My Prince Season 2 - 06

2250 Kata
“A-Aku tidak percaya!” Meski bilang begitu setelah mendengar semua penjelasan yang dikemukakan oleh Jiola, wanita langsing berparas cantik berambut putih perak itu, Arga sebenarnya tercengang dengan semua itu tapi dia masih sedikit mengelaknya, jadi sikapnya masih menunjukkan penolakan. “Aku tidak percaya sedikit pun pada apa yang kau ucapkan! Semuanya hanya omong kosong!” Sungguh, Jiola hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan perlahan sembari menyunggingkan senyuman tipisnya saat melihat reaksi negatif yang Arga tunjukkan padanya setelah menyimak segala yang ia katakan. Jiola tidak kesal apalagi marah, dia malah sebaliknya, merasa menyesal dan sedih melihat anak kecil seperti Arga harus hidup sebatang kara di tempat yang menyerupai hutan seperti ini. Seharusnya  anak-anak seusia Arga bisa hidup dengan nyaman dan menyenangkan di rumah keluarganya, tertawa dan bersenang-senang, menghabiskan waktu dengan orang tuanya serta bermain-main dengan mainan-mainan anak kecil adalah hal yang sepatutnya semua anak-anak punya di masa tersebut. Sedangkan Arga, dia terpaksa harus hidup dan bertahan di tengah hutan seperti ini sendirian dengan usianya yang masih tujuh tahun, tidak ada keluarga, tidak ada mainan, dan tidak ada seorang pun yang bisa dijadikan teman di tempat seperti ini. Jiola sangat tidak tega pada apa yang selama ini Arga alami di tempat yang menyerupai hutan belantara seperti ini, matanya jadi berkaca-kaca, air matanya tampak mau keluar tapi dia usahakan untuk menahannya karena dia tidak mau membuat anak itu salah paham saat melihat dirinya menangis. Sebelum kesedihannya semakin berlanjut, Jiola segera dengan cepat merespon seruan Arga dengan kata-kata yang bernada halus dan lembut. “Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayai perkataanku, aku hanya ingin kamu paham bahwa aku bukanlah orang jahat. Aku datang kemari untuk mengeluarkan dari tempat ini. Aku ingin menyelamatkanmu. Kamu tidak boleh terus tinggal sendirian di tempat seperti ini. Aku akan membawamu ke tempat kamu bisa mendapatkan kebahagiaan, kehangatan, dan juga banyak teman.” “OMONG KOSONG!” Arga memundurkan langkahnya, mengambil sikap untuk menjauhi Jiola, dia seakan-akan tidak ingin terlalu dekat dengan wanita asing itu. “Pergilah dari sini! Jangan ganggu aku! Aku sedang memanggang ikan! Perutku sangat lapar! Jika kau terus-terusan di sini, aku tidak bisa menyantapnya! Jadi pergilah dari sini! PERGILAH YANG JAUH!” Jiola menghela napasnya, ia mengedikkan bahu dan menggeleng-gelengkan kepalanya, rambut peraknya terombang-ambing ketika kepalanya bergoyang-goyang, dia pun kembali mengangkat badannya yang tengah berjongkok untuk berdiri tegak seperti sebelumnya. Jiola merasa sudah tidak perlu lagi menjelaskan apa pun pada Arga, karena tidak akan mempan. Sekarang, yang harus dia lakukan adalah harus membuat Arga nyaman berada di dekatnya, setidaknya dia harus mencoba untuk memulai suatu pendekatan sehingga anak itu bisa melihatnya tidak sebagai orang asing melainkan temannya. “Maafkan aku, sepertinya aku mengganggu acara makan siangmu. Silahkan, kau boleh kembali ke tempatmu, tidak perlu takut, aku tidak akan mennganggumu lagi. Aku akan pergi dari sini,” kata Jiola dengan senyuman hangatnya pada Arga sembari mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya yang terletak di pinggangnya. “Tapi ambilah ini, masakanmu akan terasa nikmat jika ditaburkan dengan garam.” Arga mengernyitkan alis ketika matanya melihat sebuah botol mungil berisi bubuk putih yang baru saja dikeluarkan oleh Jiola dari kantung celananya, dia penasaran apa kegunaan dari bubuk putih itu sehingga bisa membuat masakannya jadi enak hanya dengan menaburkannya. “Garam? Apa itu? Apakah itu racun? Apakah kau mau meracuniku?” Tergelak, Jiola sedikit tertawa mendengar omongan polos Arga yang begitu penuh waspada, seolah-olah apa pun yang dilakukan oleh dirinya adalah sebuah kejahatan. Padahal kenyataannya sebaliknya, Jiola sangat mengkhawatirkan dan menyayangi Arga karena dia tahu anak itu telah hidup sendirian dan tinggal di tempat sepi seperti ini bertahun-tahun. “Bukan. Ini bukan racun,” jawab Jiola dengan santai. “Ini adalah garam yang dapat membuat masakanmu jadi terasa asin dan itu bisa menambah kelezatan pada masakanmu. Jika kamu tidak berani mencobanya, maka bisakah kamu izinkan aku untuk memakannya bersamamu? Aku akan menunjukkannya padamu bahwa garam bukanlah racun.” Mendengarnya, Arga terpaku dalam diam, dia bingung harus merespon apa karena di satu sisi dia masih terasa terganggu dengan kehadiran orang asing itu, tapi di sisi lain dia juga penasaran seperti apa rasa dari garam yang disebut-sebut orang itu, mungkinkah itu racun atau benar-benar pelezat makanan? Arga benar-benar kebingungan saat ini. “Baiklah,” Setelah berpikir cukup lama akhirnya Arga memutuskan untuk menerima tawaran itu karena dia sudah sangat penasaran pada benda yang disebut-sebut sebagai garam itu, yang katanya mampu membuat makanan menjadi terasa lezat dari biasanya, meskipun dia masih menjaga jarak dari Jiola karena sikap waspadanya yang belum hilang sepenuhnya. Tapi dibalik semua itu, dia mulai menerima kehadiran Jiola. “A-Aku tidak percaya!” Meski bilang begitu setelah mendengar semua penjelasan yang dikemukakan oleh Jiola, wanita langsing berparas cantik berambut putih perak itu, Arga sebenarnya tercengang dengan semua itu tapi dia masih sedikit mengelaknya, jadi sikapnya masih menunjukkan penolakan. “Aku tidak percaya sedikit pun pada apa yang kau ucapkan! Semuanya hanya omong kosong!” Sungguh, Jiola hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan perlahan sembari menyunggingkan senyuman tipisnya saat melihat reaksi negatif yang Arga tunjukkan padanya setelah menyimak segala yang ia katakan. Jiola tidak kesal apalagi marah, dia malah sebaliknya, merasa menyesal dan sedih melihat anak kecil seperti Arga harus hidup sebatang kara di tempat yang menyerupai hutan seperti ini. Seharusnya  anak-anak seusia Arga bisa hidup dengan nyaman dan menyenangkan di rumah keluarganya, tertawa dan bersenang-senang, menghabiskan waktu dengan orang tuanya serta bermain-main dengan mainan-mainan anak kecil adalah hal yang sepatutnya semua anak-anak punya di masa tersebut. Sedangkan Arga, dia terpaksa harus hidup dan bertahan di tengah hutan seperti ini sendirian dengan usianya yang masih tujuh tahun, tidak ada keluarga, tidak ada mainan, dan tidak ada seorang pun yang bisa dijadikan teman di tempat seperti ini. Jiola sangat tidak tega pada apa yang selama ini Arga alami di tempat yang menyerupai hutan belantara seperti ini, matanya jadi berkaca-kaca, air matanya tampak mau keluar tapi dia usahakan untuk menahannya karena dia tidak mau membuat anak itu salah paham saat melihat dirinya menangis. Sebelum kesedihannya semakin berlanjut, Jiola segera dengan cepat merespon seruan Arga dengan kata-kata yang bernada halus dan lembut. “Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayai perkataanku, aku hanya ingin kamu paham bahwa aku bukanlah orang jahat. Aku datang kemari untuk mengeluarkan dari tempat ini. Aku ingin menyelamatkanmu. Kamu tidak boleh terus tinggal sendirian di tempat seperti ini. Aku akan membawamu ke tempat kamu bisa mendapatkan kebahagiaan, kehangatan, dan juga banyak teman.” “OMONG KOSONG!” Arga memundurkan langkahnya, mengambil sikap untuk menjauhi Jiola, dia seakan-akan tidak ingin terlalu dekat dengan wanita asing itu. “Pergilah dari sini! Jangan ganggu aku! Aku sedang memanggang ikan! Perutku sangat lapar! Jika kau terus-terusan di sini, aku tidak bisa menyantapnya! Jadi pergilah dari sini! PERGILAH YANG JAUH!” Jiola menghela napasnya, ia mengedikkan bahu dan menggeleng-gelengkan kepalanya, rambut peraknya terombang-ambing ketika kepalanya bergoyang-goyang, dia pun kembali mengangkat badannya yang tengah berjongkok untuk berdiri tegak seperti sebelumnya. Jiola merasa sudah tidak perlu lagi menjelaskan apa pun pada Arga, karena tidak akan mempan. Sekarang, yang harus dia lakukan adalah harus membuat Arga nyaman berada di dekatnya, setidaknya dia harus mencoba untuk memulai suatu pendekatan sehingga anak itu bisa melihatnya tidak sebagai orang asing melainkan temannya. “Maafkan aku, sepertinya aku mengganggu acara makan siangmu. Silahkan, kau boleh kembali ke tempatmu, tidak perlu takut, aku tidak akan mennganggumu lagi. Aku akan pergi dari sini,” kata Jiola dengan senyuman hangatnya pada Arga sembari mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya yang terletak di pinggangnya. “Tapi ambilah ini, masakanmu akan terasa nikmat jika ditaburkan dengan garam.” Arga mengernyitkan alis ketika matanya melihat sebuah botol mungil berisi bubuk putih yang baru saja dikeluarkan oleh Jiola dari kantung celananya, dia penasaran apa kegunaan dari bubuk putih itu sehingga bisa membuat masakannya jadi enak hanya dengan menaburkannya. “Garam? Apa itu? Apakah itu racun? Apakah kau mau meracuniku?” Tergelak, Jiola sedikit tertawa mendengar omongan polos Arga yang begitu penuh waspada, seolah-olah apa pun yang dilakukan oleh dirinya adalah sebuah kejahatan. Padahal kenyataannya sebaliknya, Jiola sangat mengkhawatirkan dan menyayangi Arga karena dia tahu anak itu telah hidup sendirian dan tinggal di tempat sepi seperti ini bertahun-tahun. “Bukan. Ini bukan racun,” jawab Jiola dengan santai. “Ini adalah garam yang dapat membuat masakanmu jadi terasa asin dan itu bisa menambah kelezatan pada masakanmu. Jika kamu tidak berani mencobanya, maka bisakah kamu izinkan aku untuk memakannya bersamamu? Aku akan menunjukkannya padamu bahwa garam bukanlah racun.” Mendengarnya, Arga terpaku dalam diam, dia bingung harus merespon apa karena di satu sisi dia masih terasa terganggu dengan kehadiran orang asing itu, tapi di sisi lain dia juga penasaran seperti apa rasa dari garam yang disebut-sebut orang itu, mungkinkah itu racun atau benar-benar pelezat makanan? Arga benar-benar kebingungan saat ini. “Baiklah,” Setelah berpikir cukup lama akhirnya Arga memutuskan untuk menerima tawaran itu karena dia sudah sangat penasaran pada benda yang disebut-sebut sebagai garam itu, yang katanya mampu membuat makanan menjadi terasa lezat dari biasanya, meskipun dia masih menjaga jarak dari Jiola karena sikap waspadanya yang belum hilang sepenuhnya. Tapi dibalik semua itu, dia mulai menerima kehadiran Jiola. “A-Aku tidak percaya!” Meski bilang begitu setelah mendengar semua penjelasan yang dikemukakan oleh Jiola, wanita langsing berparas cantik berambut putih perak itu, Arga sebenarnya tercengang dengan semua itu tapi dia masih sedikit mengelaknya, jadi sikapnya masih menunjukkan penolakan. “Aku tidak percaya sedikit pun pada apa yang kau ucapkan! Semuanya hanya omong kosong!” Sungguh, Jiola hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan perlahan sembari menyunggingkan senyuman tipisnya saat melihat reaksi negatif yang Arga tunjukkan padanya setelah menyimak segala yang ia katakan. Jiola tidak kesal apalagi marah, dia malah sebaliknya, merasa menyesal dan sedih melihat anak kecil seperti Arga harus hidup sebatang kara di tempat yang menyerupai hutan seperti ini. Seharusnya  anak-anak seusia Arga bisa hidup dengan nyaman dan menyenangkan di rumah keluarganya, tertawa dan bersenang-senang, menghabiskan waktu dengan orang tuanya serta bermain-main dengan mainan-mainan anak kecil adalah hal yang sepatutnya semua anak-anak punya di masa tersebut. Sedangkan Arga, dia terpaksa harus hidup dan bertahan di tengah hutan seperti ini sendirian dengan usianya yang masih tujuh tahun, tidak ada keluarga, tidak ada mainan, dan tidak ada seorang pun yang bisa dijadikan teman di tempat seperti ini. Jiola sangat