“Tidak, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk terus menjagamu dari marabahaya, dan aku tidak ingin kehilanganmu lagi untuk kedua kalinya, jadi maafkan aku, aku tidak akan membiarkan pergi dariku.” Kata Jiola dengan menundukkan kepalanya, menatap penuh fokus pada mata adiknya yang ada di bawah kaki-kakinya, membuat helaian-helaian perak panjangnya yang begitu lembut berjatuhan. Jiola terlihat begitu menyeramkan mengingat saat ini ekspresi mukanya begitu serius dengan diselingi sebuah senyuman tipis, tampak bagaikan hantu perempuan yang ingin menjerat mangsanya untuk tidak pergi dari hadapannya.
Arga merasa tidak nyaman menerima perlakuan ini, bukannya merasa terlindungi, dia malah merasa seperti diawasi dan dipenjara, dan itu sangat membuatnya merasa kesal dan muak. Jika Jiola memang ingin benar-benar ingin menjaganya dari marabahaya, seharusnya dilakukan dengan cara yang baik dan masuk akal, tidak seperti ini yang terkesan memaksa dan tidak peduli pada perasaan Sang Adik. Arga yakin kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya tidak dilakukan dengan cara seperti ini, perilaku Jiola malah lebih mirip seperti orang aneh yang begitu fanatik dan terobsesi dengan hubungan kakak dan adik, padahal bisa saja dirinya dengan Arga sama sekali tidak terikat.
Jika terus dibiarkan, ini bisa berbahaya. Arga harus mencari cara agar dirinya bisa terlepas dari genggaman Jiola, dia harus berpikir dan berpikir, berusaha menemukan ide bagus tanpa harus membuat dirinya mengeluarkan tenaga lebih hanya untuk keluar dari kesulitan ini. Berpikir selama beberapa menit, akhirnya Arga mendapatkan ide bagus untuk keluar dari kesulitan ini, lalu dengan perlahan-lahan, ia mengeluarkan suaranya.
“Jiola, baiklah, aku menyerah. Aku akan mematuhi segala ucapanmu, tapi aku mohon, lepaskan kaki-kakimu dari leherku, aku tidak bisa bernapas. Jika terus seperti ini, aku bisa mati. Jadi ayolah, lepaskan dulu kaki-kakimu dariku, Jiola,” pinta Arga dengan suara dan anda yang begitu lirih, berusaha mengambil hati Jiola agar perempuan berambut perak itu bisa luluh dan mengabulkan permintaannya untuk melepaskan cengkraman kaki-kakinya dari leher Sang Adik. Tapi itu percuma saja, karena tampaknya Jiola tidak mengiyakan permintaan adiknya, malahan dia hanya tersenyum dalam diam tanpa sedikit pun merenggangkan himpitan dua kakinya dari leher Arga. “Hey, Jiola, jika kau terus membiarkanku dalam keadaan seperti ini, aku bisa benar-benar mati! Apakah kau tidak mengerti!? Aku bisa mati! AKU BISA MATI! Jadi cepatlah lepaskan kaki-kakimu ini dari leherku!”
“Tidak,” jawab Jiola dengan nada yang rendah, seakan-akan tidak terpengaruh sedikit pun pada segala teriakan-teriakan dan seruan-seruan dari adik kesayangannya itu, persis seperti perempuan yang memiliki hati sebeku es. Benar-benar dingin dan terkesan tidak peduli. “Aku tahu yang kamu pikirkan sekarang, dan aku tidak akan tertipu oleh muslihatmu. Meskipun kau adikku, bukan berarti aku akan mengabulkan segala keinginanmu, apalagi ini menyangkut keselamatanmu sendiri.”
“Kau berbicara soal keselamatanku, seolah-olah kau begitu peduli padaku, tapi kau tidak sadar kalau tindakanmu sekarang juga bisa membahayakan keselamatanku! APA KAU BODOH! AKU TIDAK BISA BERNAPAS SEKARANG!” bentak Arga dengan urat-urat di seluruh tubuhnya yang mulai menonjol, gigi-giginya bergelemetuk dan suaranya begitu menggeram layaknya seekor singa yang benar-benar sedang mengamuk. “APA KAU MAU MEMBUNUHKU DI SINI, HAH!? LEPASKAN! LEPASKAN KAKI-KAKI SIALANMU INI DARI LEHERKU, JIOLA!”
Setelah mendengar teriakan-teriakan Arga yang mulai tambah histeris, akhirnya Jiola sedikit mengendurkan himpitan kakinya untuk memberi ruang pada Sang Adik untuk bernapas dan bergerak, tapi sayangnya kesempatan kecil itu langsung diambil oleh Arga untuk melancarkan serangan balasan pada Sang Kakak dengan cara beranjak bangun sedikit dan mencengkram paha-paha Jiola lalu mendorongnya sekuat mungkin sehingga posisi berdiri perempuan berambut perak itu goyah dan akhirnya terjatuh ke permukaan tanah. Kemudian, Arga langsung beranjak bangun setegap mungkin dan memundurkan langkahnya sejauh mungkin dari Jiola agar dirinya tidak lagi berakhir seperti tadi.
Arga mulai begitu wapada pada keberadaan Jiola, dia benar-benar muak pada serangan perempuan itu yang telah membuat dirinya tidak bisa bernapas dengan bebas.
“Tidak, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk terus menjagamu dari marabahaya, dan aku tidak ingin kehilanganmu lagi untuk kedua kalinya, jadi maafkan aku, aku tidak akan membiarkan pergi dariku.” Kata Jiola dengan menundukkan kepalanya, menatap penuh fokus pada mata adiknya yang ada di bawah kaki-kakinya, membuat helaian-helaian perak panjangnya yang begitu lembut berjatuhan. Jiola terlihat begitu menyeramkan mengingat saat ini ekspresi mukanya begitu serius dengan diselingi sebuah senyuman tipis, tampak bagaikan hantu perempuan yang ingin menjerat mangsanya untuk tidak pergi dari hadapannya.
Arga merasa tidak nyaman menerima perlakuan ini, bukannya merasa terlindungi, dia malah merasa seperti diawasi dan dipenjara, dan itu sangat membuatnya merasa kesal dan muak. Jika Jiola memang ingin benar-benar ingin menjaganya dari marabahaya, seharusnya dilakukan dengan cara yang baik dan masuk akal, tidak seperti ini yang terkesan memaksa dan tidak peduli pada perasaan Sang Adik. Arga yakin kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya tidak dilakukan dengan cara seperti ini, perilaku Jiola malah lebih mirip seperti orang aneh yang begitu fanatik dan terobsesi dengan hubungan kakak dan adik, padahal bisa saja dirinya dengan Arga sama sekali tidak terikat.
Jika terus dibiarkan, ini bisa berbahaya. Arga harus mencari cara agar dirinya bisa terlepas dari genggaman Jiola, dia harus berpikir dan berpikir, berusaha menemukan ide bagus tanpa harus membuat dirinya mengeluarkan tenaga lebih hanya untuk keluar dari kesulitan ini. Berpikir selama beberapa menit, akhirnya Arga mendapatkan ide bagus untuk keluar dari kesulitan ini, lalu dengan perlahan-lahan, ia mengeluarkan suaranya.
“Jiola, baiklah, aku menyerah. Aku akan mematuhi segala ucapanmu, tapi aku mohon, lepaskan kaki-kakimu dari leherku, aku tidak bisa bernapas. Jika terus seperti ini, aku bisa mati. Jadi ayolah, lepaskan dulu kaki-kakimu dariku, Jiola,” pinta Arga dengan suara dan anda yang begitu lirih, berusaha mengambil hati Jiola agar perempuan berambut perak itu bisa luluh dan mengabulkan permintaannya untuk melepaskan cengkraman kaki-kakinya dari leher Sang Adik. Tapi itu percuma saja, karena tampaknya Jiola tidak mengiyakan permintaan adiknya, malahan dia hanya tersenyum dalam diam tanpa sedikit pun merenggangkan himpitan dua kakinya dari leher Arga. “Hey, Jiola, jika kau terus membiarkanku dalam keadaan seperti ini, aku bisa benar-benar mati! Apakah kau tidak mengerti!? Aku bisa mati! AKU BISA MATI! Jadi cepatlah lepaskan kaki-kakimu ini dari leherku!”
