Memang sakit, Arga bisa merasakan denyutan rasa nyeri di beberapa bagian tubuhnya yang terluka, tapi dia berusaha menahannya dan bersikap tenang. Sangat bijaksana untuk anak kecil berusia tujuh tahun sepertinya dalam menyikapi rasa perih, karena biasanya bocah-bocah seusianya pasti bakal menangis histeris saat badannya terluka apalagi terjatuh dari puncak pohon yang cukup tinggi.
Begitulah Arga, meski usianya masih kecil, tapi ketenangan dan ketahanannya sama seperti dirinya yang dulu, yaitu sosok dirinya yang berada di peradaban sebelumnya. Selain itu, sikap dan kepribadiannya pun tampak sama persis dengan dirinya yang dulu, sangat luar biasa. Jarang sekali manusia yang bereinkarnasi bisa memiliki sifat dan sikap yang sama seperti dirinya yang dulu, hanya saja, kekurangan dari itu semua adalah Arga tidak mengingat sedikiti pun kehidupannya di kehidupan sebelumnya.
Yang berarti, Arga menganggap bahwa dirinya adalah manusia baru yang tidak pernah punya kehidupan di masa lalu, masih merasa segar dan polos. Tentunya Arga juga tidak mengingat kejadian penting seperti pertemuannya dengan lima putri di Kerajaan Vanterlock. Jika Arga mengingatnya, pasti dia bakal bersedih karena kelima gadis itu telah tiada di hidupnya. Beruntungnya, Arga dibuat tidak mengingat masa lalunya sedikit pun, jadi untuk sementara, dia masih tidak memiliki ingatan apa pun terkait hal tersebut.
“Sakit, tapi rasanya tidak seberapa,” ucap Arga dengan badannya yang masih sedang terbaring lemas di permukaan tanah penuh rumput dan dedaunan kering. “Aku lapar.”
Beberapa menit kemudian, Arga sudah berada di tepi sungai, dengan badannya yang tidak mengenakan pakaian apa pun, dia hanya memakai celana dalam dan terjun ke sungai dengan menggenggam sebuah tongkat yang di ujungnya sangat tajam. Arga berniat untuk mencari ikan segar untuk makan siangnya, karena perutnya sudah sangat keroncongan, dia begitu lapar setelah terjatuh dari pohon.
Menggerakkan kakinya di bawah air, Arga mulai berjalan di dalam sungai itu, meski langkahnya terasa begitu berat karena melawan arus air yang sedang mengalir, bocah itu tetap bergerak maju dan maju sampai akhirnya dia berhenti di tengah-tengah sungai untuk memastikan area mana yang sedang digerumungi oleh ikan-ikan besar dan segar. Mendapati ada pergolakan di area air sebelah timur pojok dekat tepian permukaan tanah yang dipenuhi dengan ilalang, Arga mulai menggerakan kakinya dengan perlahan untuk mendekati area tersebut.
Ketika dirinya sudah berada sangat dekat dengan area itu, Arga mulai mengangkat tongkat yang ada digenggaman tangan kanannya dan langsung mengayunkannya ke arah yang ditujunya, ujung tongkat itu langsung menusuk permukaan air sambil berharap ada seekor ikan yang terkena tusukan tongkat tajamnya. Ditahan sejenak, hingga Arga segera mengangkat kembali ujung tongkatnya dari dalam air dan dua bola matanya membulat saking terkejutnya karena dia tidak menyangka kalau dirinya berhasil mendapatkan tiga ekor ikan yang tertusuk di ujung tongkat yang dipegangnya.
“Hari ini aku sangat beruntung!”
