Mendengar segala keluhan dan kekesalan yang Arga ucapkan barusan, membuat Jiola merasa sedikit jengah dan pusing, mengatur napasnya terlebih dahulu, dan menstabilkan badannya agar bisa berdiri dengan tegap, akhirnya Jiola, perempuan berambut perak panjang itu mulai menjawab apa yang dikatakan oleh adik semata wayangnya itu. “Aku tidak meremehkanmu! Aku tahu kamu mampu bertahan di keadaan ricuh seperti itu, aku juga tahu kamu telah bertahan hidup di hutan selama bertahun-tahun, dan tentu saja aku sebagai kakakmu sangat bangga mengetahui hal itu! Tapi aku tidak bisa membiarkan adikku berada di kericuhan seperti itu sendirian! Aku menyayangimu! Aku tidak mau melihatmu terluka! Aku ingin kamu tetap bersamaku! Aku bertindak seperti ini, itu karena aku sangat menyayangimu!”
Mengerutkan dua alisnya dengan kesal, Arga tidak terima diberikan jawaban polos seperti itu, dia merasa Jiola memang benar-benar sedang meremehkannya dan itu telah membuatnya muak. “Aku tidak butuh rasa kasih sayangmu! Aku juga bukan adik kandungmu! Bukankah sudah kukatakan berkali-kali padamu!? Berhentilah menganggapku sebagai adikmu! Aku ini hanyalah orang asing yang kebetulan kau tolong! Tidak lebih dari itu! Dan aku tidak mau berterima kasih padamu karena aku sama sekali tidak membutuhkan bantuanmu! Jadi BERHENTILAH BERSIKAP SEOLAH-OLAH KAU ADALAH KAKAKKU!” Tidak peduli pada perasaan Jiola yang tertusuk-tusuk setelah mendengar apa yang diucapkannya, Arga hanya memasang wajah cemberut dan memalingkan muka, kemudian berjalan pelan ke samping.
Menyadari hal itu, Jiola hanya menundukkan kepalanya dalam hening, membuat rambut perak panjangnya berjatuhan helai demi helai dengan lembut, dia merasa sangat sakit hati mendengar apa yang diteriaki oleh Arga, setiap kata yang terlontar sungguh menyakitkan untuk didengar, sungguh Jiola tidak tahan lagi. Akhirnya dalam keheningan, Jiola meneteskan air matanya, sedikit sesenggukkan dan dengan tubuh yang gemetaran. Jiola sangat mengerti dibalik perasaan Arga karena dia sebetulnya sadar bahwa anak itu bukannya membencinya, ia hanya tidak ingin menerima kenyataan, tapi tetap saja mendengar perkataan kasar dan kejam yang dikeluarkan oleh mulut adik kesayanganmu sendiri yang selama ini kamu cari sepanjang tahun, sungguh menyakitkan.
“Apa kau menangis?” tanya Arga saat mendengar suara tangisan seseorang di dekatnya setelah ia menengok dan sedikit melangkah untuk mendekati perempuan berambut perak yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya itu. Tidak ada jawaban saat Arga bertanya demikian, yang artinya memang benar, Jiola memang sedang menangis sekarang. Baiklah, Arga tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang, tapi yang jelas dia tidak mau ada orang yang menangis di kala situasi sedang genting seperti ini. Suara-suara kerusuhan di tengah kota terdengar bahkan dari lokasi yang cukup jauh di sini, dan dia tidak bisa terus-terusan membujuk perempuan ini untuk berhenti menangis.
“Terserah, jika kau ingin menangis, menangis saja sepuasmu, tapi yang jelas aku tidak mau kau meremehkanku lagi. Sekarang jangan batasi pergerakanku, aku akan kembali ke tempat sebelumnya dan kau lebih baik tetap di sini karena perempuan cengeng sepertimu tidak akan mampu menghadapi situasi ricuh seperti itu.” Setelah mengatakan hal demikian, Arga segera melangkahkan kakinya untuk kembali ke tengah kota, tetapnya ke tempat pengeksekusian mati seseorang. Namun, baru saja lima langkah Arga berjalan, meninggalkan perempuan berambut perak itu, dia terkejut saat Jiola tiba-tiba ada di hadapannya, berdiri sambil memasang muka sedih yang dipenuhi oleh air mata.
“Maafkan aku karena aku telah membuatmu tidak nyaman, tapi ketahuilah, aku benar-benar menyayangimu. Aku tidak bisa membiarkan adik kesayanganku berada di sana, aku ingin kau tetap bersamaku di sini, di tempat yang aman. Aku tidak mau kehilanganmu lagi, aku tidak ingin kau menghilang. Tetaplah bersamaku di sini, aku akan memberikanmu segalanya, tapi kumohon, jangan pergi lagi ke sana.” Pinta Jiola dengan napas yang tersengal-sengal dan suara yang serak-serak basah, begitu pilu dan menyedihkan, memperlihatkan segala ketakutan dan kekhawatirannya pada Sang Adik yang hendak pergi darinya. Dari bola-bola matanya yang basah, tampak sangat jelas bahwa Jiola memang begitu serius tidak ingin membiarkan Arga kembali ke lokasi sebelumnya sendirian.
