Kini, tidak seperti sebelumnya, Arga akhirnya bisa menerima kehadiran Jiola secara perlahan, bahkan sekarang dia sudah cukup dekat karena duduk bersama wanita berambut perak panjang itu di depan ikan-ikan yang dipanggang dikobaran api. Mereka masih berada di tengah hutan belantara, tapi kecanggungan dan ketegangan dari Arga dan Jiola sudah berangsur-angsur menghilang tergantikan dengan obrolan ringan dan gelak tawa. Jiola terlihat senang karena Arga sudah mau menerimanya sebagai teman, tidak lagi menganggapnya sebagai orang asing yang punya niat jahat, tapi ia percaya anak itu masih belum sepenuhnya mempercayainya, pasti masih ada sekian persen di mana Arga menjaga jarak dari dirinya. Tapi itu tidak masalah, setidaknya keadaan sudah lebih baik dari sebelumnya.
“Bagaimana menurutmu? Apakah rasanya enak?” Arga bertanya begitu saat Jiola memakan satu ekor ikan panggangnya di depan dirinya setelah ikan itu ditaburi oleh garam dari botol mungil milik wanita perak tersebut. Kedua mata Arga tampak membulat dengan serius, seperti seseorang yang begitu semangat untuk terjun ke kolam renang. Jiola yang mendengar pertanyaan itu hanya menoleh dan mengedikkan bahu sembari mulutnya mengunyam-unyam ikan itu dengan lahap.
“Kau harus mencobanya juga, setelah itu kau akan mendapatkan jawabannya.” Kata Jiola setelah menelan seluruh ikan panggang yang dipegangnya di tangan kanannya. Sebetulnya Jiola ingin menjawab bahwa rasanya tentu saja nikmat, tapi dia ingin sedikit bermain-main dengan Arga agar anak itu merasa dijahili oleh sikap nakalnya.
“Hey! Tapi kau sebelumnya bilang padaku bahwa kau akan memberitahu rasanya jika kau memakan ikanku dengan garam! Dan sekarang mengapa kau tidak mau memberitahuku bagaimana rasanya! Cepat katakan, apakah rasanya enak atau tidak enak!? Bukankah itu sangat mudah!?” pekik Arga dengan beranjak bangun dari posisi duduknya saking kesalnya merasa dicurangi oleh tindakan Jiola yang tidak bisa diajak bekerja sama.
Terkikik-kikik, Jiola tidak tahan melihat tingkah Arga yang begitu menggemaskan saat marah di hadapannya, itu sangat lucu melihat anak laki-laki berusia tujuh tahun meneriakimu hanya karena merasa dicurangi. Belum lagi ekspresi Arga yang cukup imut dengan mengembungkan dua pipinya jadi tampak seperti balon dan bibirnya yang sengaja dicemberutkan, menambah kesan lucu di mukanya sehingga Jiola jadi tertawa terbahak-bahak memandanginya.
“Hey! Kenapa kau malah tertawa! Jawab pertanyaanku! Kau tidak boleh tertawa!” Amarah Arga jadi semakin meningkat saat melihat Jiola menertawakannya dengan santai tanpa memikirkan perasaannya yang begitu penasaran pada rasa dari garam yang ditaburkan ke ikan panggang. Sungguh, Arga tidak terima dirinya dipermainkan seperti itu, dia tidak mau diperlakukan seperti anak kecil oleh Jiola, mau tidak mau dia harus mencari cara agar wanita itu tidak lagi menertawakannya dan bisa menaruh rasa hormat pada dirinya.
Alhasil, Arga mendapatkan ide di mana dia bisa membuat Jiola berhenti tertawa, dan ia segera melancarkan pemikirannya secepat mungkin. Tindakan yang Arga lakukan tidak lain tidak bukan adalah : merebut botol mungil berisi garam dari tangan kanan Jiola lalu segera menaburkan butiran-butiran garam putih itu ke permukaan ikan yang akan disantapnya, kemudian setelah dirasa cukup, tanpa menunggu lama lagi, Arga langsung memasukkan ikan itu ke mulutnya dan memakannya secara perlahan sembari menikmati rasa asin dan gurih dari apa yang dimakannya tersebut.