Tanpa basa-basi, Arga segera kembali ke permukaan tanah dan memakai pakaiannya lagi, kemudian mulai mencari kayu bakar di hutan dan setelah semuanya terkumpul, ia menggosok-gosokkan dua batang kayu untuk menciptakan percikan api. Berhasil memunculkan api, Arga segera membesarkan api itu dengan menumpukkan beberapa kayu untuk dibakar. Setelah apinya cukup besar, Arga segera memanggang tiga ekor ikan tangkapannya yang ditusukkan di tongkat mungil dan didiamkan di atas api yang berkobar.
Sambil menunggu matangnya ikan-ikan itu, Arga tersenyum, dia sedang duduk santai di tengah hutan dan mengangkat dagunya, mendongakkan kepalanya untuk memandangi langit. Arga begitu bahagia hari ini, dia sangat senang bisa mendapatkan tiga ekor ikan untuk disantapnya.
Namun, ketika Arga sedang asyik-asyiknya memandangi langit sembari menunggu matangnya ikan-ikan yang dipanggangnya, tiba-tiba saja dia mendengar suara jejak kaki dari suatu arah, membuat Arga segera menoleh ke belakang dan mau tidak mau ia berdiri dan mengendap-endap ke balik pohon untuk berlindung dari apa pun yang datang kemari.
Sayangnya, Arga tidak tahu kalau ternyata,
“Percuma saja kau bersembunyi, aku bisa melihatmu.”
“Ugh!” Arga mengerang kesakitan saat tubuhnya terbaring di tanah, terjatuh dari puncak pohon yang tingginya sekitar lima puluh kaki, beruntungnya dia selamat tanpa cacat sedikit pun, hanya saja beberapa siku dan kulit di bagian-bagian tubuhnya tergores luka ringan akibat gesekan badannya ketika tergelincir dengan bebatangan pohon dan juga permukaan tanah yang cukup tidak rata, sehingga tercipta beberapa luka yang menganga kecil di sana-sini di bagian tubuhnya.
Memang sakit, Arga bisa merasakan denyutan rasa nyeri di beberapa bagian tubuhnya yang terluka, tapi dia berusaha menahannya dan bersikap tenang. Sangat bijaksana untuk anak kecil berusia tujuh tahun sepertinya dalam menyikapi rasa perih, karena biasanya bocah-bocah seusianya pasti bakal menangis histeris saat badannya terluka apalagi terjatuh dari puncak pohon yang cukup tinggi.
Begitulah Arga, meski usianya masih kecil, tapi ketenangan dan ketahanannya sama seperti dirinya yang dulu, yaitu sosok dirinya yang berada di peradaban sebelumnya. Selain itu, sikap dan kepribadiannya pun tampak sama persis dengan dirinya yang dulu, sangat luar biasa. Jarang sekali manusia yang bereinkarnasi bisa memiliki sifat dan sikap yang sama seperti dirinya yang dulu, hanya saja, kekurangan dari itu semua adalah Arga tidak mengingat sedikiti pun kehidupannya di kehidupan sebelumnya.
Yang berarti, Arga menganggap bahwa dirinya adalah manusia baru yang tidak pernah punya kehidupan di masa lalu, masih merasa segar dan polos. Tentunya Arga juga tidak mengingat kejadian penting seperti pertemuannya dengan lima putri di Kerajaan Vanterlock. Jika Arga mengingatnya, pasti dia bakal bersedih karena kelima gadis itu telah tiada di hidupnya. Beruntungnya, Arga dibuat tidak mengingat masa lalunya sedikit pun, jadi untuk sementara, dia masih tidak memiliki ingatan apa pun terkait hal tersebut.
“Sakit, tapi rasanya tidak seberapa,” ucap Arga dengan badannya yang masih sedang terbaring lemas di permukaan tanah penuh rumput dan dedaunan kering. “Aku lapar.”
Beberapa menit kemudian, Arga sudah berada di tepi sungai, dengan badannya yang tidak mengenakan pakaian apa pun, dia hanya memakai celana dalam dan terjun ke sungai dengan menggenggam sebuah tongkat yang di ujungnya sangat tajam. Arga berniat untuk mencari ikan segar untuk makan siangnya, karena perutnya sudah sangat keroncongan, dia begitu lapar setelah terjatuh dari pohon.
Menggerakkan kakinya di bawah air, Arga mulai berjalan di dalam sungai itu, meski langkahnya terasa begitu berat karena melawan arus air yang sedang mengalir, bocah itu tetap bergerak maju dan maju sampai akhirnya dia berhenti di tengah-tengah sungai untuk memastikan area mana yang sedang digerumungi oleh ikan-ikan besar dan segar. Mendapati ada pergolakan di area air sebelah timur pojok dekat tepian permukaan tanah yang dipenuhi dengan ilalang, Arga mulai menggerakan kakinya dengan perlahan untuk mendekati area tersebut.
Ketika dirinya sudah berada sangat dekat dengan area itu, Arga mulai mengangkat tongkat yang ada digenggaman tangan kanannya dan langsung mengayunkannya ke arah yang ditujunya, ujung tongkat itu langsung menusuk permukaan air sambil berharap ada seekor ikan yang terkena tusukan tongkat tajamnya. Ditahan sejenak, hingga Arga segera mengangkat kembali ujung tongkatnya dari dalam air dan dua bola matanya membulat saking terkejutnya karena dia tidak menyangka kalau dirinya berhasil mendapatkan tiga ekor ikan yang tertusuk di ujung tongkat yang dipegangnya.
“Hari ini aku sangat beruntung!”
Tanpa basa-basi, Arga segera kembali ke permukaan tanah dan memakai pakaiannya lagi, kemudian mulai mencari kayu bakar di hutan dan setelah semuanya terkumpul, ia menggosok-gosokkan dua batang kayu untuk menciptakan percikan api. Berhasil memunculkan api, Arga segera membesarkan api itu dengan menumpukkan beberapa kayu untuk dibakar. Setelah apinya cukup besar, Arga segera memanggang tiga ekor ikan tangkapannya yang ditusukkan di tongkat mungil dan didiamkan di atas api yang berkobar.
Sambil menunggu matangnya ikan-ikan itu, Arga tersenyum, dia sedang duduk santai di tengah hutan dan mengangkat dagunya, mendongakkan kepalanya untuk memandangi langit. Arga begitu bahagia hari ini, dia sangat senang bisa mendapatkan tiga ekor ikan untuk disantapnya.
Namun, ketika Arga sedang asyik-asyiknya memandangi langit sembari menunggu matangnya ikan-ikan yang dipanggangnya, tiba-tiba saja dia mendengar suara jejak kaki dari suatu arah, membuat Arga segera menoleh ke belakang dan mau tidak mau ia berdiri dan mengendap-endap ke balik pohon untuk berlindung dari apa pun yang datang kemari.
Sayangnya, Arga tidak tahu kalau ternyata,
“Percuma saja kau bersembunyi, aku bisa melihatmu.”
“Ugh!” Arga mengerang kesakitan saat tubuhnya terbaring di tanah, terjatuh dari puncak pohon yang tingginya sekitar lima puluh kaki, beruntungnya dia selamat tanpa cacat sedikit pun, hanya saja beberapa siku dan kulit di bagian-bagian tubuhnya tergores luka ringan akibat gesekan badannya ketika tergelincir dengan bebatangan pohon dan juga permukaan tanah yang cukup tidak rata, sehingga tercipta beberapa luka yang menganga kecil di sana-sini di bagian tubuhnya.
Memang sakit, Arga bisa merasakan denyutan rasa nyeri di beberapa bagian tubuhnya yang terluka, tapi dia berusaha menahannya dan bersikap tenang. Sangat bijaksana untuk anak kecil berusia tujuh tahun sepertinya dalam menyikapi rasa perih, karena biasanya bocah-bocah seusianya pasti bakal menangis histeris saat badannya terluka apalagi terjatuh dari puncak pohon yang cukup tinggi.