Merasa muak dan kesal, Arga menggertakkan giginya dan mulai memelototkan bola-bola matanya dengan begitu lebar. “Jadi kau maunya apa!? Membiarkan aku diam di sini untuk menjadi seperti seorang pecundang bersamamu, begitu!? Berhentilah mengatur-atur hidupku! Kau bukan siapa-siapa di hidupku! Aku tidak peduli mau kau menangis, mau kau memohon, mau kau menjerit sekali pun, AKU TIDAK PEDULI! Jika kau masih tetap bersikap begitu, maka tidak ada cara lain selain bersikap kasar padamu secara fisik!” Dengan mengeluarkan urat-uratnya di leher, Arga langsung bersiaga, menyempurnakan kuda-kudanya untuk meemberikan pukulan kuat pada Jiola agar perempuan itu tidak lagi menghalang-halanginya.
Sementara Jiola yang mengetahui bahwa Arga hendak memberikan serangan padanya agar dirinya tidak lagi menghentikan pergerakan anak itu, membuat perempuan berambut perak itu terkejut setengah mati. Sungguh, dia bingung harus bagaimana sekarang, karena dia tidak ingin dilukai oleh Arga, tapi di sisi lain dia juga tidak mau melukai adik kesayangannya. Apa yang harus Jiola lakukan sekarang sebelum sesuatu yang tidak diinginkan mulai terjadi pada dirinya. Memejamkan matanya erat-erat, Jiola mencoba berpikir sekeras mungkin, memikirkan cara agar Sang Adik yang begitu keras kepala bisa ditenangkan sejenak. Dan setelah berpikir selama lima detik, ia kembali membuka kelopak matanya karena akhirnya dia mendapatkan ide cemerlang agar bisa melalui situasi pelik ini.
“Aku sangat menyayangimu. Aku tidak mau melukaimu, dan aku juga tidak ingin kamu melukaiku. Bisakah kita bicarakan ini secara baik-baik, aku tidak ingin kita bertarung hanya karena berbeda opini. Tenangkan dirimu dulu, kamu terlalu menyepelekan sebuah kericuhan, kamu harusnya tahu bahwa datang ke tempat yang sedang ricuh itu akan membuatmu dalam masalah besar. Apalagi kamu yang melemparkan api terlebih dahulu pada mereka. Itu bisa membuatmu menjadi seorang buronan di kota ini, atau bisa saja kita berdua telah resmi menjadi seorang buronan di kota ini. Bagaimana kalau itu benar-benar terjadi?”
Mendengar segala keluhan dan kekesalan yang Arga ucapkan barusan, membuat Jiola merasa sedikit jengah dan pusing, mengatur napasnya terlebih dahulu, dan menstabilkan badannya agar bisa berdiri dengan tegap, akhirnya Jiola, perempuan berambut perak panjang itu mulai menjawab apa yang dikatakan oleh adik semata wayangnya itu. “Aku tidak meremehkanmu! Aku tahu kamu mampu bertahan di keadaan ricuh seperti itu, aku juga tahu kamu telah bertahan hidup di hutan selama bertahun-tahun, dan tentu saja aku sebagai kakakmu sangat bangga mengetahui hal itu! Tapi aku tidak bisa membiarkan adikku berada di kericuhan seperti itu sendirian! Aku menyayangimu! Aku tidak mau melihatmu terluka! Aku ingin kamu tetap bersamaku! Aku bertindak seperti ini, itu karena aku sangat menyayangimu!”
Mengerutkan dua alisnya dengan kesal, Arga tidak terima diberikan jawaban polos seperti itu, dia merasa Jiola memang benar-benar sedang meremehkannya dan itu telah membuatnya muak. “Aku tidak butuh rasa kasih sayangmu! Aku juga bukan adik kandungmu! Bukankah sudah kukatakan berkali-kali padamu!? Berhentilah menganggapku sebagai adikmu! Aku ini hanyalah orang asing yang kebetulan kau tolong! Tidak lebih dari itu! Dan aku tidak mau berterima kasih padamu karena aku sama sekali tidak membutuhkan bantuanmu! Jadi BERHENTILAH BERSIKAP SEOLAH-OLAH KAU ADALAH KAKAKKU!” Tidak peduli pada perasaan Jiola yang tertusuk-tusuk setelah mendengar apa yang diucapkannya, Arga hanya memasang wajah cemberut dan memalingkan muka, kemudian berjalan pelan ke samping.