Melihat kejadian itu telah membuat tawa Jiola jadi terhenti dan dia dengan takjub tersenyum tipis melihat Arga mau memakan ikan yang ditaburi garam dengan keputusannya sendiri tanpa harus dipaksa-paksa dahulu oleh wanita itu. Artinya, rencana Jiola berjalan dengan sukses karena dari awal dia menertawakan Arga bukan hanya sebatas ingin mempermainkan anak itu saja, tapi dia juga ingin membuat bocah itu bersedia memakannya tanpa harus dibujuk terlebih dahulu olehnya. Dan lihatlah, kini Arga telah masuk ke dalam jebakan yang direncanakan Jiola.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Jiola saat Arga telah menelan kunyahan terakhir dari ikan yang dilahapnya dengan butiran-butiran garam dari dalam botol miliknya. Sungguh, Jiola sangat penasaran pada pendapat Arga mengenai rasa dari makanan yang baru dilahapnya itu. Apa pun itu, Jiola tidak begitu mengharapkan respon positif, tapi dia yakin segala yang Arga ucapkan pasti akan sangat menggemaskan mengingat anak itu punya gaya yang cukup lucu ketika sedang mengungkapkan perasaannya.
“Aku tidak yakin, tapi menurutku rasanya tidak begitu buruk.” Jawab Arga dengan memasang muka yang cukup polos, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu tapi ditahan oleh perasaan gengsinya sehingga dia mengemukakan pendapat yang tidak begitu jujur. Tentu saja Jiola paham pada perasaan Arga yang sebenarnya sehingga dia bisa tahu kalau sebetulnya anak itu merasa kenikmatan dengan garam yang ditaburkan ke permukaan ikan itu, tapi dia terlalu malu untuk mengatakan hal yang sejujurnya.
“Baguslah, setidaknya kamu tidak mati karena keracunan, bukan?” sindir Jiola dengan sengaja menyinggung kejadian sebelumnya yang dirinya dikira akan meracuni Arga dengan sebuah garam di dalam makanannya sehingga terjadilah ketegangan di antara mereka, tapi sekarang tampaknya itu sudah berakhir.
Mendengar itu, pipi-pipi Arga jadi memerah, dia tampak malu saat Jiola menyinggung kejadian itu, dia jadi merasa bersalah karena telah berprasangka buruk pada wanita itu padahal sebenarnya Jiola bukan orang yang jahat. Sementara Jiola terkekeh-kekeh menyaksikan raut muka Arga yang begitu menggemaskan saat mengingat kesalahannya sendiri.
“Sekarang, karena aku sudah menemanimu makan, aku akan pergi.” Ucap Jiola dengan menghela napasnya sembari mengangkat badannya untukk berdiri dari posisi duduknya untuk segera pergi dari tempat itu, tidak ingin lagi mengganggu ketenangan Arga yang sepertinya ingin sendirian. “Maaf karena aku telah mengusikmu, aku berjanji tidak akan datang kemari lagi. Selamat tinggal.”
Kini, tidak seperti sebelumnya, Arga akhirnya bisa menerima kehadiran Jiola secara perlahan, bahkan sekarang dia sudah cukup dekat karena duduk bersama wanita berambut perak panjang itu di depan ikan-ikan yang dipanggang dikobaran api. Mereka masih berada di tengah hutan belantara, tapi kecanggungan dan ketegangan dari Arga dan Jiola sudah berangsur-angsur menghilang tergantikan dengan obrolan ringan dan gelak tawa. Jiola terlihat senang karena Arga sudah mau menerimanya sebagai teman, tidak lagi menganggapnya sebagai orang asing yang punya niat jahat, tapi ia percaya anak itu masih belum sepenuhnya mempercayainya, pasti masih ada sekian persen di mana Arga menjaga jarak dari dirinya. Tapi itu tidak masalah, setidaknya keadaan sudah lebih baik dari sebelumnya.
“Bagaimana menurutmu? Apakah rasanya enak?” Arga bertanya begitu saat Jiola memakan satu ekor ikan panggangnya di depan dirinya setelah ikan itu ditaburi oleh garam dari botol mungil milik wanita perak tersebut. Kedua mata Arga tampak membulat dengan serius, seperti seseorang yang begitu semangat untuk terjun ke kolam renang. Jiola yang mendengar pertanyaan itu hanya menoleh dan mengedikkan bahu sembari mulutnya mengunyam-unyam ikan itu dengan lahap.
