TENANG
__________
"Gimana dengan Cahaya?" tanya Bela pada kakaknya.
"Dia baik-baik saja," jawab Erlando dengan wajah senduh.
"Beberapa hari ini ... Cahaya memang banyak berubah."
"Dia merasa risih saja," sambung Erlando.
"Risih? Kenapa Cahaya risih? Pada siapa?"
"Pada kalian yang udah punya anak, sedangkan dia nggak," jawab Erlando menghela napas halus.
"Kok bisa? Jadi ... itu penyebab pendiamnya dia beberapa hari ini?"
"Biarkan Cahaya tenang dulu," kata Erlando menggelengkan kepala. "Aku memahami apa yang dia rasakan."
"Kenapa kalian nggak ikut program bayi tabung saja atau mengadopsi anak seperti Mbak Rahayu dan Damian, mereka juga menginginkan adik Imam, dan ... buktinya mereka mendapatkan adopsi Raden."
"Bukan nggak mau, Bel, aku merasa itu nggak perlu. Punya anak maupun nggak, aku nggak pernah mempermasalahkannya. Aku menerima semua apa adanya. Aku mencintai Cahaya tak pernah mengharapkan imbalan apa pun."
"Bukan gitu maksudnya, Kak, itu perasaanmu, berbeda dengan perasaan Cahaya."
Gaston datang dengan helaan napas, pekerjaan di Jerman tak kalah sibuknya dengan pekerjaannya di Jakarta. Bahkan di Jerman ia tak ada waktu pulang, sedangkan di Jakarta, ia bisa semaunya pulang jam berapa.
Gaston melihat istrinya juga Erlando tengah berbincang disofa.
"Ada apa dengan kalian?" tanya Gaston menghempaskan tubuhnya di atas sofa. "Hana mana?"
"Dia udah tidur," jawab Bela
"Lalu apa gerangan yang membuat wajah lo sedih?" tanya Gaston.
"Jika kamu pengen Cahaya seperti biasa lagi, hanya dua cara yang bisa membuat dia membaik, yaitu program bayi tabung atau adopsi anak seperti Mbak Rahayu dan Damian, wanita mana yang tidak ingin memiliki anak di hasil pernikahannya? Hal yang nggak mungkin bisa jadi mungkin, sedangkan Cahaya udah nyata sehat dan kata dokter juga hanya persoalan waktu," sambung Bela mengabaikan suaminya sesaat.
"Buat apa memelihara anak orang lain?"
"Lalu Damian dan Mbak Rahayu gimana?"
"Itu mereka. Bukan aku."
"Tapi kamu harusnya ambil contoh ke mereka."
"Nggak deh."
"Ya udah, ikut program bayi tabung saja. Gampang, 'kan?"
"Cukup. Cukup! Kalian jangan debat donk," geleng Gaston.
"Gimana menurutmu, Sayang? Apa yang ku katakan benar kan?"
"Benar, Sayang, tapi harusnya ada persetujuan dari Erlando nya langsung."
"Udah kalian ngobrol aja. Aku mau mandi." Erlando beranjak dari duduknya dan masuk ke kamarnya.
Bela menghela napas panjang.
"Aku heran sama Cahaya, dia nggak pernah seperti ini sebelumnya, jika memang ia ingin memiliki anak, banyak cara yang bisa dia lakukan, namun mengapa dengan cara merasa kecil sama kita?" Bela menghela napas panjang.
"Perasaan seorang istri memang akan seperti itu."
"Aku tahu. Aku pun akan merasakan hal yang sama. Tapi kan banyak jalan."
"Banyak jalan hanya bagi orang yang menginginkannya."
Bela menghela napas panjang.
Erlando keluar dari kamar mandi, menatap punggung Cahaya yang membelakanginya. Erlando menghampiri Cahaya dan memeluknya dari belakang.
"Kamu tidur?" tanya Erlando mencium leher Cahaya membuat istrinya itu bergidik.
Cahaya terkekeh karena merasa geli. Erlando tahu betul dimana letak kelemahannya.
