"Mami ingin memberitahu kalian, besok Nenekmu akan tinggal di rumah ini, Rasaya. Karena itu, bisakah kalian menjemputnya besok? Kalian tidak ada pekerjaan besok kan?"
Randi tiba-tiba berhenti menyendok makanan di depannya. Laki-laki itu melirik Rasaya yang terlihat terkejut sepertinya.
"Kami akan menjemputnya, Mi," kata Randi.
"Tidak! Sebentar -" Rasaya menggenggam gelas air di depannya dengan erat. "Kenapa tiba-tiba Nenek ingin tinggal di sini? Dia kan punya rumah sendiri lebih besar dari rumah kita! Kenapa tiba-tiba sekali, Mi? Apa Nenek sedang merencanakan sesuatu?"
Helen menarik napas sedih. "Bukan seperti itu, Rasaya. Kau tahu kan Nenekmu punya penyakit pneumonia? Akhir-akhir ini penyakitnya semakin parah. Karena itu Mami memintanya untuk tinggal bersama kita. Kasihan kalau nenekmu tinggal di rumah itu sendiri. Padahal kita bisa merawatnya bersama-sama di rumah ini," kata Helen dengan lembut.
Rasaya menggigit bibirnya. Tak tahu kalau penyakit neneknya semakin parah. Selama ini Rasaya hanya membenci neneknya karena tak menerima Randi. Membencinya karena terus menyakiti Randi dengan perkataan tajamnya meskipun dengan jelas Rasaya berkata kalau ia mencintai Randi. Neneknya tak pernah berhenti meminta Rasaya menceraikan Randi dan karena itu - selama tiga bulan ini - Rasaya tak pernah peduli dengan neneknya. Rasaya bahkan tak pernah menjenguknya lagi.
"Aku tak tahu kalau Nenek sakit."
"Tak terlalu parah. Ayah sudah berbicara dengan dokternya. Yang penting kita harus memastikan pola makannya dan jangan sampai Nenekmu stres berat," sahut Reno.
"Dan sepertinya kalian harus menunda kepindahan kalian ke rumah baru kalian. Tinggallah di sini beberapa bulan lagi untuk nenekmu, Rasaya. Dia sangat merindukanmu," kata Helen.
"Aku juga merindukan Nenek. Tapi Mami tahu kan - " Rasaya melirik Randi yang masih diam. "Mami dan Ayah tahu kan, bagaimana sikap Nenek ke Randi selama ini. Aku tak bisa membiarkan Nenek menyakiti Randi lagi."
Randi memegang tangan Rasaya dan tersenyum kecil. "Aku tak apa-apa, Rasaya. Jangan mengkhawatirkan aku. Kesehatan nenekmu lebih penting sekarang."
Rasaya menggeleng. "Tapi -"
"Aku sudah terbiasa dengan sikap Nenekmu. Aku tak akan kenapa-kenapa," ucap Randi.
Helen menatap Randi dengan sedih. "Maafkan kami, Randi. Mami sudah berbicara dengan Nenek Rasaya dan menjelaskan padanya kalau kalian saling mencintai, tapi Nenek Rasaya masih tak ingin menerimamu. Mami tak bisa mengubah pemikirannya," kata Helen.
"Jangan berpikir begitu, Mi. Aku sendiri yang akan mengubah pemikiran Nenek tentangku. Dengan menerimaku di keluarga ini saja, aku sudah sangat bahagia," kata Randi.
Rasaya menatap suaminya dengan khawatir. "Randi -"
"Besok kita jemput Nenek, ya?" ajak Randi pada Rasaya.
Melihat senyum Randi yang tulus, Rasaya tak bisa menolak permintaan laki-laki itu. Rasaya mengangguk kecil lalu memeluk Randi dengan erat.
"Terima kasih," ucap Rasaya, meskipun tak tahu ia berterima kasih untuk apa.
Aleene yang duduk di depan Rasaya berdeham kecil. "Aku belum bisa terbiasa melihat Kak Raya seperti sekarang."
Rasaya menatap adiknya. "Seperti apa maksudmu?"
"Selalu menempel pada Kak Randi dan selalu memeluknya." Aleene meletakkan sendoknya dengan kesal. "Demi Tuhan, aku bahkan melihat kalian ciuman di teras kemarin. Kalian boleh ciuman setiap detik, tapi please jangan di tempat umum, oke? Aku masih sekolah kalau kalian lupa," kata Aleene.
"Jangan berlebihan. Kau pikir aku tak tahu apa yang kau lakukan dengan Yuval setiap minggu di kamarmu?" Rasaya menatap ayahnya yang masih makan. "Ayah, aku rasa hubungan Aleene dan Yuval sudah kelewatan. Ayah harusnya melarang mereka berduaan di kamar setiap minggu. Aleene masih kuliah, Ayah. Bagaimana kalau dia hamil?"
"Apa sih, Kak Raya? Aku tidak mungkin hamil. Kau pikir apa yang aku lakukan dengan Yuval?"
"Apalagi memangnya? Apalagi yang dilakukan dua orang yang saling suka di kamar berduaan, Aleene?"
"Kami belajar. Aku memintanya mengajariku Fisika!" ucap Aleene.
"Fisika? Apa kedokteran juga belajar tentang Fisika?"
"Tentu saja. Itu mata kuliah pengantar di jurusanku!"
"Sudah - sudah. Kalian berhentilah bertengkar." Helen menatap Rasaya. "Aleene benar, Rasaya. Yuval sudah berjanji pada Mami untuk menjaga Aleene. Mami yakin mereka tak akan melewati batas. Jangan khawatir tentang mereka. Khawatirkanlah dirimu sendiri. Kapan kau akan memberi kabar bahagia pada Mami? Kapan Mami bisa memeluk cucu pertama Mami, Rasaya? Kapan kau akan memberi Mami cucu?"
Rasaya menatap piringnya yang sudah kotor. "Aku belum ingin memiliki bayi," kata Rasaya pelan.
"Kenapa? Apa yang kau tunggu, Sayang? Kenapa kau belum ingin memiliki bayi? Semua baik-baik saja, kan?" tanya Helen khawatir.
"Semua baik-baik saja. Hanya saja aku -"
Randi menyela pembicaraan mereka. "Tante, sebenarnya aku yang -"
"Tidak! Aku yang belum siap memiliki bayi. Aku yang belum siap." Rasaya menatap Helen dalam. "Mami mungkin berpikir memiliki bayi adalah hal yang mudah. Tapi aku tidak, Mi. Aku masih belum siap menjadi ibu. Aku masih ingin menikmati kebersamaanku dengan Randi - berdua. Jadi, bisakah Mami menungguku dan jangan menanyakan hal ini lagi padaku sampai aku siap?" tanya Rasaya.
"Mami hanya ingin menimang cucu darimu, Rasaya. Dan memiliki bayi tak akan mengurangi kebersamaanmu dengan Randi. Kalian akan semakin bahagia dengan kehadiran bayi di tengah kalian. Mami yakin itu," ucap Helen.
"Aku tahu. Tapi aku belum menginginkannya. Aku sudah sangat bahagia sekarang," kata Rasaya.
Helen mendesah pelan dan melanjutkan makannya. "Mami akan menunggu, tapi Mami harap tak begitu lama. Mami dan Ayahmu sudah menua, Rasaya. Apa kau menunggu salah satu dari kami meninggal dulu untuk mengabulkan permintaan Mami?"
"Bukan itu yang aku maksud, Mami."
"Kalau begitu segeralah memiliki momongan. Mami tak bisa menerima alasan konyolmu itu," kata Helen.
Rasaya melirik Randi yang seperti ingin membuka suara, tapi perempuan itu menahannya. Rasaya menarik tangan Randi untuk berdiri.
"Kalau begitu, aku dan Randi kembali ke rumah dulu," kata Rasaya cepat.
"Kak Raya..." panggil Aleene khawatir.
Rasaya tak menanggapi panggilan Aleene dan langsung pergi tanpa menunggu jawaban Helen. Perempuan itu menarik tangan Randi dengan kuat. Melewati pintu utama rumah besar keluarga Rezardhi, lalu taman bunga yang membatasi rumah utama dan rumah samping. Randi mengikuti perempuan di depannya itu dengan sabar. Sampai mereka berada di rumah, Randi melepaskan tangannya dan Rasaya tahu Randi sedang tak baik-baik saja.
"Kenapa kau berkata seperti itu pada orang tuamu?" tanya Randi.
"Berkata seperti apa? Apa aku mengatakan hal yang salah?"
"Kita sudah membicarakan ini, Rasaya. Aku tak ingin kau melindungiku seperti tadi. Aku tak ingin kau menjawab pertanyaan yang seharusnya aku jawab. Bukan kau yang belum siap memiliki bayi, tapi aku. Aku yang belum siap memilikinya. Kenapa kau berbohong kepada orang tuamu? Kenapa kau mengatakan hal seperti tadi?" tanya Randi dengan wajah kecewa.
Rasaya mengerjapkan matanya, tak pernah suka melihat Randi marah padanya. "Aku hanya tak ingin orang tuaku membuatmu tak nyaman. Mereka akan terus menanyakan alasanmu dan aku tahu kau tak akan nyaman. Aku hanya ingin -"
"Darimana kau tahu kalau aku tak nyaman?"
"Aku -"
"Kau tak perlu melindungiku seperti tadi. Meskipun aku tak nyaman, aku akan tetap menjawabnya. Aku tak ingin kau berbohong hanya untuk melindungiku, Rasaya," kata Randi sambil melewati istrinya.
Rasaya menahan tangan Randi. Mata perempuan itu berkaca-kaca. "Kenapa kau marah padaku hanya karena masalah ini, Randi?" tanya Rasaya.
"Mungkin bagimu ini masalah sepele. Tapi bagiku tidak, Rasaya. Kau mungkin lupa, selain orang tuamu, aku juga menganggap Paman Reno dan Bibi Helen sebagai orang tuaku sendiri. Aku ingin memberitahu mereka semuanya, tanpa kebohongan - meskipun itu tentang sesuatu yang mengecewakannya, Rasaya," kata Randi lalu melepaskan tangan Rasaya dan meninggalkan perempuan itu sendirian.
Dengan perasaan menyesal yang menggelayutinya perlahan.