“Kau harus mencobanya juga, setelah itu kau akan mendapatkan jawabannya.” Kata Jiola setelah menelan seluruh ikan panggang yang dipegangnya di tangan kanannya. Sebetulnya Jiola ingin menjawab bahwa rasanya tentu saja nikmat, tapi dia ingin sedikit bermain-main dengan Arga agar anak itu merasa dijahili oleh sikap nakalnya.
“Hey! Tapi kau sebelumnya bilang padaku bahwa kau akan memberitahu rasanya jika kau memakan ikanku dengan garam! Dan sekarang mengapa kau tidak mau memberitahuku bagaimana rasanya! Cepat katakan, apakah rasanya enak atau tidak enak!? Bukankah itu sangat mudah!?” pekik Arga dengan beranjak bangun dari posisi duduknya saking kesalnya merasa dicurangi oleh tindakan Jiola yang tidak bisa diajak bekerja sama.
Terkikik-kikik, Jiola tidak tahan melihat tingkah Arga yang begitu menggemaskan saat marah di hadapannya, itu sangat lucu melihat anak laki-laki berusia tujuh tahun meneriakimu hanya karena merasa dicurangi. Belum lagi ekspresi Arga yang cukup imut dengan mengembungkan dua pipinya jadi tampak seperti balon dan bibirnya yang sengaja dicemberutkan, menambah kesan lucu di mukanya sehingga Jiola jadi tertawa terbahak-bahak memandanginya.
“Hey! Kenapa kau malah tertawa! Jawab pertanyaanku! Kau tidak boleh tertawa!” Amarah Arga jadi semakin meningkat saat melihat Jiola menertawakannya dengan santai tanpa memikirkan perasaannya yang begitu penasaran pada rasa dari garam yang ditaburkan ke ikan panggang. Sungguh, Arga tidak terima dirinya dipermainkan seperti itu, dia tidak mau diperlakukan seperti anak kecil oleh Jiola, mau tidak mau dia harus mencari cara agar wanita itu tidak lagi menertawakannya dan bisa menaruh rasa hormat pada dirinya.
Alhasil, Arga mendapatkan ide di mana dia bisa membuat Jiola berhenti tertawa, dan ia segera melancarkan pemikirannya secepat mungkin. Tindakan yang Arga lakukan tidak lain tidak bukan adalah : merebut botol mungil berisi garam dari tangan kanan Jiola lalu segera menaburkan butiran-butiran garam putih itu ke permukaan ikan yang akan disantapnya, kemudian setelah dirasa cukup, tanpa menunggu lama lagi, Arga langsung memasukkan ikan itu ke mulutnya dan memakannya secara perlahan sembari menikmati rasa asin dan gurih dari apa yang dimakannya tersebut.
Melihat kejadian itu telah membuat tawa Jiola jadi terhenti dan dia dengan takjub tersenyum tipis melihat Arga mau memakan ikan yang ditaburi garam dengan keputusannya sendiri tanpa harus dipaksa-paksa dahulu oleh wanita itu. Artinya, rencana Jiola berjalan dengan sukses karena dari awal dia menertawakan Arga bukan hanya sebatas ingin mempermainkan anak itu saja, tapi dia juga ingin membuat bocah itu bersedia memakannya tanpa harus dibujuk terlebih dahulu olehnya. Dan lihatlah, kini Arga telah masuk ke dalam jebakan yang direncanakan Jiola.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Jiola saat Arga telah menelan kunyahan terakhir dari ikan yang dilahapnya dengan butiran-butiran garam dari dalam botol miliknya. Sungguh, Jiola sangat penasaran pada pendapat Arga mengenai rasa dari makanan yang baru dilahapnya itu. Apa pun itu, Jiola tidak begitu mengharapkan respon positif, tapi dia yakin segala yang Arga ucapkan pasti akan sangat menggemaskan mengingat anak itu punya gaya yang cukup lucu ketika sedang mengungkapkan perasaannya.
“Aku tidak yakin, tapi menurutku rasanya tidak begitu buruk.” Jawab Arga dengan memasang muka yang cukup polos, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu tapi ditahan oleh perasaan gengsinya sehingga dia mengemukakan pendapat yang tidak begitu jujur. Tentu saja Jiola paham pada perasaan Arga yang sebenarnya sehingga dia bisa tahu kalau sebetulnya anak itu merasa kenikmatan dengan garam yang ditaburkan ke permukaan ikan itu, tapi dia terlalu malu untuk mengatakan hal yang sejujurnya.
“Baguslah, setidaknya kamu tidak mati karena keracunan, bukan?” sindir Jiola dengan sengaja menyinggung kejadian sebelumnya yang dirinya dikira akan meracuni Arga dengan sebuah garam di dalam makanannya sehingga terjadilah ketegangan di antara mereka, tapi sekarang tampaknya itu sudah berakhir.
Ketika Jiola hendak melangkahkan kakinya untuk pergi meninggalkan Arga di hutan itu, anak itu mendadak mengepal dua tangannya dan menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya berteriak sekencang mungkin, membuat wanita berambut perak dan bertubuh langsing itu terhenti dalam memulai langkah kakinya.
“JANGAN TINGGALKAN AKU!” teriak Arga dengan suaranya yang membahana, menciptakan sebuah gema yang cukup nyaring di udara sekitar hutan sehingga suaranya jadi terdengar seperti memantul-mantul. Ekspresi Arga saat mengatakan itu cukup serius karena matanya membulat besar dan bibirnya bergetar-getar saking groginya saat berteriak demikian, karena sejatinya ia sedang melawan rasa gengsinya.
Tentu saja, Jiola begitu kaget ketika mendengar teriakan Arga yang tidak ingin ditinggalkan oleh dirinya, padahal sebelumnya anak itu ingin dirinya segera pergi dari tempat itu karena kehadirannya telah mengganggu kesendirian Arga. Namun sekarang, malah kebalikannya, Arga sangat tidak ingin ditinggalkan oleh Jiola, mungkinkah ia sudah muak harus hidup sendirian di hutan sehingga saat dia menemukan seorang teman, dia jadi merasa tenang dan nyaman. Itu wajar karena manusia pasti akan rindu saat orang yang dekat dengan kita tiba-tiba pergi meninggalkan kita, dan secara tidak langsung, Arga telah menganggap bahwa Jiola bukan lagi orang asing di matanya, melainkan orang yang sudah cukup dekat dengannya.
Sebetulnya Jiola senang dan bahkan kegirangan saat Arga berteriak demikian, tapi sekarang dia tidak boleh terlalu jujur dalam menunjukkan perasaannya, seperti biasanya dia ingin sedikit mempermainkan emosi anak itu agar bisa mendapatkan reaksi-reaksi yang menggemaskan. Dengan menahan senyumannya, Jiola bersikap seolah-olah dia harus pergi meninggalkan tempat itu.
“Eh? Bukankah sebelumnya kamu menyuruhku untuk pergi meninggalkan tempat ini karena kehadiranku mengganggumu? Apa yang terjadi sampai kamu jadi berubah begitu?” tanya Jiola dengan memirinkan kepalanya ke kanan, berlagak seolah-olah kebingungan dengan teriakan yang barusan Arga lakukan padanya. Sungguh, Jiola ingin sekali tertawa sekarang, tapi dia harus tetap mempertahankan sandiwaranya sebelum Arga mengetahuinya.
Dengan menundukkan kepalanaya dan bersikap malu-malu, Arga mulai menjelaskan kejujurannya pada Jiola dengan suara yang rendah karena dia tidak ingin terlalu keras dalam mengungkapkannya. “Jangan membuatku mengulangi perkataanku lagi, kau harus bertanggung jawab karena telah membuatku merasa nyaman. Akibat kehadiranmu, aku jadi sulit untuk bertahan di tempat ini sendirian, padahal sebelumnya aku tidak mempermasalahkannya sama sekali, bahkan sudah sangat terbiasa. Tapi karena kau datang, aku jadi merasa takut untuk sendirian, jadi kau harus bertanggung jawab, Jiola.”
