“A-Aku tidak percaya!” Meski bilang begitu setelah mendengar semua penjelasan yang dikemukakan oleh Jiola, wanita langsing berparas cantik berambut putih perak itu, Arga sebenarnya tercengang dengan semua itu tapi dia masih sedikit mengelaknya, jadi sikapnya masih menunjukkan penolakan. “Aku tidak percaya sedikit pun pada apa yang kau ucapkan! Semuanya hanya omong kosong!”
Sungguh, Jiola hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan perlahan sembari menyunggingkan senyuman tipisnya saat melihat reaksi negatif yang Arga tunjukkan padanya setelah menyimak segala yang ia katakan. Jiola tidak kesal apalagi marah, dia malah sebaliknya, merasa menyesal dan sedih melihat anak kecil seperti Arga harus hidup sebatang kara di tempat yang menyerupai hutan seperti ini.
Seharusnya anak-anak seusia Arga bisa hidup dengan nyaman dan menyenangkan di rumah keluarganya, tertawa dan bersenang-senang, menghabiskan waktu dengan orang tuanya serta bermain-main dengan mainan-mainan anak kecil adalah hal yang sepatutnya semua anak-anak punya di masa tersebut. Sedangkan Arga, dia terpaksa harus hidup dan bertahan di tengah hutan seperti ini sendirian dengan usianya yang masih tujuh tahun, tidak ada keluarga, tidak ada mainan, dan tidak ada seorang pun yang bisa dijadikan teman di tempat seperti ini.
Jiola sangat tidak tega pada apa yang selama ini Arga alami di tempat yang menyerupai hutan belantara seperti ini, matanya jadi berkaca-kaca, air matanya tampak mau keluar tapi dia usahakan untuk menahannya karena dia tidak mau membuat anak itu salah paham saat melihat dirinya menangis. Sebelum kesedihannya semakin berlanjut, Jiola segera dengan cepat merespon seruan Arga dengan kata-kata yang bernada halus dan lembut.
“Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayai perkataanku, aku hanya ingin kamu paham bahwa aku bukanlah orang jahat. Aku datang kemari untuk mengeluarkan dari tempat ini. Aku ingin menyelamatkanmu. Kamu tidak boleh terus tinggal sendirian di tempat seperti ini. Aku akan membawamu ke tempat kamu bisa mendapatkan kebahagiaan, kehangatan, dan juga banyak teman.”
“OMONG KOSONG!” Arga memundurkan langkahnya, mengambil sikap untuk menjauhi Jiola, dia seakan-akan tidak ingin terlalu dekat dengan wanita asing itu. “Pergilah dari sini! Jangan ganggu aku! Aku sedang memanggang ikan! Perutku sangat lapar! Jika kau terus-terusan di sini, aku tidak bisa menyantapnya! Jadi pergilah dari sini! PERGILAH YANG JAUH!”
Jiola menghela napasnya, ia mengedikkan bahu dan menggeleng-gelengkan kepalanya, rambut peraknya terombang-ambing ketika kepalanya bergoyang-goyang, dia pun kembali mengangkat badannya yang tengah berjongkok untuk berdiri tegak seperti sebelumnya. Jiola merasa sudah tidak perlu lagi menjelaskan apa pun pada Arga, karena tidak akan mempan. Sekarang, yang harus dia lakukan adalah harus membuat Arga nyaman berada di dekatnya, setidaknya dia harus mencoba untuk memulai suatu pendekatan sehingga anak itu bisa melihatnya tidak sebagai orang asing melainkan temannya.
“Maafkan aku, sepertinya aku mengganggu acara makan siangmu. Silahkan, kau boleh kembali ke tempatmu, tidak perlu takut, aku tidak akan mennganggumu lagi. Aku akan pergi dari sini,” kata Jiola dengan senyuman hangatnya pada Arga sembari mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya yang terletak di pinggangnya. “Tapi ambilah ini, masakanmu akan terasa nikmat jika ditaburkan dengan garam.”
Arga mengernyitkan alis ketika matanya melihat sebuah botol mungil berisi bubuk putih yang baru saja dikeluarkan oleh Jiola dari kantung celananya, dia penasaran apa kegunaan dari bubuk putih itu sehingga bisa membuat masakannya jadi enak hanya dengan menaburkannya.
“Garam? Apa itu? Apakah itu racun? Apakah kau mau meracuniku?”
Tergelak, Jiola sedikit tertawa mendengar omongan polos Arga yang begitu penuh waspada, seolah-olah apa pun yang dilakukan oleh dirinya adalah sebuah kejahatan. Padahal kenyataannya sebaliknya, Jiola sangat mengkhawatirkan dan menyayangi Arga karena dia tahu anak itu telah hidup sendirian dan tinggal di tempat sepi seperti ini bertahun-tahun.
“Bukan. Ini bukan racun,” jawab Jiola dengan santai. “Ini adalah garam yang dapat membuat masakanmu jadi terasa asin dan itu bisa menambah kelezatan pada masakanmu. Jika kamu tidak berani mencobanya, maka bisakah kamu izinkan aku untuk memakannya bersamamu? Aku akan menunjukkannya padamu bahwa garam bukanlah racun.”
Mendengarnya, Arga terpaku dalam diam, dia bingung harus merespon apa karena di satu sisi dia masih terasa terganggu dengan kehadiran orang asing itu, tapi di sisi lain dia juga penasaran seperti apa rasa dari garam yang disebut-sebut orang itu, mungkinkah itu racun atau benar-benar pelezat makanan? Arga benar-benar kebingungan saat ini.
“Baiklah,” Setelah berpikir cukup lama akhirnya Arga memutuskan untuk menerima tawaran itu karena dia sudah sangat penasaran pada benda yang disebut-sebut sebagai garam itu, yang katanya mampu membuat makanan menjadi terasa lezat dari biasanya, meskipun dia masih menjaga jarak dari Jiola karena sikap waspadanya yang belum hilang sepenuhnya.
Tapi dibalik semua itu, dia mulai menerima kehadiran Jiola.
“A-Aku tidak percaya!” Meski bilang begitu setelah mendengar semua penjelasan yang dikemukakan oleh Jiola, wanita langsing berparas cantik berambut putih perak itu, Arga sebenarnya tercengang dengan semua itu tapi dia masih sedikit mengelaknya, jadi sikapnya masih menunjukkan penolakan. “Aku tidak percaya sedikit pun pada apa yang kau ucapkan! Semuanya hanya omong kosong!”
Sungguh, Jiola hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan perlahan sembari menyunggingkan senyuman tipisnya saat melihat reaksi negatif yang Arga tunjukkan padanya setelah menyimak segala yang ia katakan. Jiola tidak kesal apalagi marah, dia malah sebaliknya, merasa menyesal dan sedih melihat anak kecil seperti Arga harus hidup sebatang kara di tempat yang menyerupai hutan seperti ini.
Seharusnya anak-anak seusia Arga bisa hidup dengan nyaman dan menyenangkan di rumah keluarganya, tertawa dan bersenang-senang, menghabiskan waktu dengan orang tuanya serta bermain-main dengan mainan-mainan anak kecil adalah hal yang sepatutnya semua anak-anak punya di masa tersebut. Sedangkan Arga, dia terpaksa harus hidup dan bertahan di tengah hutan seperti ini sendirian dengan usianya yang masih tujuh tahun, tidak ada keluarga, tidak ada mainan, dan tidak ada seorang pun yang bisa dijadikan teman di tempat seperti ini.
Jiola sangat tidak tega pada apa yang selama ini Arga alami di tempat yang menyerupai hutan belantara seperti ini, matanya jadi berkaca-kaca, air matanya tampak mau keluar tapi dia usahakan untuk menahannya karena dia tidak mau membuat anak itu salah paham saat melihat dirinya menangis. Sebelum kesedihannya semakin berlanjut, Jiola segera dengan cepat merespon seruan Arga dengan kata-kata yang bernada halus dan lembut.
“Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayai perkataanku, aku hanya ingin kamu paham bahwa aku bukanlah orang jahat. Aku datang kemari untuk mengeluarkan dari tempat ini. Aku ingin menyelamatkanmu. Kamu tidak boleh terus tinggal sendirian di tempat seperti ini. Aku akan membawamu ke tempat kamu bisa mendapatkan kebahagiaan, kehangatan, dan juga banyak teman.”
“OMONG KOSONG!” Arga memundurkan langkahnya, mengambil sikap untuk menjauhi Jiola, dia seakan-akan tidak ingin terlalu dekat dengan wanita asing itu. “Pergilah dari sini! Jangan ganggu aku! Aku sedang memanggang ikan! Perutku sangat lapar! Jika kau terus-terusan di sini, aku tidak bisa menyantapnya! Jadi pergilah dari sini! PERGILAH YANG JAUH!”
Jiola menghela napasnya, ia mengedikkan bahu dan menggeleng-gelengkan kepalanya, rambut peraknya terombang-ambing ketika kepalanya bergoyang-goyang, dia pun kembali mengangkat badannya yang tengah berjongkok untuk berdiri tegak seperti sebelumnya. Jiola merasa sudah tidak perlu lagi menjelaskan apa pun pada Arga, karena tidak akan
Kini, tidak seperti sebelumnya, Arga akhirnya bisa menerima kehadiran Jiola secara perlahan, bahkan sekarang dia sudah cukup dekat karena duduk bersama wanita berambut perak panjang itu di depan ikan-ikan yang dipanggang dikobaran api. Mereka masih berada di tengah hutan belantara, tapi kecanggungan dan ketegangan dari Arga dan Jiola sudah berangsur-angsur menghilang tergantikan dengan obrolan ringan dan gelak tawa. Jiola terlihat senang karena Arga sudah mau menerimanya sebagai teman, tidak lagi menganggapnya sebagai orang asing yang punya niat jahat, tapi ia percaya anak itu masih belum sepenuhnya mempercayainya, pasti masih ada sekian persen di mana Arga menjaga jarak dari dirinya. Tapi itu tidak masalah, setidaknya keadaan sudah lebih baik dari sebelumnya.
“Bagaimana menurutmu? Apakah rasanya enak?” Arga bertanya begitu saat Jiola memakan satu ekor ikan panggangnya di depan dirinya setelah ikan itu ditaburi oleh garam dari botol mungil milik wanita perak tersebut. Kedua mata Arga tampak membulat dengan serius, seperti seseorang yang begitu semangat untuk terjun ke kolam renang. Jiola yang mendengar pertanyaan itu hanya menoleh dan mengedikkan bahu sembari mulutnya mengunyam-unyam ikan itu dengan lahap.
“Kau harus mencobanya juga, setelah itu kau akan mendapatkan jawabannya.” Kata Jiola setelah menelan seluruh ikan panggang yang dipegangnya di tangan kanannya. Sebetulnya Jiola ingin menjawab bahwa rasanya tentu saja nikmat, tapi dia ingin sedikit bermain-main dengan Arga agar anak itu merasa dijahili oleh sikap nakalnya.
“Hey! Tapi kau sebelumnya bilang padaku bahwa kau akan memberitahu rasanya jika kau memakan ikanku dengan garam! Dan sekarang mengapa kau tidak mau memberitahuku bagaimana rasanya! Cepat katakan, apakah rasanya enak atau tidak enak!? Bukankah itu sangat mudah!?” pekik Arga dengan beranjak bangun dari posisi duduknya saking kesalnya merasa dicurangi oleh tindakan Jiola yang tidak bisa diajak bekerja sama.
Terkikik-kikik, Jiola tidak tahan melihat tingkah Arga yang begitu menggemaskan saat marah di hadapannya, itu sangat lucu melihat anak laki-laki berusia tujuh tahun meneriakimu hanya karena merasa dicurangi. Belum lagi ekspresi Arga yang cukup imut dengan mengembungkan dua pipinya jadi tampak seperti balon dan bibirnya yang sengaja dicemberutkan, menambah kesan lucu di mukanya sehingga Jiola jadi tertawa terbahak-bahak memandanginya.
“Hey! Kenapa kau malah tertawa! Jawab pertanyaanku! Kau tidak boleh tertawa!” Amarah Arga jadi semakin meningkat saat melihat Jiola menertawakannya dengan santai tanpa memikirkan perasaannya yang begitu penasaran pada rasa dari garam yang ditaburkan ke ikan panggang. Sungguh, Arga tidak terima dirinya dipermainkan seperti itu, dia tidak mau diperlakukan seperti anak kecil oleh Jiola, mau tidak mau dia harus mencari cara agar wanita itu tidak lagi menertawakannya dan bisa menaruh rasa hormat pada dirinya.
Alhasil, Arga mendapatkan ide di mana dia bisa membuat Jiola berhenti tertawa, dan ia segera melancarkan pemikirannya secepat mungkin. Tindakan yang Arga lakukan tidak lain tidak bukan adalah : merebut botol mungil berisi garam dari tangan kanan Jiola lalu segera menaburkan butiran-butiran garam putih itu ke permukaan ikan yang akan disantapnya, kemudian setelah dirasa cukup, tanpa menunggu lama lagi, Arga langsung memasukkan ikan itu ke mulutnya dan memakannya secara perlahan sembari menikmati rasa asin dan gurih dari apa yang dimakannya tersebut.
Melihat kejadian itu telah membuat tawa Jiola jadi terhenti dan dia dengan takjub tersenyum tipis melihat Arga mau memakan ikan yang ditaburi garam dengan keputusannya sendiri tanpa harus dipaksa-paksa dahulu oleh wanita itu. Artinya, rencana Jiola berjalan dengan sukses karena dari awal dia menertawakan Arga bukan hanya sebatas ingin mempermainkan anak itu saja, tapi dia juga ingin membuat bocah itu bersedia memakannya tanpa harus dibujuk terlebih dahulu olehnya. Dan lihatlah, kini Arga telah masuk ke dalam jebakan yang direncanakan Jiola.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Jiola saat Arga telah menelan kunyahan terakhir dari ikan yang dilahapnya dengan butiran-butiran garam dari dalam botol miliknya. Sungguh, Jiola sangat penasaran pada pendapat Arga mengenai rasa dari makanan yang baru dilahapnya itu. Apa pun itu, Jiola tidak begitu mengharapkan respon positif, tapi dia yakin segala yang Arga ucapkan pasti akan sangat menggemaskan mengingat anak itu punya gaya yang cukup lucu ketika sedang mengungkapkan perasaannya.
“Aku tidak yakin, tapi menurutku rasanya tidak begitu buruk.” Jawab Arga dengan memasang muka yang cukup polos, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu tapi ditahan oleh perasaan gengsinya sehingga dia mengemukakan pendapat yang tidak begitu jujur. Tentu saja Jiola paham pada perasaan Arga yang sebenarnya sehingga dia bisa tahu kalau sebetulnya anak itu merasa kenikmatan dengan garam yang ditaburkan ke permukaan ikan itu, tapi dia terlalu malu untuk mengatakan hal yang sejujurnya.
“Baguslah, setidaknya kamu tidak mati karena keracunan, bukan?” sindir Jiola dengan sengaja menyinggung kejadian sebelumnya yang dirinya dikira akan meracuni Arga dengan sebuah garam di dalam makanannya sehingga terjadilah ketegangan di antara mereka, tapi sekarang tampaknya itu sudah berakhir.
Mendengar itu, pipi-pipi Arga jadi memerah, dia tampak malu saat Jiola menyinggung kejadian itu, dia jadi merasa bersalah karena telah berprasangka buruk pada wanita itu padahal sebenarnya Jiola bukan orang yang jahat. Sementara Jiola terkekeh-kekeh menyaksikan raut muka Arga yang begitu menggemaskan saat mengingat kesalahannya sendiri.
“Sekarang, karena aku sudah menemanimu makan, aku akan pergi.” Ucap Jiola dengan menghela napasnya sembari mengangkat badannya untukk berdiri dari posisi duduknya untuk segera pergi dari tempat itu, tidak ingin lagi mengganggu ketenangan Arga yang sepertinya ingin sendirian. “Maaf karena aku telah mengusikmu, aku berjanji tidak akan datang kemari lagi. Selamat tinggal.”
Kini, tidak seperti sebelumnya, Arga akhirnya bisa menerima kehadiran Jiola secara perlahan, bahkan sekarang dia sudah cukup dekat karena duduk bersama wanita berambut perak panjang itu di depan ikan-ikan yang dipanggang dikobaran api. Mereka masih berada di tengah hutan belantara, tapi kecanggungan dan ketegangan dari Arga dan Jiola sudah berangsur-angsur menghilang tergantikan dengan obrolan ringan dan gelak tawa. Jiola terlihat senang karena Arga sudah mau menerimanya sebagai teman, tidak lagi menganggapnya sebagai orang asing yang punya niat jahat, tapi ia percaya anak itu masih belum sepenuhnya mempercayainya, pasti masih ada sekian persen di mana Arga menjaga jarak dari dirinya. Tapi itu tidak masalah, setidaknya keadaan sudah lebih baik dari sebelumnya.
“Bagaimana menurutmu? Apakah rasanya enak?” Arga bertanya begitu saat Jiola memakan satu ekor ikan panggangnya di depan dirinya setelah ikan itu ditaburi oleh garam dari botol mungil milik wanita perak tersebut. Kedua mata Arga tampak membulat dengan serius, seperti seseorang yang begitu semangat untuk terjun ke kolam renang. Jiola yang mendengar pertanyaan itu hanya menoleh dan mengedikkan bahu sembari mulutnya mengunyam-unyam ikan itu dengan lahap.
“Kau harus mencobanya juga, setelah itu kau akan mendapatkan jawabannya.” Kata Jiola setelah menelan seluruh ikan panggang yang dipegangnya di tangan kanannya. Sebetulnya Jiola ingin menjawab bahwa rasanya tentu saja nikmat, tapi dia ingin sedikit bermain-main dengan Arga agar anak itu merasa dijahili oleh sikap nakalnya.
“Hey! Tapi kau sebelumnya bilang padaku bahwa kau akan memberitahu rasanya jika kau memakan ikanku dengan garam! Dan sekarang mengapa kau tidak mau memberitahuku bagaimana rasanya! Cepat katakan, apakah rasanya enak atau tidak enak!? Bukankah itu sangat mudah!?” pekik Arga dengan beranjak bangun dari posisi duduknya saking kesalnya merasa dicurangi oleh tindakan Jiola yang tidak bisa diajak bekerja sama.
Terkikik-kikik, Jiola tidak tahan melihat tingkah Arga yang begitu menggemaskan saat marah di hadapannya, itu sangat lucu melihat anak laki-laki berusia tujuh tahun meneriakimu hanya karena merasa dicurangi. Belum lagi ekspresi Arga yang cukup imut dengan mengembungkan dua pipinya jadi tampak seperti balon dan bibirnya yang sengaja dicemberutkan, menambah kesan lucu di mukanya sehingga Jiola jadi tertawa terbahak-bahak memandanginya.
“Hey! Kenapa kau malah tertawa! Jawab pertanyaanku! Kau tidak boleh tertawa!” Amarah Arga jadi semakin meningkat saat melihat Jiola menertawakannya dengan santai tanpa memikirkan perasaannya yang begitu penasaran pada rasa dari garam yang ditaburkan ke ikan panggang. Sungguh, Arga tidak terima dirinya dipermainkan seperti itu, dia tidak mau diperlakukan seperti anak kecil oleh Jiola, mau tidak mau dia harus mencari cara agar wanita itu tidak lagi menertawakannya dan bisa menaruh rasa hormat pada dirinya.
Alhasil, Arga mendapatkan ide di mana dia bisa membuat Jiola berhenti tertawa, dan ia segera melancarkan pemikirannya secepat mungkin. Tindakan yang Arga lakukan tidak lain tidak bukan adalah : merebut botol mungil berisi garam dari tangan kanan Jiola lalu segera menaburkan butiran-butiran garam putih itu ke permukaan ikan yang akan disantapnya, kemudian setelah dirasa cukup, tanpa menunggu lama lagi, Arga langsung memasukkan ikan itu ke mulutnya dan memakannya secara perlahan sembari menikmati rasa asin dan gurih dari apa yang dimakannya tersebut.
Melihat kejadian itu telah membuat tawa Jiola jadi terhenti dan dia dengan takjub tersenyum tipis melihat Arga mau memakan ikan yang ditaburi garam dengan keputusannya sendiri tanpa harus dipaksa-paksa dahulu oleh wanita itu. Artinya, rencana Jiola berjalan dengan sukses karena dari awal dia menertawakan Arga bukan hanya sebatas ingin mempermainkan anak itu saja, tapi dia juga ingin membuat bocah itu bersedia memakannya tanpa harus dibujuk terlebih dahulu olehnya. Dan lihatlah, kini Arga telah masuk ke dalam jebakan yang direncanakan Jiola.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Jiola saat Arga telah menelan kunyahan terakhir dari ikan yang dilahapnya dengan butiran-butiran garam dari dalam botol miliknya. Sungguh, Jiola sangat penasaran pada pendapat Arga mengenai rasa dari makanan yang baru dilahapnya itu. Apa pun itu, Jiola tidak begitu mengharapkan respon positif, tapi dia yakin segala yang Arga ucapkan pasti akan sangat menggemaskan mengingat anak itu punya gaya yang cukup lucu ketika sedang mengungkapkan perasaannya.
“Aku tidak yakin, tapi menurutku rasanya tidak begitu buruk.” Jawab Arga dengan memasang muka yang cukup polos, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu tapi ditahan oleh perasaan gengsinya sehingga dia mengemukakan pendapat yang tidak begitu jujur. Tentu saja Jiola paham pada perasaan Arga yang sebenarnya sehingga dia bisa tahu kalau sebetulnya anak itu merasa kenikmatan dengan garam yang ditaburkan ke permukaan ikan itu, tapi dia terlalu malu untuk mengatakan hal yang sejujurnya.
“Baguslah, setidaknya kamu tidak mati karena keracunan, bukan?” sindir Jiola dengan sengaja menyinggung kejadian sebelumnya yang dirinya dikira akan meracuni Arga dengan