"Apaan sih," kata Cahaya.
Erlando naik ke ranjang dan berbaring dibelakang istrinya, lalu memeluk Cahaya.
Cahaya menitikkan air mata, ia menyadari satu hal bahwa ia sudah salah telah melampiaskan kekesalannya pada suaminya, dan Erlando begitu sabar menghadapinya, tak pernah marah padanya.
"Aku mencintaimu," lirih Erlando terus menciumi belakang leher istrinya. "Aku minta maaf jika karenaku kamu jadi sedih. Tapi yang harus kamu tahu, punya anak atau nggak darimu, aku nggak pernah memperdulikan itu, yang ku pentingkan adalah kebersamaan kita, kamu mencintaiku, aku mencintaimu dan kita hidup bahagia. Itu lebih dari cukup bagiku. Punya anak nantinya ku anggap itu anugerah dari Allah dan menganggap itu bonus."
"Bukankah memiliki anak itu penting didalam pernikahan? Karena itu sama saja menjadi buah cinta kita."
"Penting, Sayang, tapi memaksakan diri agar memilikinya, sepertinya itu berlebihan. Dan ... aku nggak mau kamu jadi memaksakan diri."
Cahaya menghela napas halus, ia memang sudah berlebihan beberapa hari ini.
Cahaya menyeka air matanya dan berbalik badan menatap suaminya.
Erlando menyeka air mata istrinya. "Jangan menangis," lirih Erlando, mengusap kedua pipi istrinya.
"Tanpa anak ... pernikahan kita serasa nggak lengkap. Aku ingin ada yang berteriak memanggil kita Ayah dan Ibu," lirih Cahaya.
"Kita jalani saja, Sayang, kita pasrah kepada Allah. Dan tak putus doa dan usaha."
Cahaya menganggukkan kepala.
"Apa kamu sangat ingin memiliki anak?"
Cahaya mengangguk.
"Bagaimana kalau kita ikut program bayi tabung?"
"Benarkah? Kamu mau? Bukannya kamu menolak?"
"Jika itu yang di inginkan istriku, aku pasti akan melakukannya. Meski aku menentangnya."
Cahaya tersenyum dan memeluk suaminya. "Aku sangat beruntung memiliki kamu.
"Aku juga sangat beruntung, Sayang." Erlando mengecup puncak kepala Cahaya, membuat Cahaya memejamkan matanya.
"Aku mau ikut program bayi tabung asalkan kamu bersedia," kata Cahaya.
Erlando membelai rambut istrinya, mengecupnya beberapa kali dan mengeratkan pelukannya. Akhirnya, Cahaya membaik dan tidak ada lagi yang harus ia khawatirkan. Bukan tak ingin ikut program bayi tabung, namun ia malas jika harus berurusan dengan dokter dan itu menyita waktunya. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan selain mengikuti keinginan istrinya.
Cahaya mendongak dan menatap wajah suaminya, Erlando pun menunduk dan menatap bibir ranum istrinya, bibir ranum yang selalu memberinya candu.
Erlando mencium bibir istrinya. Lalu, mengecupnya beberapa kali dan selanjutnya memagutnya hingga menjadi liar, Cahaya memejamkan matanya, dan merasakan gleyar-gleyar kehangatan yang menyeruak hebat di sekujur tubuhnya.
Tangan Erlando menyelusup masuk ke leher belakang istrinya, memperdalam ciumannya. Memperdalam kehangatan yang telah menyeruak.
Tangan Erlando kembali menjelajah, meremas dua gudukan milik Cahaya. Membuat Cahaya merasakan kenikmatan luar biasa. Erlando mematikan lampu dengan menepuk tangannya.
"Aku mencintaimu," lirih Erlando.
"Aku juga," bisik Cahaya.
Setelah beberapa saat kemudian, pembatas yang bernama baju itu sudah berhamburan ke sana kemari, mereka masih saling mematuk bagai ayam.
Erlando menindih Cahaya, saling memagut tanpa batasan lagi.
.
.
Bersambung.