“Tidak,” jawab Jiola dengan nada yang rendah, seakan-akan tidak terpengaruh sedikit pun pada segala teriakan-teriakan dan seruan-seruan dari adik kesayangannya itu, persis seperti perempuan yang memiliki hati sebeku es. Benar-benar dingin dan terkesan tidak peduli. “Aku tahu yang kamu pikirkan sekarang, dan aku tidak akan tertipu oleh muslihatmu. Meskipun kau adikku, bukan berarti aku akan mengabulkan segala keinginanmu, apalagi ini menyangkut keselamatanmu sendiri.”
“Kau berbicara soal keselamatanku, seolah-olah kau begitu peduli padaku, tapi kau tidak sadar kalau tindakanmu sekarang juga bisa membahayakan keselamatanku! APA KAU BODOH! AKU TIDAK BISA BERNAPAS SEKARANG!” bentak Arga dengan urat-urat di seluruh tubuhnya yang mulai menonjol, gigi-giginya bergelemetuk dan suaranya begitu menggeram layaknya seekor singa yang benar-benar sedang mengamuk. “APA KAU MAU MEMBUNUHKU DI SINI, HAH!? LEPASKAN! LEPASKAN KAKI-KAKI SIALANMU INI DARI LEHERKU, JIOLA!”
Setelah mendengar teriakan-teriakan Arga yang mulai tambah histeris, akhirnya Jiola sedikit mengendurkan himpitan kakinya untuk memberi ruang pada Sang Adik untuk bernapas dan bergerak, tapi sayangnya kesempatan kecil itu langsung diambil oleh Arga untuk melancarkan serangan balasan pada Sang Kakak dengan cara beranjak bangun sedikit dan mencengkram paha-paha Jiola lalu mendorongnya sekuat mungkin sehingga posisi berdiri perempuan berambut perak itu goyah dan akhirnya terjatuh ke permukaan tanah. Kemudian, Arga langsung beranjak bangun setegap mungkin dan memundurkan langkahnya sejauh mungkin dari Jiola agar dirinya tidak lagi berakhir seperti tadi.
Arga mulai begitu wapada pada keberadaan Jiola, dia benar-benar muak pada serangan perempuan itu yang telah membuat dirinya tidak bisa bernapas dengan bebas.
“Tidak, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk terus menjagamu dari marabahaya, dan aku tidak ingin kehilanganmu lagi untuk kedua kalinya, jadi maafkan aku, aku tidak akan membiarkan pergi dariku.” Kata Jiola dengan menundukkan kepalanya, menatap penuh fokus pada mata adiknya yang ada di bawah kaki-kakinya, membuat helaian-helaian perak panjangnya yang begitu lembut berjatuhan. Jiola terlihat begitu menyeramkan mengingat saat ini ekspresi mukanya begitu serius dengan diselingi sebuah senyuman tipis, tampak bagaikan hantu perempuan yang ingin menjerat mangsanya untuk tidak pergi dari hadapannya.
Arga merasa tidak nyaman menerima perlakuan ini, bukannya merasa terlindungi, dia malah merasa seperti diawasi dan dipenjara, dan itu sangat membuatnya merasa kesal dan muak. Jika Jiola memang ingin benar-benar ingin menjaganya dari marabahaya, seharusnya dilakukan dengan cara yang baik dan masuk akal, tidak seperti ini yang terkesan memaksa dan tidak peduli pada perasaan Sang Adik. Arga yakin kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya tidak dilakukan dengan cara seperti ini, perilaku Jiola malah lebih mirip seperti orang aneh yang begitu fanatik dan terobsesi dengan hubungan kakak dan adik, padahal bisa saja dirinya dengan Arga sama sekali tidak terikat.
Jika terus dibiarkan, ini bisa berbahaya. Arga harus mencari cara agar dirinya bisa terlepas dari genggaman Jiola, dia harus berpikir dan berpikir, berusaha menemukan ide bagus tanpa harus membuat dirinya mengeluarkan tenaga lebih hanya untuk keluar dari kesulitan ini. Berpikir selama beberapa menit, akhirnya Arga mendapatkan ide bagus untuk keluar dari kesulitan ini, lalu dengan perlahan-lahan, ia mengeluarkan suaranya.
“Jiola, baiklah, aku menyerah. Aku akan mematuhi segala ucapanmu, tapi aku mohon, lepaskan kaki-kakimu dari leherku, aku tidak bisa bernapas. Jika terus seperti ini, aku bisa mati. Jadi ayolah, lepaskan dulu kaki-kakimu dariku, Jiola,” pinta Arga dengan suara dan anda yang begitu lirih, berusaha mengambil hati Jiola agar perempuan berambut perak itu bisa luluh dan mengabulkan permintaannya untuk melepaskan cengkraman kaki-kakinya dari leher Sang Adik. Tapi itu percuma saja, karena tampaknya Jiola tidak mengiyakan permintaan adiknya, malahan dia hanya tersenyum dalam diam tanpa sedikit pun merenggangkan himpitan dua kakinya dari leher Arga. “Hey, Jiola, jika kau terus membiarkanku dalam keadaan seperti ini, aku bisa benar-benar mati! Apakah kau tidak mengerti!? Aku bisa mati! AKU BISA MATI! Jadi cepatlah lepaskan kaki-kakimu ini dari leherku!”
“Tidak,” jawab Jiola dengan nada yang rendah, seakan-akan tidak terpengaruh sedikit pun pada segala teriakan-teriakan dan seruan-seruan dari adik kesayangannya itu, persis seperti perempuan yang memiliki hati sebeku es. Benar-benar dingin dan terkesan tidak peduli. “Aku tahu yang kamu pikirkan sekarang, dan aku tidak akan tertipu oleh muslihatmu. Meskipun kau adikku, bukan berarti aku akan mengabulkan segala keinginanmu, apalagi ini menyangkut keselamatanmu sendiri.”
“Kau berbicara soal keselamatanku, seolah-olah kau begitu peduli padaku, tapi kau tidak sadar kalau tindakanmu sekarang juga bisa membahayakan keselamatanku! APA KAU BODOH! AKU TIDAK BISA BERNAPAS SEKARANG!” bentak Arga dengan urat-urat di seluruh tubuhnya yang mulai menonjol, gigi-giginya bergelemetuk dan suaranya begitu menggeram layaknya seekor singa yang benar-benar sedang mengamuk. “APA KAU MAU MEMBUNUHKU DI SINI, HAH!? LEPASKAN! LEPASKAN KAKI-KAKI SIALANMU INI DARI LEHERKU, JIOLA!”
Setelah mendengar teriakan-teriakan Arga yang mulai tambah histeris, akhirnya Jiola sedikit mengendurkan himpitan kakinya untuk memberi ruang pada Sang Adik untuk bernapas dan bergerak, tapi sayangnya kesempatan kecil itu langsung diambil oleh Arga untuk melancarkan serangan balasan pada Sang Kakak dengan cara beranjak bangun sedikit dan mencengkram paha-paha Jiola lalu mendorongnya sekuat mungkin sehingga posisi berdiri perempuan berambut perak itu goyah dan akhirnya terjatuh ke permukaan tanah. Kemudian, Arga langsung beranjak bangun setegap mungkin dan memundurkan langkahnya sejauh mungkin dari Jiola agar dirinya tidak lagi berakhir seperti tadi.
Arga mulai begitu wapada pada keberadaan Jiola, dia benar-benar muak pada serangan perempuan itu yang telah membuat dirinya tidak bisa bernapas dengan bebas.
“Tidak, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk terus menjagamu dari marabahaya, dan aku tidak ingin kehilanganmu lagi untuk kedua kalinya, jadi maafkan aku, aku tidak akan membiarkan pergi dariku.” Kata Jiola dengan menundukkan kepalanya, menatap penuh fokus pada mata adiknya yang ada di bawah kaki-kakinya, membuat helaian-helaian perak panjangnya yang begitu lembut berjatuhan. Jiola terlihat begitu menyeramkan mengingat saat ini ekspresi mukanya begitu serius dengan diselingi sebuah senyuman tipis, tampak bagaikan hantu perempuan yang ingin menjerat mangsanya untuk tidak pergi dari hadapannya.
Arga merasa tidak nyaman menerima perlakuan ini, bukannya merasa terlindungi, dia malah merasa seperti diawasi dan dipenjara, dan itu sangat membuatnya merasa kesal dan muak. Jika Jiola memang ingin benar-benar ingin menjaganya dari marabahaya, seharusnya dilakukan dengan cara yang baik dan masuk akal, tidak seperti ini yang terkesan memaksa dan tidak peduli pada perasaan Sang Adik. Arga yakin kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya tidak dilakukan dengan cara seperti ini, perilaku Jiola malah lebih mirip seperti orang aneh yang begitu fanatik dan terobsesi dengan hubungan kakak dan adik, padahal bisa saja dirinya dengan Arga sama sekali tidak terikat.
Jika terus dibiarkan, ini bisa berbahaya. Arga harus mencari cara agar dirinya bisa terlepas dari genggaman Jiola, dia harus berpikir dan berpikir, berusaha menemukan ide bagus tanpa harus membuat dirinya mengeluarkan tenaga lebih hanya untuk keluar dari kesulitan ini. Berpikir selama beberapa menit, akhirnya Arga mendapatkan ide bagus untuk keluar dari kesulitan ini, lalu dengan perlahan-lahan, ia mengeluarkan suaranya.
“Jiola, baiklah, aku menyerah. Aku akan mematuhi segala ucapanmu, tapi aku mohon, lepaskan kaki-kakimu dari leherku, aku tidak bisa bernapas. Jika terus seperti ini, aku bisa mati. Jadi ayolah, lepaskan dulu kaki-kakimu dariku, Jiola,” pinta Arga dengan suara dan anda yang begitu lirih, berusaha mengambil hati Jiola agar perempuan berambut perak itu bisa luluh dan mengabulkan permintaannya untuk melepaskan cengkraman kaki-kakinya dari leher Sang Adik. Tapi itu percuma saja, karena tampaknya Jiola tidak mengiyakan permintaan adiknya, malahan dia hanya tersenyum dalam diam tanpa sedikit pun merenggangkan himpitan dua kakinya dari leher Arga. “Hey, Jiola, jika kau terus membiarkanku dalam keadaan seperti ini, aku bisa benar-benar mati! Apakah kau tidak mengerti!? Aku bisa mati! AKU BISA MATI! Jadi cepatlah lepaskan kaki-kakimu ini dari leherku!”
“Tidak,” jawab Jiola dengan nada yang rendah, seakan-akan tidak terpengaruh sedikit pun pada segala teriakan-teriakan dan seruan-seruan dari adik kesayangannya itu, persis seperti perempuan yang memiliki hati sebeku es. Benar-benar dingin dan terkesan tidak peduli. “Aku tahu yang kamu pikirkan sekarang, dan aku tidak akan tertipu oleh muslihatmu. Meskipun kau adikku, bukan berarti aku akan mengabulkan segala keinginanmu, apalagi ini menyangkut keselamatanmu sendiri.”
“Kau berbicara soal keselamatanku, seolah-olah kau begitu peduli padaku, tapi kau tidak sadar kalau tindakanmu sekarang juga bisa membahayakan keselamatanku! APA KAU BODOH! AKU TIDAK BISA BERNAPAS SEKARANG!” bentak Arga dengan urat-urat di seluruh tubuhnya yang mulai menonjol, gigi-giginya bergelemetuk dan suaranya begitu menggeram layaknya seekor singa yang benar-benar sedang mengamuk. “APA KAU MAU MEMBUNUHKU DI SINI, HAH!? LEPASKAN! LEPASKAN KAKI-KAKI SIALANMU INI DARI LEHERKU, JIOLA!”
Setelah mendengar teriakan-teriakan Arga yang mulai tambah histeris, akhirnya Jiola sedikit mengendurkan himpitan kakinya untuk memberi ruang pada Sang Adik untuk bernapas dan bergerak, tapi sayangnya kesempatan kecil itu langsung diambil oleh Arga untuk melancarkan serangan balasan pada Sang Kakak dengan cara beranjak bangun sedikit dan mencengkram paha-paha Jiola lalu mendorongnya sekuat mungkin sehingga posisi berdiri perempuan berambut perak itu goyah dan akhirnya terjatuh ke permukaan tanah. Kemudian, Arga langsung beranjak bangun setegap mungkin dan memundurkan langkahnya sejauh mungkin dari Jiola agar dirinya tidak lagi berakhir seperti tadi.
Arga mulai begitu wapada pada keberadaan Jiola, dia benar-benar muak pada serangan perempuan itu yang telah membuat dirinya tidak bisa bernapas dengan bebas.