Sudah tak tahan lagi, akhirnya Jiola menunjukkan tawanya yang menggelegar di depan Arga, membuat anak itu mengangkat kembali dagunya dan tercengang menyaksikan reaksi dari wanita berambut perak di depannya. Apa ini? Mengapa Jiola menertawakannya? Apakah sejak tadi wanita itu mempermainkan perasaan Arga? Arga benar-benar kaget dan kebingungan melihat hal tersebut, dia tidak tahu harus merespon apa, tapi hatinya sedang sangat bimbang.
“K-Kenapa kau tertawa!?” tanya Arga dengan sedikit menyaringkan suaranya agar didengar dengan jelas oleh Jiola, dia benar-benar tidak mengerti apa yang membuat wanita itu tertawa terbahak-bahak di depannya, padahal ia sama sekali tidak sedang melawak atau pun mengeluarkan sebuah lelucon, malah sebaliknya Arga sedang sangat serius dalam mengungkapkan perasaannya pada wanita berambut perak itu.
“Maaf, aku tidak bisa menahannya lagi, aku hanya sedang mengetesmu saja untuk melihat sejauh mana kamu merasa nyaman denganku, dan ternyata aku sudah membuatmu nyaman sehingga kamu tidak ingin ditinggalkan sendirian di tempat ini. Ditambah muka dan ekspresimu saat memintaku untuk tetap tinggal, benar-benar menggemaskan, aku jadi tidak bisa lagi mempertahankan sandiwaraku. Maafkan aku.” Jelas Jiola dengan masih sedikit terkekeh-kekeh.
“Jadi kau mempermainkanku?” Dua alis langsung ditekan setelah mendengar penjelasan dari Jiola, dia sedikit marah karena wanita itu ternyata hanya bersandiwara dan mempermainkan dirinya. Itu sangat tidak adil, padahal Arga sudah melawan dan membuang rasa gengsinya hanya untuk mengungkapkan kejujurannya, tapi balasan yang dia terima malah seperti itu.
“Tidak-tidak, aku tidak mempermainkanmu, aku hanya ingin memastikan saja. Sebetulnya aku tidak ingin meninggalkanmu, aku ingin membawamu keluar dari tempat ini menuju tempat yang layak kamu tinggali dan kita bisa hidup dengan nyaman dan aman di tempat tersebut. Tapi mengingat sikapmu yang sebelumnya, aku jadi tidak bisa memaksamu, jadi aku memutuskan untuk berpura-pura akan meninggalkanmu, hanya untuk melihat reaksimu saja. Begitulah, maafkan aku, ya.”
Akhirnya Arga hanya bisa terdiam setelah mendengar rincian yang lebih jelas, ternyata begitu, ya. Arga hanya menghembuskan napasnya lewat hidung dan menggaruk-garuk pundaknya yang terasa gatal sebelum akhirnya, berkata, “Kalau begitu, aku mengizinkanmu untuk membawaku ke tempat yang kau bilang nyaman dan aman itu, tapi aku tidak mau kau mempermainkanku!”
Tersenyum bahagia, Jiola langsung berlari ke dekat Arga dan memeluk anak itu dengan erat saking tidak bisa menahan rasa senangnya atas jawaban yang barusan anak itu katakan. Akhirnya keinginannya terkabulkan, Arga dengan keinginannya sendiri, mau diajak pergi dari hutan buatan itu menuju tempat yang layak untuk para manusia hidup. Sungguh, Jiola begitu bahagia, bahkan sangat bahagia.
Pelukan yang dilakukan oleh Jiola pada badan Arga sangat kuat sehingga anak itu sedikit tidak bisa bernapas, tapi selebihnya, Arga juga bahagia karena akhirnya dia punya kesempatan untuk bisa bertemu makhluk yang sama sepertinya dan bahkan akan meninggalkan hidup kesendiriannya menuju masa depan yang lebih menyenangkan. Sejujurnya Arga tidak begitu tahu bagaimana tempat yang akan dia kunjungi, tapi yang jelas dia sudah sangat tidak sabar untuk melihatnya.