tidak tega pada apa yang selama ini Arga alami di tempat yang menyerupai hutan belantara seperti ini, matanya jadi berkaca-kaca, air matanya tampak mau keluar tapi dia usahakan untuk menahannya karena dia tidak mau membuat anak itu salah paham saat melihat dirinya menangis. Sebelum kesedihannya semakin berlanjut, Jiola segera dengan cepat merespon seruan Arga dengan kata-kata yang bernada halus dan lembut. “Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayai perkataanku, aku hanya ingin kamu paham bahwa aku bukanlah orang jahat. Aku datang kemari untuk mengeluarkan dari tempat ini. Aku ingin menyelamatkanmu. Kamu tidak boleh terus tinggal sendirian di tempat seperti ini. Aku akan membawamu ke tempat kamu bisa mendapatkan kebahagiaan, kehangatan, dan juga banyak teman.” “OMONG KOSONG!” Arga memundurkan langkahnya, mengambil sikap untuk menjauhi Jiola, dia seakan-akan tidak ingin terlalu dekat dengan wanita asing itu. “Pergilah dari sini! Jangan ganggu aku! Aku sedang memanggang ikan! Perutku sangat lapar! Jika kau terus-terusan di sini, aku tidak bisa menyantapnya! Jadi pergilah dari sini! PERGILAH YANG JAUH!” Jiola menghela napasnya, ia mengedikkan bahu dan menggeleng-gelengkan kepalanya, rambut peraknya terombang-ambing ketika kepalanya bergoyang-goyang, dia pun kembali mengangkat badannya yang tengah berjongkok untuk berdiri tegak seperti sebelumnya. Jiola merasa sudah tidak perlu lagi menjelaskan apa pun pada Arga, karena tidak akan mempan. Sekarang, yang harus dia lakukan adalah harus membuat Arga nyaman berada di dekatnya, setidaknya dia harus mencoba untuk memulai suatu pendekatan sehingga anak itu bisa melihatnya tidak sebagai orang asing melainkan temannya. “Maafkan aku, sepertinya aku mengganggu acara makan siangmu. Silahkan, kau boleh kembali ke tempatmu, tidak perlu takut, aku tidak akan mennganggumu lagi. Aku akan pergi dari sini,” kata Jiola dengan senyuman hangatnya pada Arga sembari mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya yang terletak di pinggangnya. “Tapi ambilah ini, masakanmu akan terasa nikmat jika ditaburkan dengan garam.” Arga mengernyitkan alis ketika matanya melihat sebuah botol mungil berisi bubuk putih yang baru saja dikeluarkan oleh Jiola dari kantung celananya, dia penasaran apa kegunaan dari bubuk putih itu sehingga bisa membuat masakannya jadi enak hanya dengan menaburkannya. “Garam? Apa itu? Apakah itu racun? Apakah kau mau meracuniku?” Tergelak, Jiola sedikit tertawa mendengar omongan polos Arga yang begitu penuh waspada, seolah-olah apa pun yang dilakukan oleh dirinya adalah sebuah kejahatan. Padahal kenyataannya sebaliknya, Jiola sangat mengkhawatirkan dan menyayangi Arga karena dia tahu anak itu telah hidup sendirian dan tinggal di tempat sepi seperti ini bertahun-tahun. “Bukan. Ini bukan racun,” jawab Jiola dengan santai. “Ini adalah garam yang dapat membuat masakanmu jadi terasa asin dan itu bisa menambah kelezatan pada masakanmu. Jika kamu tidak berani mencobanya, maka bisakah kamu izinkan aku untuk memakannya bersamamu? Aku akan menunjukkannya padamu bahwa garam bukanlah racun.” Mendengarnya, Arga terpaku dalam diam, dia bingung harus merespon apa karena di satu sisi dia masih terasa terganggu dengan kehadiran orang asing itu, tapi di sisi lain dia juga penasaran seperti apa rasa dari garam yang disebut-sebut orang itu, mungkinkah itu racun atau benar-benar pelezat makanan? Arga benar-benar kebingungan saat ini. “Baiklah,” Setelah berpikir cukup lama akhirnya Arga memutuskan untuk menerima tawaran itu karena dia sudah sangat penasaran pada benda yang disebut-sebut sebagai garam itu, yang katanya mampu membuat makanan menjadi terasa lezat dari biasanya, meskipun dia masih menjaga jarak dari Jiola karena sikap waspadanya yang belum hilang sepenuhnya. Tapi dibalik semua itu, dia mulai menerima kehadiran Jiola.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN