Ketika Arga dan Jiola sedang saling berseru untuk memahami perasaan masing-masing, sebuah suara terompet yang melengking di luar ruangan, tepatnya di pusat kota membuat perdebatan di antara mereka berdua jadi terhenti dalam seketika, Arga mau pun Jiola secara refleks menoleh ke arah jendela dengan raut muka yang terkejut oleh lengkingan tersebut. Terutama Arga yang tidak mengerti apa alasan dari munculnya suara lengkingan terompet yang super kencang itu sampai suaranya sampai terdengar hingga ke sini, bahkan ia juga bisa mendengar banyak sekali langkah kaki orang-orang yang berlarian dan berhamburan menuju ke arah yang sama, seperti gerombolan orang yang terburu-buru ingin menyaksikan sesuatu yang seru.
Sebenarnya ada apa itu? Sungguh, Arga tidak paham terhadap lengkingan terompet itu, pasti ada alasan yang kuat sampai seseorang meniup sebuah terompet sekencang itu juga membuat banyak orang lari terbirit-b***t mendatangi sumber suara. Mungkinkah sesuatu yang menarik akan muncul di sumber suara terompet tersebut, atau hanya hal-hal sepele yang tidak begitu penting? Semakin memikirkannya membuat Arga jadi semakin pusing, itulah kenapa dia pun memutar kembali lehernya ke depan untuk melihat ekspresi wajah dari wanita berambut perak yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya itu dan betapa kagetnya saat sadar bahwa muka Jiola tampak begitu takut setelah mendengar suara terompet tersebut, membuat Arga jadi bertanya-tanya pada hal itu.
“K-Kenapa dengan wajahmu? Kau terlihat ketakutan? Sebenarnya apa arti dari suara terompet itu? Mengapa banyak orang yang berlarian menuju suatu tempat? Dan kota apa ini?” Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Arga terdengar sedikit gemetar dan kaku, karena dia merasa pertanyaan yang diucapkannya agak sedikit berat untuk dijawab oleh Jiola. Tapi itu malah membuat Arga semakin penasaran terhadap jawaban-jawabannya, pasti ada alasan yang sangat penting dari itu semua dan ia sangat ingin mengetahui segala penjelasannya dari mulut Jiola sendiri sebagai penghuni asli kota ini.
Bukannya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang barusan ditanyakan oleh adiknya, Jiola malah beranjak dari posisi duduknya di ranjang yang ditempati oleh Arga lalu segera menutup jendela di dekat kasur rapat-rapat sehingga cahaya matahari terhalang dan tidak bisa masuk ke dalam ruangan membuat kamar jadi terasa gelap gulita. Sadar akan hal itu, Jiola segera berjalan ke suatu tempat di ruangan dan menyalakan sebuah lilin kecil untuk menerangi kegelapan di kamar, dan tingkah dari wanita berambut perak itu membuat Arga jadi semakin bertanya-tanya, sebenarnya ada apa ini?
“Mengapa kau menutup jendelanya? Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa kau terlihat begitu ketakutan setelah mendengar suara terompet? Kupikir kau juga akan pergi ke sumber suara seperti orang-orang?” Kali ini pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Arga sedikit lebih tegas dari sebelumnya, tidak lagi dengan suara gemetar atau pun kekakuan, dia benar-benar penasaran pada jawaban-jawabannya karena sikap dan tingkah dari Jiola jadi semakin aneh.
“Suara terompet yang kita dengar tadi adalah pertanda bahwa ada seseorang yang akan dieksekusi di tengah kota, kenapa aku begitu ketakutan, itu karena aku tidak mau mendengar suara jeritan-jeritan mengerikan dari mereka yang tengah dieksekusi. Aku sangat tidak ingin mengingat-ingat hal yang pernah kusaksikan di sana, itu membuatku trauma, aku tidak mau lagi melihatnya. Terlalu kejam dan menjijikan.” Saat mengatakan itu, Jiola terlihat terengah-engah, napasnya begitu tidak stabil, mungkin karena ingatannya jadi terekam kembali di kepalanya saat menjelaskan hal itu pada Arga.
“Eksekusi? Apa itu?” Arga yang masih berusia tujuh tahun tentu saja tidak paham apa arti dari istilah rumit itu, tapi dia yakin dari kedengarannya itu pasti sesuatu yang mengerikan dan menakutkan, tapi apa pun itu dia ingin mengetahui arti dari istilah seram itu agar dia bisa paham pada situasinya.
“Eksekusi adalah kegiatan di mana orang-orang yang bersalah atau melakukan pelanggaran akan diberi hukuman yang sangat kejam dari pihak penguasa kerajaan, dan cara pengeksekusiannya juga berbeda-beda tergantung kejahatan apa yang telah orang-orang itu perbuat, tapi mau bagaimana pun jenis pengeksekusiannya, itu tetap mengerikan dan kejam, karena aku sudah melihat semua jenisnya, dan tidak ada perbedaan dari semua itu, ujung-ujungnya orang yang dieksekusi pasti akan tewas di tempat.” Ucap Jiola dengan bibirnya yang gemetaran dan matanya yang tampak begitu sayu, dia terlihat tidak membicarakannya karena itu akan memunculkan kembali ingatan-ingatan mengerikan yang pernah disaksikannya, tapi dia harus menjelaskannya pada adiknya agar anak itu bisa mengerti dan memahami ketakutannya.
“Oke, aku mengerti sekarang,” jawab Arga dengan menghembuskan napasnya, dia melirik ke lilin kecil yang menerangi kegelapan di ruangan ini sebelum akhirnya kembali bertanya sesuatu pada Jiola. “Sepertinya kau memiliki ketakutan yang berlebihan melihat orang lain disiksa hingga mati di depan matamu, aku tidak menyangka kau punya rasa takut mengingat kau telah membunuh Para Saura di tempat sebelumnya.” Sindir Arga dengan mengungkit-ungkit kejadian sebelumnya agar Jiola bisa mengingatnya kembali, sebab dia merasa aneh pada orang yang takut melihat orang lain disiksa hingga tewas tapi dia sendiri sudah melakukan pembunuhan pada orang lain. Bukankah itu tidak masuk akal.
Seharusnya jika Jiola memang sosok orang yang penakut, pastinya dia tidak punya keberanian untuk membunuh dan menghabisi nyawa orang lain, karena itu sama saja mengerikannya dengan menyaksikan orang lain dieksekusi di depan matamu, bukan? Itu membuat Arga jadi terheran-heran pada pola pikir Jiola yang teraa janggal.
“Jika kau bertanya itu, maka jawabannya adalah, aku hanya tidak tega melihat makhluk satu rasku dibunuh di depan mataku, tapi jika itu menyangkut ras lain, terutama ras jahat dan licik seperti Kaum Saura, itu sama sekali tidak membuatku merasa takut, malah sebaliknya, itu adalah sebuah keharusan bagiku, apalagi mereka juga telah menculik dan mempermainkan hidup adikku selama bertahun-tahun lamanya.”
Sungguh, jawaban yang barusan dia dengar dari Jiola membuat Arga jadi terbelalak mendengarnya, dia tidak menyangka ternyata alasannya bisa serumit itu, menyangku sebuah ras dan hal-hal semacamnya. Berbicara soal ras, Arga jadi penasaran pada suatu hal.
“Jika kau membahas soal ras, sebenarnya kita itu berasal dari ras apa?”
Kali ini, pertanyaan Arga disambut dengan senyuman oleh Jiola, ia bisa melihat senyuman itu meskipun hanya mengandalkan penerangan dari lilin kecil di ruangan ini.
“Kita adalah Teriana, ras campuran dari Iblis dan Kelinci.”
Ketika Arga dan Jiola sedang saling berseru untuk memahami perasaan masing-masing, sebuah suara terompet yang melengking di luar ruangan, tepatnya di pusat kota membuat perdebatan di antara mereka berdua jadi terhenti dalam seketika, Arga mau pun Jiola secara refleks menoleh ke arah jendela dengan raut muka yang terkejut oleh lengkingan tersebut. Terutama Arga yang tidak mengerti apa alasan dari munculnya suara lengkingan terompet yang super kencang itu sampai suaranya sampai terdengar hingga ke sini, bahkan ia juga bisa mendengar banyak sekali langkah kaki orang-orang yang berlarian dan berhamburan menuju ke arah yang sama, seperti gerombolan orang yang terburu-buru ingin menyaksikan sesuatu yang seru.
Sebenarnya ada apa itu? Sungguh, Arga tidak paham terhadap lengkingan terompet itu, pasti ada alasan yang kuat sampai seseorang meniup sebuah terompet sekencang itu juga membuat banyak orang lari terbirit-b***t mendatangi sumber suara. Mungkinkah sesuatu yang menarik akan muncul di sumber suara terompet tersebut, atau hanya hal-hal sepele yang tidak begitu penting? Semakin memikirkannya membuat Arga jadi semakin pusing, itulah kenapa dia pun memutar kembali lehernya ke depan untuk melihat ekspresi wajah dari wanita berambut perak yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya itu dan betapa kagetnya saat sadar bahwa muka Jiola tampak begitu takut setelah mendengar suara terompet tersebut, membuat Arga jadi bertanya-tanya pada hal itu.
“K-Kenapa dengan wajahmu? Kau terlihat ketakutan? Sebenarnya apa arti dari suara terompet itu? Mengapa banyak orang yang berlarian menuju suatu tempat? Dan kota apa ini?” Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Arga terdengar sedikit gemetar dan kaku, karena dia merasa pertanyaan yang diucapkannya agak sedikit berat untuk dijawab oleh Jiola. Tapi itu malah membuat Arga semakin penasaran terhadap jawaban-jawabannya, pasti ada alasan yang sangat penting dari itu semua dan ia sangat ingin mengetahui segala penjelasannya dari mulut Jiola sendiri sebagai penghuni asli kota ini.
Bukannya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang barusan ditanyakan oleh adiknya, Jiola malah beranjak dari posisi duduknya di ranjang yang ditempati oleh Arga lalu segera menutup jendela di dekat kasur rapat-rapat sehingga cahaya matahari terhalang dan tidak bisa masuk ke dalam ruangan membuat kamar jadi terasa gelap gulita. Sadar akan hal itu, Jiola segera berjalan ke suatu tempat di ruangan dan menyalakan sebuah lilin kecil untuk menerangi kegelapan di kamar, dan tingkah dari wanita berambut perak itu membuat Arga jadi semakin bertanya-tanya, sebenarnya ada apa ini?
“Mengapa kau menutup jendelanya? Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa kau terlihat begitu ketakutan setelah mendengar suara terompet? Kupikir kau juga akan pergi ke sumber suara seperti orang-orang?” Kali ini pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Arga sedikit lebih tegas dari sebelumnya, tidak lagi dengan suara gemetar atau pun kekakuan, dia benar-benar penasaran pada jawaban-jawabannya karena sikap dan tingkah dari Jiola jadi semakin aneh.
“Suara terompet yang kita dengar tadi adalah pertanda bahwa ada seseorang yang akan dieksekusi di tengah kota, kenapa aku begitu ketakutan, itu karena aku tidak mau mendengar suara jeritan-jeritan mengerikan dari mereka yang tengah dieksekusi. Aku sangat tidak ingin mengingat-ingat hal yang pernah kusaksikan di sana, itu membuatku trauma, aku tidak mau lagi melihatnya. Terlalu kejam dan menjijikan.” Saat mengatakan itu, Jiola terlihat terengah-engah, napasnya begitu tidak stabil, mungkin karena ingatannya jadi terekam kembali di kepalanya saat menjelaskan hal itu pada Arga.
“Eksekusi? Apa itu?” Arga yang masih berusia tujuh tahun tentu saja tidak paham apa arti dari istilah rumit itu, tapi dia yakin dari kedengarannya itu pasti sesuatu yang mengerikan dan menakutkan, tapi apa pun itu dia ingin mengetahui arti dari istilah seram itu agar dia bisa paham pada situasinya.
“Eksekusi adalah kegiatan di mana orang-orang yang bersalah atau melakukan pelanggaran akan diberi hukuman yang sangat kejam dari pihak penguasa kerajaan, dan cara pengeksekusiannya juga berbeda-beda tergantung kejahatan apa yang telah orang-orang itu perbuat, tapi mau bagaimana pun jenis pengeksekusiannya, itu tetap mengerikan dan kejam, karena aku sudah melihat semua jenisnya, dan tidak ada perbedaan dari semua itu, ujung-ujungnya orang yang dieksekusi pasti akan tewas di tempat.” Ucap Jiola dengan bibirnya yang gemetaran dan matanya yang tampak begitu sayu, dia terlihat tidak membicarakannya karena itu akan memunculkan kembali ingatan-ingatan mengerikan yang pernah disaksikannya, tapi dia harus menjelaskannya pada adiknya agar anak itu bisa mengerti dan memahami ketakutannya.
“Oke, aku mengerti sekarang,” jawab Arga dengan menghembuskan napasnya, dia melirik ke lilin kecil yang menerangi kegelapan di ruangan ini sebelum akhirnya kembali bertanya sesuatu pada Jiola. “Sepertinya kau memiliki ketakutan yang berlebihan melihat orang lain disiksa hingga mati di depan matamu, aku tidak menyangka kau punya rasa takut mengingat kau telah membunuh Para Saura di tempat sebelumnya.” Sindir Arga dengan mengungkit-ungkit kejadian sebelumnya agar Jiola bisa mengingatnya kembali, sebab dia merasa aneh pada orang yang takut melihat orang lain disiksa hingga tewas tapi dia sendiri sudah melakukan pembunuhan pada orang lain. Bukankah itu tidak masuk akal.
Seharusnya jika Jiola memang sosok orang yang penakut, pastinya dia tidak punya keberanian untuk membunuh dan menghabisi nyawa orang lain, karena itu sama saja mengerikannya dengan menyaksikan orang lain dieksekusi di depan matamu, bukan? Itu membuat Arga jadi terheran-heran pada pola pikir Jiola yang teraa janggal.
“Jika kau bertanya itu, maka jawabannya adalah, aku hanya tidak tega melihat makhluk satu rasku dibunuh di depan mataku, tapi jika itu menyangkut ras lain, terutama ras jahat dan licik seperti Kaum Saura, itu sama sekali tidak membuatku merasa takut, malah sebaliknya, itu adalah sebuah keharusan bagiku, apalagi mereka juga telah menculik dan mempermainkan hidup adikku selama bertahun-tahun lamanya.”
Sungguh, jawaban yang barusan dia dengar dari Jiola membuat Arga jadi terbelalak mendengarnya, dia tidak menyangka ternyata alasannya bisa serumit itu, menyangku sebuah ras dan hal-hal semacamnya. Berbicara soal ras, Arga jadi penasaran pada suatu hal.
“Jika kau membahas soal ras, sebenarnya kita itu berasal dari ras apa?”
Kali ini, pertanyaan Arga disambut dengan senyuman oleh Jiola, ia bisa melihat senyuman itu meskipun hanya mengandalkan penerangan dari lilin kecil di ruangan ini.
“Kita adalah Teriana, ras campuran dari Iblis dan Kelinci.”
Ketika Arga dan Jiola sedang saling berseru untuk memahami perasaan masing-masing, sebuah suara terompet yang melengking di luar ruangan, tepatnya di pusat kota membuat perdebatan di antara mereka berdua jadi terhenti dalam seketika, Arga mau pun Jiola secara refleks menoleh ke arah jendela dengan raut muka yang terkejut oleh lengkingan tersebut. Terutama Arga yang tidak mengerti apa alasan dari munculnya suara lengkingan terompet yang super kencang itu sampai suaranya sampai terdengar hingga ke sini, bahkan ia juga bisa mendengar banyak sekali langkah kaki orang-orang yang berlarian dan berhamburan menuju ke arah yang sama, seperti gerombolan orang yang terburu-buru ingin menyaksikan sesuatu yang seru.
Sebenarnya ada apa itu? Sungguh, Arga tidak paham terhadap lengkingan terompet itu, pasti ada alasan yang kuat sampai seseorang meniup sebuah terompet sekencang itu juga membuat banyak orang lari terbirit-b***t mendatangi sumber suara. Mungkinkah sesuatu yang menarik akan muncul di sumber suara terompet tersebut, atau hanya hal-hal sepele yang tidak begitu penting? Semakin memikirkannya membuat Arga jadi semakin pusing, itulah kenapa dia pun memutar kembali lehernya ke depan untuk melihat ekspresi wajah dari wanita berambut perak yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya itu dan betapa kagetnya saat sadar bahwa muka Jiola tampak begitu takut setelah mendengar suara terompet tersebut, membuat Arga jadi bertanya-tanya pada hal itu.
“K-Kenapa dengan wajahmu? Kau terlihat ketakutan? Sebenarnya apa arti dari suara terompet itu? Mengapa banyak orang yang berlarian menuju suatu tempat? Dan kota apa ini?” Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Arga terdengar sedikit gemetar dan kaku, karena dia merasa pertanyaan yang diucapkannya agak sedikit berat untuk dijawab oleh Jiola. Tapi itu malah membuat Arga semakin penasaran terhadap jawaban-jawabannya, pasti ada alasan yang sangat penting dari itu semua dan ia sangat ingin mengetahui segala penjelasannya dari mulut Jiola sendiri sebagai penghuni asli kota ini.
Bukannya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang barusan ditanyakan oleh adiknya, Jiola malah beranjak dari posisi duduknya di ranjang yang ditempati oleh Arga lalu segera menutup jendela di dekat kasur rapat-rapat sehingga cahaya matahari terhalang dan tidak bisa masuk ke dalam ruangan membuat kamar jadi terasa gelap gulita. Sadar akan hal itu, Jiola segera berjalan ke suatu tempat di ruangan dan menyalakan sebuah lilin kecil untuk menerangi kegelapan di kamar, dan tingkah dari wanita berambut perak itu membuat Arga jadi semakin bertanya-tanya, sebenarnya ada apa ini?
“Mengapa kau menutup jendelanya? Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa kau terlihat begitu ketakutan setelah mendengar suara terompet? Kupikir kau juga akan pergi ke sumber suara seperti orang-orang?” Kali ini pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Arga sedikit lebih tegas dari sebelumnya, tidak lagi dengan suara gemetar atau pun kekakuan, dia benar-benar penasaran pada jawaban-jawabannya karena sikap dan tingkah dari Jiola jadi semakin aneh.
“Suara terompet yang kita dengar tadi adalah pertanda bahwa ada seseorang yang akan dieksekusi di tengah kota, kenapa aku begitu ketakutan, itu karena aku tidak mau mendengar suara jeritan-jeritan mengerikan dari mereka yang tengah dieksekusi. Aku sangat tidak ingin mengingat-ingat hal yang pernah kusaksikan di sana, itu membuatku trauma, aku tidak mau lagi melihatnya. Terlalu kejam dan menjijikan.” Saat mengatakan itu, Jiola terlihat terengah-engah, napasnya begitu tidak stabil, mungkin karena ingatannya jadi terekam kembali di kepalanya saat menjelaskan hal itu pada Arga.
“Eksekusi? Apa itu?” Arga yang masih berusia tujuh tahun tentu saja tidak paham apa arti dari istilah rumit itu, tapi dia yakin dari kedengarannya itu pasti sesuatu yang mengerikan dan menakutkan, tapi apa pun itu dia ingin mengetahui arti dari istilah seram itu agar dia bisa paham pada situasinya.
“Eksekusi adalah kegiatan di mana orang-orang yang bersalah atau melakukan pelanggaran akan diberi hukuman yang sangat kejam dari pihak penguasa kerajaan, dan cara pengeksekusiannya juga berbeda-beda tergantung kejahatan apa yang telah orang-orang itu perbuat, tapi mau bagaimana pun jenis pengeksekusiannya, itu tetap mengerikan dan kejam, karena aku sudah melihat semua jenisnya, dan tidak ada perbedaan dari semua itu, ujung-ujungnya orang yang dieksekusi pasti akan tewas di tempat.” Ucap Jiola dengan bibirnya yang gemetaran dan matanya yang tampak begitu sayu, dia terlihat tidak membicarakannya karena itu akan memunculkan kembali ingatan-ingatan mengerikan yang pernah disaksikannya, tapi dia harus menjelaskannya pada adiknya agar anak itu bisa mengerti dan memahami ketakutannya.
“Oke, aku mengerti sekarang,” jawab Arga dengan menghembuskan napasnya, dia melirik ke lilin kecil yang menerangi kegelapan di ruangan ini sebelum akhirnya kembali bertanya sesuatu pada Jiola. “Sepertinya kau memiliki ketakutan yang berlebihan melihat orang lain disiksa hingga mati di depan matamu, aku tidak menyangka kau punya rasa takut mengingat kau telah membunuh Para Saura di tempat sebelumnya.” Sindir Arga dengan mengungkit-ungkit kejadian sebelumnya agar Jiola bisa mengingatnya kembali, sebab dia merasa aneh pada orang yang takut melihat orang lain disiksa hingga tewas tapi dia sendiri sudah melakukan pembunuhan pada orang lain. Bukankah itu tidak masuk akal.
Seharusnya jika Jiola memang sosok orang yang penakut, pastinya dia tidak punya keberanian untuk membunuh dan menghabisi nyawa orang lain, karena itu sama saja mengerikannya dengan menyaksikan orang lain dieksekusi di depan matamu, bukan? Itu membuat Arga jadi terheran-heran pada pola pikir Jiola yang teraa janggal.
“Jika kau bertanya itu, maka jawabannya adalah, aku hanya tidak tega melihat makhluk satu rasku dibunuh di depan mataku, tapi jika itu menyangkut ras lain, terutama ras jahat dan licik seperti Kaum Saura, itu sama sekali tidak membuatku merasa takut, malah sebaliknya, itu adalah sebuah keharusan bagiku, apalagi mereka juga telah menculik dan mempermainkan hidup adikku selama bertahun-tahun lamanya.”
Sungguh, jawaban yang barusan dia dengar dari Jiola membuat Arga jadi terbelalak mendengarnya, dia tidak menyangka ternyata alasannya bisa serumit itu, menyangku sebuah ras dan hal-hal semacamnya. Berbicara soal ras, Arga jadi penasaran pada suatu hal.
“Jika kau membahas soal ras, sebenarnya kita itu berasal dari ras apa?”
Kali ini, pertanyaan Arga disambut dengan senyuman oleh Jiola, ia bisa melihat senyuman itu meskipun hanya mengandalkan penerangan dari lilin kecil di ruangan ini.
“Kita adalah Teriana, ras campuran dari Iblis dan Kelinci.”