Ketika Jiola hendak melangkahkan kakinya untuk pergi meninggalkan Arga di hutan itu, anak itu mendadak mengepal dua tangannya dan menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya berteriak sekencang mungkin, membuat wanita berambut perak dan bertubuh langsing itu terhenti dalam memulai langkah kakinya.
“JANGAN TINGGALKAN AKU!” teriak Arga dengan suaranya yang membahana, menciptakan sebuah gema yang cukup nyaring di udara sekitar hutan sehingga suaranya jadi terdengar seperti memantul-mantul. Ekspresi Arga saat mengatakan itu cukup serius karena matanya membulat besar dan bibirnya bergetar-getar saking groginya saat berteriak demikian, karena sejatinya ia sedang melawan rasa gengsinya.
Tentu saja, Jiola begitu kaget ketika mendengar teriakan Arga yang tidak ingin ditinggalkan oleh dirinya, padahal sebelumnya anak itu ingin dirinya segera pergi dari tempat itu karena kehadirannya telah mengganggu kesendirian Arga. Namun sekarang, malah kebalikannya, Arga sangat tidak ingin ditinggalkan oleh Jiola, mungkinkah ia sudah muak harus hidup sendirian di hutan sehingga saat dia menemukan seorang teman, dia jadi merasa tenang dan nyaman. Itu wajar karena manusia pasti akan rindu saat orang yang dekat dengan kita tiba-tiba pergi meninggalkan kita, dan secara tidak langsung, Arga telah menganggap bahwa Jiola bukan lagi orang asing di matanya, melainkan orang yang sudah cukup dekat dengannya.
Sebetulnya Jiola senang dan bahkan kegirangan saat Arga berteriak demikian, tapi sekarang dia tidak boleh terlalu jujur dalam menunjukkan perasaannya, seperti biasanya dia ingin sedikit mempermainkan emosi anak itu agar bisa mendapatkan reaksi-reaksi yang menggemaskan. Dengan menahan senyumannya, Jiola bersikap seolah-olah dia harus pergi meninggalkan tempat itu.
“Eh? Bukankah sebelumnya kamu menyuruhku untuk pergi meninggalkan tempat ini karena kehadiranku mengganggumu? Apa yang terjadi sampai kamu jadi berubah begitu?” tanya Jiola dengan memirinkan kepalanya ke kanan, berlagak seolah-olah kebingungan dengan teriakan yang barusan Arga lakukan padanya. Sungguh, Jiola ingin sekali tertawa sekarang, tapi dia harus tetap mempertahankan sandiwaranya sebelum Arga mengetahuinya.
Dengan menundukkan kepalanaya dan bersikap malu-malu, Arga mulai menjelaskan kejujurannya pada Jiola dengan suara yang rendah karena dia tidak ingin terlalu keras dalam mengungkapkannya. “Jangan membuatku mengulangi perkataanku lagi, kau harus bertanggung jawab karena telah membuatku merasa nyaman. Akibat kehadiranmu, aku jadi sulit untuk bertahan di tempat ini sendirian, padahal sebelumnya aku tidak mempermasalahkannya sama sekali, bahkan sudah sangat terbiasa. Tapi karena kau datang, aku jadi merasa takut untuk sendirian, jadi kau harus bertanggung jawab, Jiola.”
Sudah tak tahan lagi, akhirnya Jiola menunjukkan tawanya yang menggelegar di depan Arga, membuat anak itu mengangkat kembali dagunya dan tercengang menyaksikan reaksi dari wanita berambut perak di depannya. Apa ini? Mengapa Jiola menertawakannya? Apakah sejak tadi wanita itu mempermainkan perasaan Arga? Arga benar-benar kaget dan kebingungan melihat hal tersebut, dia tidak tahu harus merespon apa, tapi hatinya sedang sangat bimbang.
“K-Kenapa kau tertawa!?” tanya Arga dengan sedikit menyaringkan suaranya agar didengar dengan jelas oleh Jiola, dia benar-benar tidak mengerti apa yang membuat wanita itu tertawa terbahak-bahak di depannya, padahal ia sama sekali tidak sedang melawak atau pun mengeluarkan sebuah lelucon, malah sebaliknya Arga sedang sangat serius dalam mengungkapkan perasaannya pada wanita berambut perak itu.