Namun, apa pun yang Jiola katakan sama sekali tidak berpengaruh sedikit pun pada Arga sebab anak itu tidak mau mendengarkan nasihat-nasihat itu, dia tetap bersikeras ingin pergi ke lokasi tempat pengeksekusian bagaimana pun caranya, bahkan jika itu harus menggunakan kekerasan pun, tampaknya dia bersedia melakukannya, meskipun orang yang dia hadapi saat ini adalah kakaknya sendiri, atau lebih tepatnya perempuan tinggi berambut perak panjang yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya, begitulah yang dipikirkannya tentang Jiola. Langit sudah sangat menghitam, lampu-lampu di setiap bangunan kota pun mulai dinyalakan satu-persatu, sementara Arga dan Jiola masih saja sibuk di dalam sebuah gang sempit, mengurusi perseturuannya yang tak kunjung selesai.
“Menyingkirlah sekarang atau kau akan kubuat tidak bisa berdiri lagi!” ancam Arga dengan mengepalkan dua tangannya dan sedikit membungkukkan badannya, juga melebarkan dua kakinya, tampak seperti seorang petinju yang bersiap melancarkan serangannya. Mendengar dan melihat tingkah adiknya, Jiola menggelengkan kepalanya dan tetap saja berdiri di depan adiknya, berusaha untuk membuat adiknya menyerah untuk pergi ke tengah kota, kembali terlibat ke dalam kerusuhan sebelumnya.
“Maafkan aku, tapi aku tidak bisa! Aku tidak peduli kau mau menganggapku orang asing atau apa pun terserah, tapi yang jelas, aku masih menganggapmu sebagai adik kesayanganku, dan aku tidak mengizinkanmu untuk kembali ke sana! Kamu harus tetap di sini bersamaku, di tempat yang aman!” seru Jiola yang juga tidak kalah nyaring dari Arga, menunjukkan keseriusannya dalam berbicara yang artinya perempuan berambut perak panjang pun tidak main-main dalam mengatakannya. Arga tentu saja kesal mendengarnya, dia tidak suka dikekang seperti ini, rasanya menyebalkan. Dia yang biasanya bebas bepergian ke mana-mana saat masih tinggal di hutan, kini harus merasa diatur-atur hanya untuk bepergian. Itu benar-benar menyebalkan.
“Kalau begitu, maka tidak ada cara lain selain membuatmu tidak bisa bergerak lagi! Jangan remehkan aku! Meskipun aku hanyalah anak-anak berusia 7 tahun, tapi tenagaku tidak jauh berbeda dengan orang-orang dewasa!” Setelah berteriak begitu, Arga langsung berlari kencang menuju tempat Jiola berdiri tegap, sembari membawa tinjuan tangannya untuk didaratkan ke tubuh perempuan berambut perak panjang itu, berniat ingin menghancurkan salah satu badan perempuan itu agar tidak bisa bergerak lagi untuk menghalang-halanginya.
Namun sayangnya, Jiola tidak selemah itu, karena saat jarak Arga sudah semakin dekat, perempuan itu langsung melompat dan menerjang kepala adiknya dengan dua pahanya yang membuat anak itu terjungkir ke belakang, jatuh ke permukaan menabrak tanah dengan hantaman yang cukup keras. Sungguh, Arga terpaku dengan mata terbelalak saat sadar kalau saat ini dia telah terbanting ke tanah oleh terjangan dua kaki kakaknya yang kini sedang berdiri tepat di atasnya. Rambut perak panjangnya menari-nari terhembus angin, Jiola tersenyum tipis sebelum akhirnya menundukkan kepalanya untuk memandangi muka adiknya yang ada sedang berbaring di bawah pahanya.
“Aku melakukan ini bukan untuk membela diri atau pun melukaimu, aku melakukan ini karena aku menyayangimu. Aku tahu kamu punya tenaga yang besar, tapi kamu tidak boleh menggunakan tenaga hebatmu untuk hal-hal seperti ituu, apalagi berhendak untuk menyerang kakakmu sendiri, itu tidak baik. Itulah kenapa, aku terpaksa melakukan ini, semata-mata hanya ingin menyadarkanmu bahwa kamu harus bersikap baik pada kakakmu sendiri, jika tidak kamu akan mendapatkan teguran dari tindakanmu sendiri, dan ini juga termasuk ke dalam sebuah teguran pertama.” Jelas Jiola dengan menyunggingkan senyuman tipis pada Arga, seperti seorang psikopat yang sedang cengengesan melihat mangsanya tengah lemah di depan matanya.
Arga benar-benar tidak percaya hal ini bisa terjadi, padahal sebelumnya Jiola terlihat lemah dan sangat cengeng, tapi kenapa sekarang dia terlihat begitu kuat. Ini sangat aneh, tidak masuk akal, dan tentu saja menyebalkan. Karena hal ini, Arga jadi semakin sulit untuk pergi dari sini, mengingat himpitan dua kaki kakaknya cukup keras bahkan sampai ia hampir kehabisan napas. Entah apa yang ada di pikiran Jiola sampai tega melakukan hal sekejam ini pada adiknya sendiri, mengingat sebelumnya dia pernah mengatakan bahwa ia tidak ingin melukai adiknya. Tapi melakukan hal seperti itu bukankah tidak jauh berbeda dengan melukai adiknya sendiri?
Bukankah berbahaya menerjang kepala adiknya dengan dua kaki bahkan sampai anak itu terbanting ke tanah dengan hantaman yang cukup keras, bagaimana kalau tulang belakang kepala Sang Adik cedera karena terbentur permukaan tanah? Itu sangat membahayakan, bukan? Sungguh, terkadang perilaku Jiola pun terkesan terbalik dan berlawanan dengan apa yang dia selalu katakan. Tapi pada akhirnya, tujuan Jiola melakukan itu memang bukan untuk melukai adik kesayangannya, melainkan untuk melindungi Sang Adik agar tidak terlibat ke dalam sebuah masalah yang besar di tengah kota Vanterlock.
“Singkirkan kaki-kakimu dariku! Biarkan aku berdiri! Kau membuatku tidak bisa bergerak, Jiola!” teriak Arga dengan sangat kesal, dia benar-benar muak pada perempuan berambut perak itu, selain sering mengaku-ngaku sebagai kakaknya, dia juga bersikap sangat posesif dan menyebalkan, membuat anak itu tidak bisa bebas.
Kini, Arga dan Jiola tengah saling berhadapan di sebuah gang sempit di antara himpitan dua bangunan tinggi yang ada di dekat pusat kota, mereka berdua sedang berdebat dan sedikit bertengkar mengenai suatu hal yang intinya Sang Kakak tidak ingin adiknya terlibat ke dalam masalah besar, sementara Sang Adik berupaya untuk menghindari kakaknya yang terus-terusan menghalangi jalannya. Tampaknya perseteruan antara kakak dan adik masih belum usai juga, malah sebaliknya suasananya jadi makin panas dari sebelumnya, apalagi melihat Arga yang kini mulai mempersiapkan kuda-kudanya seperti orang yang akan melancarkan pukulan kepada lawannya, sementara Jiola terlihat tidak ingin berkelahi dengan adiknya dan terus berusaha menenangkan adiknya dengan berbagai perkataan-perkataan dan nasihat-nasihat lembut.
Namun, apa pun yang Jiola katakan sama sekali tidak berpengaruh sedikit pun pada Arga sebab anak itu tidak mau mendengarkan nasihat-nasihat itu, dia tetap bersikeras ingin pergi ke lokasi tempat pengeksekusian bagaimana pun caranya, bahkan jika itu harus menggunakan kekerasan pun, tampaknya dia bersedia melakukannya, meskipun orang yang dia hadapi saat ini adalah kakaknya sendiri, atau lebih tepatnya perempuan tinggi berambut perak panjang yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya, begitulah yang dipikirkannya tentang Jiola. Langit sudah sangat menghitam, lampu-lampu di setiap bangunan kota pun mulai dinyalakan satu-persatu, sementara Arga dan Jiola masih saja sibuk di dalam sebuah gang sempit, mengurusi perseturuannya yang tak kunjung selesai.
“Menyingkirlah sekarang atau kau akan kubuat tidak bisa berdiri lagi!” ancam Arga dengan mengepalkan dua tangannya dan sedikit membungkukkan badannya, juga melebarkan dua kakinya, tampak seperti seorang petinju yang bersiap melancarkan serangannya. Mendengar dan melihat tingkah adiknya, Jiola menggelengkan kepalanya dan tetap saja berdiri di depan adiknya, berusaha untuk membuat adiknya menyerah untuk pergi ke tengah kota, kembali terlibat ke dalam kerusuhan sebelumnya.
“Maafkan aku, tapi aku tidak bisa! Aku tidak peduli kau mau menganggapku orang asing atau apa pun terserah, tapi yang jelas, aku masih menganggapmu sebagai adik kesayanganku, dan aku tidak mengizinkanmu untuk kembali ke sana! Kamu harus tetap di sini bersamaku, di tempat yang aman!” seru Jiola yang juga tidak kalah nyaring dari Arga, menunjukkan keseriusannya dalam berbicara yang artinya perempuan berambut perak panjang pun tidak main-main dalam mengatakannya. Arga tentu saja kesal mendengarnya, dia tidak suka dikekang seperti ini, rasanya menyebalkan. Dia yang biasanya bebas bepergian ke mana-mana saat masih tinggal di hutan, kini harus merasa diatur-atur hanya untuk bepergian. Itu benar-benar menyebalkan.
“Kalau begitu, maka tidak ada cara lain selain membuatmu tidak bisa bergerak lagi! Jangan remehkan aku! Meskipun aku hanyalah anak-anak berusia 7 tahun, tapi tenagaku tidak jauh berbeda dengan orang-orang dewasa!” Setelah berteriak begitu, Arga langsung berlari kencang menuju tempat Jiola berdiri tegap, sembari membawa tinjuan tangannya untuk didaratkan ke tubuh perempuan berambut perak panjang itu, berniat ingin menghancurkan salah satu badan perempuan itu agar tidak bisa bergerak lagi untuk menghalang-halanginya.
Namun sayangnya, Jiola tidak selemah itu, karena saat jarak Arga sudah semakin dekat, perempuan itu langsung melompat dan menerjang kepala adiknya dengan dua pahanya yang membuat anak itu terjungkir ke belakang, jatuh ke permukaan menabrak tanah dengan hantaman yang cukup keras. Sungguh, Arga terpaku dengan mata terbelalak saat sadar kalau saat ini dia telah terbanting ke tanah oleh terjangan dua kaki kakaknya yang kini sedang berdiri tepat di atasnya. Rambut perak panjangnya menari-nari terhembus angin, Jiola tersenyum tipis sebelum akhirnya menundukkan kepalanya untuk memandangi muka adiknya yang ada sedang berbaring di bawah pahanya.
“Aku melakukan ini bukan untuk membela diri atau pun melukaimu, aku melakukan ini karena aku menyayangimu. Aku tahu kamu punya tenaga yang besar, tapi kamu tidak boleh menggunakan tenaga hebatmu untuk hal-hal seperti ituu, apalagi berhendak untuk menyerang kakakmu sendiri, itu tidak baik. Itulah kenapa, aku terpaksa melakukan ini, semata-mata hanya ingin menyadarkanmu bahwa kamu harus bersikap baik pada kakakmu sendiri, jika tidak kamu akan mendapatkan teguran dari tindakanmu sendiri, dan ini juga termasuk ke dalam sebuah teguran pertama.” Jelas Jiola dengan menyunggingkan senyuman tipis pada Arga, seperti seorang psikopat yang sedang cengengesan melihat mangsanya tengah lemah di depan matanya.
Arga benar-benar tidak percaya hal ini bisa terjadi, padahal sebelumnya Jiola terlihat lemah dan sangat cengeng, tapi kenapa sekarang dia terlihat begitu kuat. Ini sangat aneh, tidak masuk akal, dan tentu saja menyebalkan. Karena hal ini, Arga jadi semakin sulit untuk pergi dari sini, mengingat himpitan dua kaki kakaknya cukup keras bahkan sampai ia hampir kehabisan napas. Entah apa yang ada di pikiran Jiola sampai tega melakukan hal sekejam ini pada adiknya sendiri, mengingat sebelumnya dia pernah mengatakan bahwa ia tidak ingin melukai adiknya. Tapi melakukan hal seperti itu bukankah tidak jauh berbeda dengan melukai adiknya sendiri?