My Prince Season 2 - 66

1034 Kata
“Ada di mana aku?” Dengan suara mungilnya khas anak laki-laki berusia tujuh tahun, Arga menunjukkan keheranannya pada situasi yang dihadapinya ini. Apakah Arga sedang berada di dunia ilusi  lainnya? Ataukah dia diculik oleh seseorang untuk dijadikan bahan ekspresimen lainnya? Jika memang iya, itu membuatnya penasaran, sebenarnya mengapa banyak orang ingin menculiknya, apakah Arga punya sesuatu yang berbeda dan terkesan istimewa sehingga orang-orang berlomba-lomba ingin memiliki dirinya ataukah hal-hal aneh lainnya? Menggeleng-gelengkan kepalanya, Arga mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal-hal demikian, sekarang prioritasnya adalah dia ingin tetap hidup tenang seperti dirinya yang dulu, tidak ingin terlibat ke masalah-masalah asing yang seenaknya masuk ke dalam kehidupannya, seperti apa yang pernah dikatakan oleh wanita asing yang mengaku-ngaku sebagai kaka kandungnya tersebut. Arga tidak ingin mengalami perasaan trauma semacam itu lagi, terlalu menyakitkan. Dia ingin hidup tenang dan bahagia, bukan sedih dan menderita. Begitulah yang Arga ingin-inginkan. Menghirup udara segar yang masuk dari jendela yang terbuka, Arga sedikit menyunggingkan senyuman tipisnya sebelum akhirnya sebuah suara langkah kaki menginterupsi ketenangannya dalam menikmati keadaaan. Mengikuti arah suara itu, Arga menggerakan lehernya dan tampaklah sebuah sosok dari seorang perempuan berambut pirang panjang, bertanduk, berkulit putih, dan berekor kelinci yang berjalan masuk ke dalam ruangan yang ditempati oleh Arga, perempuan itu juga mengenakan pakaian hitam ketat dan membawa sebuah nampan berisi segelas s**u hangat dan sepiring biskuit-biskuit renyah. “K-KAU!” Tidak butuh waktu lama untuk Arga berteriak seperti itu saat menyadari bahwa sosok yang memasuki ruangannya tidak lain tidak bukan adalah Jiola, wanita asing yang sebelumnya pernah mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya dan menceritakan kisah malang dari keluarganya. “KENAPA KAU MUNCUL LAGI DI HADAPANKU!” Mendengar dan melihat reaksi dari Arga, bukannya ketakutan atau tersinggung, Jiola malah tersenyum kaget saat mengetahui bahwa adiknya telah bangun dan sadar dari pingsannya. Jiola langsung menyimpan nampan itu di meja dekat jendela dan segera memeluk badan Arga seerat mungkin di atas ranjang. Arga  yang kondisinya sedang marah jadi sedikit terkejut dengan hal itu, dia bingung harus bagaimana saat orang yang dibentaknya malah tiba-tiba memeluknya dengan erat seperti ini. “Syukurlah, kau baik-baik saja!” seru Jiola dengan  terisak-isak di pelukan tubuh Arga, wanita berambut perak itu benar-benar menangis haru di pundak adiknya, membuat Sang Adik juga merasa bersalah karena telah membentak Sang Kakak dengan cukup kasar. Helaian-helaian putih dari rambut Jiola teruntai-untai berantakan di permukaan kasur, saking lebat dan panjangnya. Aroma harum seperti wewangian bunga melati segar tercium jelas di seluruh tubuh Jiola, aroma khasnya  yang cukup manis membuat Arga yang menciumnya jadi sedikit nyaman menghirup wangi-wangian tersebut. Namun, sebelum dia semakin terjatuh ke dalam ‘perangkap’ yang diciptakan oleh Jiola, buru-buru Arga melepaskan pelukan kakaknya di badannya secara paksa kemudian dengan dua tangannya dia mendorong tubuh Sang Kakak untuk menjauh dari dirinya, seraya menampilkan raut muka yang sangat kesal. “Bukankah aku sudah bilang padamu! Jangan mendekatiku lagi! Menjauhlah dariku! Kau bukan kakakku! Kau ini hanya Iblis yang mengaku-ngaku sebagai kakakku!” “Kumohon! Percayalah padaku! Aku ini bukan orang jahat! Aku ini kakakmu! Selama ini aku sudah mencarimu ke mana-mana, menghabiskan bertahun-tahun lamanya hanya untuk mencari keberadaanmu, dan aku senang karena perjuanganku tidak berakhir sia-sia. Aku bahagia karena kamu masih hidup di luar sana.” Kali ini Jiola mengatakannya sembari berlinangan air mata dan sesenggukkan, tangisnya jadi pecah saat mengucapkan kalimat terakhir. “Aku sangat menyayangimu. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain dirimu. Aku tidak ingin kamu sendirian lagi. Aku ingin menemanimu, dan kamu menemaniku, sebagai kakak dan adik yang saling menyayangi. Itulah aku inginkan.” “TAPI ITU BUKAN YANG AKU INGINKAN!” Masih keras kepala, Arga kembali membentak Jiola dengan kasar, suaranya benar-benar membahana seperti anjing yang merongrong ke lawannya. “Jangan pernah berpikir aku senang mendengar bahwa kau mencariku atau semacamnya! Lagipula, aku tidak  menyuruhmu untuk mencariku! Itu kesalahanmu sendiri karena telah membuang-buang waktumu hanya untuk mencari keberadaanku! Aku tidak memintamu melakukannya, jadi jangan salahkan aku! Dan juga, aku sama sekali tidak mengharapkan kedatanganmu, apalagi menyayangimu! Itu sangat mustahil! Berhentilah bersikap seolah-olah kau adalah kakak kandungku, Wanita b******n!” Baru saja Arga bilang begitu, tiba-tiba saja sebuah suara terompet berbunyi sangat kencang di luar rumah, tepatnya di pusat kota, membuat Arga dan juga Jiola terkejut mendengarnya. Perlahan-lahan kelopak matanya membuka, agak berat tapi Arga berusaha membukanya lebar-lebar sebelum akhirnya dia termenung dalam diam karena merasa tubuhnya berbaring di sebuah benda yang empuk, selain itu matanya pun melihat ke atas, sebuah warna putih terpampang di atas sana, ternyata itu hanyalah sebuah langit-langit ruangan, kemudian pandangannya diturunkan sedikit ke bawah, ada tembok batu-bata yang mengelilingi ruangan ini, dan beberapa benda yang sepertinya merupakan tempat menyimpan barang-barang. Ketika pandangannya terus diarahkan ke sekeliling, akhirnya dia melihat sebuah jendela besar di dekat tempat empuk yang ditidurinya. Jendela itu menunjukkan sebuah bangunan-bangunan yang padat dan suara keramaian di luar sana, terik matahari dan kicauan-kicauan burung turut menghiasi keadaan di luar jendela. Arga bingung, sebenarnya dia sedang ada di mana? Jika diingat-ingat lagi, sebelumnya dia itu mengamuk kepada wanita berambut perak yang bernama Jiola, yang mengaku sebagai kakak kandungnya, lalu dia pergi meninggalkan orang itu dengan berlari kencang sampai akhirnya tertubruk sesuatu dan tak sadarkan diri. Tapi mengapa Arga bisa berada di tempat seperti ini? Rumah siapa ini? Berada di mana dia? Apakah di luar sana adalah sebuah kota? Siapa yang membawanya ke sini? Sungguh, Arga tidak ingat apa pun selain berlari dan menabrak sesuatu sampai tubuhnya terjungkal. “Ada di mana aku?” Dengan suara mungilnya khas anak laki-laki berusia tujuh tahun, Arga menunjukkan keheranannya pada situasi yang dihadapinya ini. Apakah Arga sedang berada di dunia ilusi  lainnya? Ataukah dia diculik oleh seseorang untuk dijadikan bahan ekspresimen lainnya? Jika memang iya, itu membuatnya penasaran, sebenarnya mengapa banyak orang ingin menculiknya, apakah Arga punya sesuatu yang berbeda dan terkesan istimewa sehingga orang-orang berlomba-lomba ingin memiliki dirinya ataukah hal-hal aneh lainnya? Menggeleng-gelengkan kepalanya, Arga mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal-hal demikian, sekarang prioritasnya adalah dia ingin tetap hidup tenang seperti dirinya yang dulu, tidak ingin terlibat ke masalah-masalah asing yang seenaknya masuk ke dalam kehidupannya, seperti apa yang pernah dikatakan oleh wanita asing yang mengaku-ngaku sebagai kaka kandungnya tersebut. Arga tidak ingin mengalami perasaan trauma semacam itu lagi, terlalu menyakitkan. Dia ingin hidup tenang dan bahagia, bukan sedih dan menderita. Begitulah yang Arga ingin-inginkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN