantarkan Mina pulang. Lamunan Freysia terhenti mendengar Mina berseru memanggil nama seseorang. Seruan yang kembali menariknya ke alam sadar.
"Kak Antares!"
Freysia berdiri kaku di tempatnya melihat pria itu berjalan ke arah mereka. Dia ingin menghindari Antares,.tapi kakinya seolah terpaku di lantai sehingga dia tidak bisa ke mana-mana. Apalagi sekarang Mina berada dalam gendongannya. Mereka terlihat saling mengenal dan akrab. Di mana mereka pernah bertemu sebelumnya?
"Kau tersesat lagi?"
Pertanyaan Antares dijawab anggukan kepala oleh Mina. Gadis kecil itu tertawa mendengar Antares berdecak.
"Benar-benar sebuah kebiasaan buruk," ucap Antares datar seperti biasa. "Seharusnya kau tidak keluyuran, Mina. Sudah terlalu malam untuk berada di luar kamar, apalagi gadis kecil sepertimu." Antares menatap Freysia saat berbicara. Kata-katanya ditujukan lebih kepada gadis itu. "Kenapa kau berada di luar tengah malam seperti ini, Fre? Apa ada sesuatu yang penting yang membuatmu harus keluar kamar?"
"A-aku ...." Freysia tergagap. "Aku tidak bisa tidur," jawabnya. "Aku belum mengantuk."
"Sebaiknya kau segera kembali ke kamarmu dan segera tidur. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada esok hari, bukan?"
Freysia hanya diam, tidak bergerak sesenti pun dari tempatnya semula.
"Biar aku yang mengantarkan Mina," sambung Antares. "Kau tidur saja. Lagipula kau juga tidak tahu ke mana harus mengantarkan Mina."
"Apa kau tahu di mana tempatnya?" tanya Freysia cepat.
Antares mengangguk.
"Di mana? Biarkan aku ikut, Antares. Aku juga ingin tahu!" pinta Freysia setengah memaksa. "Apakah kita harus keluar kastil?"
"Tidak!" Antares menggeleng. "Tempat penampungan ada di dalam kastil ini, di bagian barat."
"Benarkah?"
Antares tidak menjawab. Ia justru berbalik, melangkah membawa Mina yang tertidur di gendongannya.
"Ajak aku ke sana, Antares. Izinkan aku ikut!" Freysia mengikuti Antares, berusaha menjajari langkah kakinya yang lebar.
"Kurasa aku belum mengatakan kalau aku memberimu izin untuk mengikutiku."
Freysia tidak memedulikan sindiran itu. Kakinya terus melangkah di samping Antares.
"Dasar gadis keras kepala!" Antares berdecak. "Seharusnya aku tidak menghapus ingatanmu tentangku dulu."
"Apa katamu?" tanya Freysia dengan alis bertaut. Kali ini dia tidak bisa mengabaikan lagi. Pendengarannya memang tidak setajam Zidane, tapi dia masih dapat menangkap kata-kata yang diucapkan Antares dengan lirih, meskipun samar. "Antares, apa yang kau katakan?" Freysia tidak menyembunyikan rasa penasaran dalam nada suaranya.
"Kau memang keras kepala, Freysia Marina!" ucap Antares tanpa menatap gadis itu.
"Bukan!" Freysia menggeleng. "Bukan yang itu, tapi yang setelah itu."
"Aku tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu," bantah Antares. Dalam hati ia menyumpah kenap harus menggunakan kalimat yang sangat beresiko itu..
"Kau bohong, kau ...."
"Kita sudah sampai!"
Freysia mengurungkan niatnya untuk memprotes ketika telinganya mendengar suara-suara yang berasal dari arah depan mereka. Gadis itu menatap takjub, dia tak percaya dengan apa yang ada.di depannya. Sebuah penampungan atau bisa dikatakan perkampungan.
"Antares, ini ...?" Freysia tidak meneruskan kalimatnya.
"Rumah Mina," jawab Antares. "Kita sudah mengantarkannya pulang ke rumahnya."
Freysia tidak bersuara lagi. Senyumnya mengembang sempurna menyambut seorang perempuan berusia tiga puluhan yang menghampiri mereka.
"Astaga! Kami sudah mencarinya ke semua sudut tempat ini," ucap perempuan berambut cokelat terang itu. Wajahnya mirip dengan Mina, tetapi versi dewasa. "Pantas saja kami tidak menemukannya, ternyata Mina bersamamu, Antares."
"Dia tidak bersamaku, tapi bersama Freysia," jawab Antares melirik gadis yang disebut namanya. Gadis itu berdiri tepat di sampingnya dan tersenyum lebar.
"Freysia?" ulang perempuan itu. Bagaimanapun nama Freysia sudah mereka kenal sebagai salah satu dari lima penyelamat Ameris. Bahkan diantara empat nama lainnya, nama Freysia yang paling terkenal. "Benarkah kau adalah Freysia?" tanyanya menatap Freysia dengan mata nyaris tak berkedip. Dia bahkan lupa pada putrinya yang masih berada di gendongan Antares. "Astaga! Sungguh sebuah kehormatan aku bertemu denganmu!"
Freysia mengerjap sekali, menatap Antares sebelum menerima pelukan perempuan itu.
"Namaku Nina." Dia memperkenalkan diri. "Ibu dari Mina." Nina mengurai pelukan. Senyum lebar menghiasi wajah cantiknya.
Freysia juga melakukan hal yang sama, meski senyumnya tak selebar milik Nina. "Aku bertemu Mina di balkon," ucap Freysia. "Dia memintaku untuk mengantarkannya pulang. Beruntung kami bertemu Antares, kalau tidak mungkin Mina masih belum tiba di sini sekarang."
Freysia meringis, menatap Antares yang sudah tidak bersama mereka lagi. Pria itu sudah berada di antara orang-orang penghuni penampungan. Mereka terlihat sangat akrab.
"Apa Antares memang selalu sedekat itu dengan kalian di sini?" tanya Freysia menunjuk arah depan mereka. Antares, meski tanpa senyum dan dengan wajah datarnya, tetap bisa bergaul bersama mereka. Ini sangat menakjubkan baginya.
"Iya!" Nina mengangguk. "Antares selalu ke sini setiap malamnya, menanyakan keadaan kami, dan selalu menjamin keselamatan kami. Antares juga yang mengajak kami semua yang selamat untuk ke tempat ini."
"Jadi, ada korban yang tewas?" tanya Freysia dengan mata melebar sedetik.
Nina mengangguk lagi. "Ada beberapa dari kami yang tidak sempat menyelamatkan diri saat gunung-gunung yang mengapung itu meletus."
"Astaga!" Freysia menggeleng kuat. Ternyata bukan hanya Putri Emery dan Ades saja yang menjadi korbannya, para penduduk Ameris yang tidak bersalah juga turut menjadi korban. Begitu jahat dirinya, dan dia batu menyadarinya sekarang. Monster sesungguhnya bukanlah semua yang mereka lawan, tetapi adalah dirinya sendiri.
"Freysia, kau tidak apa-apa?" tanya Nina khawatir. Freysia menangis. Takut terjadi sesuatu pada gadis cantik itu, Nina memanggil Antares. "Antares!" serunya.."Sepetinya Freysia tidak sedang baik-baik saja!"
Antares cepat menghampiri mereka. "Ada apa?" tanyanya. "Apa yang terjadi, Fre?"
Freysia terus menggeleng. Dia seolah tidak mendengar pertanyaan pria itu. Yang ada di kepalanya sekarang adalah teriakan-teriakan minta tolong dari orang-orang yang menjadi korban seperti yang diceritakan Nina tadi.
"Antares, aku tidak melakukan apa pun," ucap Nina ketakutan. Dia tidak ingin disalahkan atas sesuatu yang tidak dia lakukan.
Antares mengangguk. "Aku tahu," sahutnya. "Jangan khawatir, Nina."
Nina mengangguk takut-takut. Dia tidak mengerti apa yang terjadi pada Freysia, gadis itu tiba-tiba menangis begitu saja. Sungguh, dia takut kalau Antares menuduhnya sebagai penyebab tangis itu.
"Apa dia baik-baik saja?" tanya Nina khawatir.
Antares hanya mengangguk. Ia memeluk Freysia erat, berusaha membuatnya tenang. "Kurasa kami akan pergi sekarang. Sampai nanti, Nina!"
Hanya dalam satu anggukan kepala, Antares dan Freysia sudah tidak kelihatan lagi. Tidak jadi masalah bagi Nina, mereka semua yang berada di sini sudah terbiasa dengan semua itu. Antares pemilik kekuatan sihir tertinggi di Ameris, tidak heran dia bisa menghilang dalam sekejap mata.
Antares tidak membawa Freysia ke kamar gadis itu, meskipun tahu di mana letaknya ia tetap tidak melakukannya. Ia lebih memilih membawa Freysia ke kamarnya sendiri.
"Kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi padamu?" tanya Antares begitu tangis Freysia berangsur mereda.
"A-aku ... aku pembunuh, Antares!"
Suara putus-putus itu terdengar serak. Antares menarik napas, masih mencoba memahami. Namun, sungguh, Freysia sangat menyebalkan. Yang keluar dari mulut mungil itu bukanlah jawaban dari pertanyaannya. Ini yang paling tidak disukainya dari perempuan, mereka berbelit-belit.
"Kau baru menyadarinya?" sahut Antares tanpa perasaan. Sedetik wajah tampannya berubah, memperlihatkan iba. Di detik berikutnya sudah kembali datar seperti semula.
Freysia mendongak, menatap pria di depannya yang seolah tidak memiliki hati dengan air mata yang semakin deras saja. Kepalanya menggeleng pelan beberapa kali, kemudian mengangguk, menggeleng lagi.
Antares membingkai pipi gadis itu yang basah, menghentikan gerakan kepalanya. Kalau Freysia terus menggeleng dan mengangguk seperti ini, lehernya pasti akan sakit besok.
"Berhenti, Fre!" pinta pria itu lembut, sambil ibu jarinya mengusap air mata yang terus jatuh. "Jangan menangis lagi. Jangan buang air matamu untuk sesuatu yang tidak berguna."
Freysia memejamkan mata sejenak, memeras butiran terakhir air matanya. Kata-kata Antares seperti sihir saja yang membuat tangisnya berhenti begitu saja. Meski masih meninggalkan sesak di d**a, setidaknya dia sudah tidak menangis lagi sekarang. Hanya kata-kata itu sedikit mengganggu. 'Sesuatu yang tidak berguna' yang diucapkan Antares, bukankah itu sedikit keterlaluan? Dia menangisi orang-orang yang tewas akibat dari perbuatannya, dan itu adalah sesuatu yang penting. Nyawa manusia adalah sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang tidak akan bisa kembali bila sudah terlepas dari raga.
Namun, Freysia tidak dapat melayangkan protes. Tatapan tajam dari onyx itu membungkamnya, membuatnya tak bisa mengeluarkan suara untuk berkata. Hanya tatapannya saja yang bersorot tidak suka.
"Kau sudah baikan?"
Apa dia tidak salah dengar? Suara Antares begitu berbeda dari biasanya. Suara ini terdengar lembut dan hangat, menghadirkan rasa nyaman yang dengan tidak tahu diri mulai memasuki d**a.
"Apa kau sudah tidak merasa sesak lagi?"
Freysia mengangguk. Sungguh, dia masih belum dapat bersuara. Sesuatu yang mengganjal tenggorokannya masih betah berada di sana.
"Syukurlah!"
Suara dingin dan dalam itu kembali. Namun kali ini tak membuatnya menggigil, dia justru menikmatinya. Suara Antares terdengar begitu familiar, seolah dia sudah sangat sering mendengarnya. Suara dingin dan dalam, tapi juga lembut secara bersamaan. Freysia mengerutkan hidung, berusaha mengingat di mana dia pernah mendengar suara berjenis sama seperti ini sebelumnya. Namun, percuma, dia tidak dapat menemukannya meski sudah menggali ke bagian terdalam ingatannya.
"Jangan memaksakan diri untuk mengingat, kau tetap tidak akan menemukannya. Ingatanmu akan hal itu terkunci." Antares mendesis, menyesali kebodohannya. Seandainya saja dulu ia tidak melakukan hal itu, tidak akan rasa sakit dan jenuh dari menunggu ia rasakan. Yang paling parah, ia.bahkan tidak bisa membuka kunci itu, ia sudah menghilangkannya. "Biarkan saja semua berjalan sesuai aturan. Lambat-laun kau pasti akan mengingat semuanya, dan kurasa itu lebih menyenangkan."
Sungguh, Freysia tidak paham dengan kata-kata yamg diucapkan pria itu. Antares sangat suka berteka-teki, memaksa otak seseorang untuk bekerja lebih keras dari keadaan biasanya. Seperti juga sikap pria ini yang mudah sekali berubah. Beberapa saat yang lalu bukannkah Antares sangat dingin padanya? Sekarang sudah berbeda, Antares menjadi lebih hangat. Perubahan yang membuatnya sangat bingung, dan Antares tidak membiarkannya untuk berpikir lebih keras lagi. Bibi pria itu sudah menempel di bibirnya, membuatnya refleks melebarkan mata. Antares menciumnya!