Menyadari hal itu, Jiola hanya menundukkan kepalanya dalam hening, membuat rambut perak panjangnya berjatuhan helai demi helai dengan lembut, dia merasa sangat sakit hati mendengar apa yang diteriaki oleh Arga, setiap kata yang terlontar sungguh menyakitkan untuk didengar, sungguh Jiola tidak tahan lagi. Akhirnya dalam keheningan, Jiola meneteskan air matanya, sedikit sesenggukkan dan dengan tubuh yang gemetaran. Jiola sangat mengerti dibalik perasaan Arga karena dia sebetulnya sadar bahwa anak itu bukannya membencinya, ia hanya tidak ingin menerima kenyataan, tapi tetap saja mendengar perkataan kasar dan kejam yang dikeluarkan oleh mulut adik kesayanganmu sendiri yang selama ini kamu cari sepanjang tahun, sungguh menyakitkan.
“Apa kau menangis?” tanya Arga saat mendengar suara tangisan seseorang di dekatnya setelah ia menengok dan sedikit melangkah untuk mendekati perempuan berambut perak yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya itu. Tidak ada jawaban saat Arga bertanya demikian, yang artinya memang benar, Jiola memang sedang menangis sekarang. Baiklah, Arga tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang, tapi yang jelas dia tidak mau ada orang yang menangis di kala situasi sedang genting seperti ini. Suara-suara kerusuhan di tengah kota terdengar bahkan dari lokasi yang cukup jauh di sini, dan dia tidak bisa terus-terusan membujuk perempuan ini untuk berhenti menangis.
“Terserah, jika kau ingin menangis, menangis saja sepuasmu, tapi yang jelas aku tidak mau kau meremehkanku lagi. Sekarang jangan batasi pergerakanku, aku akan kembali ke tempat sebelumnya dan kau lebih baik tetap di sini karena perempuan cengeng sepertimu tidak akan mampu menghadapi situasi ricuh seperti itu.” Setelah mengatakan hal demikian, Arga segera melangkahkan kakinya untuk kembali ke tengah kota, tetapnya ke tempat pengeksekusian mati seseorang. Namun, baru saja lima langkah Arga berjalan, meninggalkan perempuan berambut perak itu, dia terkejut saat Jiola tiba-tiba ada di hadapannya, berdiri sambil memasang muka sedih yang dipenuhi oleh air mata.
“Maafkan aku karena aku telah membuatmu tidak nyaman, tapi ketahuilah, aku benar-benar menyayangimu. Aku tidak bisa membiarkan adik kesayanganku berada di sana, aku ingin kau tetap bersamaku di sini, di tempat yang aman. Aku tidak mau kehilanganmu lagi, aku tidak ingin kau menghilang. Tetaplah bersamaku di sini, aku akan memberikanmu segalanya, tapi kumohon, jangan pergi lagi ke sana.” Pinta Jiola dengan napas yang tersengal-sengal dan suara yang serak-serak basah, begitu pilu dan menyedihkan, memperlihatkan segala ketakutan dan kekhawatirannya pada Sang Adik yang hendak pergi darinya. Dari bola-bola matanya yang basah, tampak sangat jelas bahwa Jiola memang begitu serius tidak ingin membiarkan Arga kembali ke lokasi sebelumnya sendirian.
Merasa muak dan kesal, Arga menggertakkan giginya dan mulai memelototkan bola-bola matanya dengan begitu lebar. “Jadi kau maunya apa!? Membiarkan aku diam di sini untuk menjadi seperti seorang pecundang bersamamu, begitu!? Berhentilah mengatur-atur hidupku! Kau bukan siapa-siapa di hidupku! Aku tidak peduli mau kau menangis, mau kau memohon, mau kau menjerit sekali pun, AKU TIDAK PEDULI! Jika kau masih tetap bersikap begitu, maka tidak ada cara lain selain bersikap kasar padamu secara fisik!” Dengan mengeluarkan urat-uratnya di leher, Arga langsung bersiaga, menyempurnakan kuda-kudanya untuk meemberikan pukulan kuat pada Jiola agar perempuan itu tidak lagi menghalang-halanginya.
Sementara Jiola yang mengetahui bahwa Arga hendak memberikan serangan padanya agar dirinya tidak lagi menghentikan pergerakan anak itu, membuat perempuan berambut perak itu terkejut setengah mati. Sungguh, dia bingung harus bagaimana sekarang, karena dia tidak ingin dilukai oleh Arga, tapi di sisi lain dia juga tidak mau melukai adik kesayangannya. Apa yang harus Jiola lakukan sekarang sebelum sesuatu yang tidak diinginkan mulai terjadi pada dirinya. Memejamkan matanya erat-erat, Jiola mencoba berpikir sekeras mungkin, memikirkan cara agar Sang Adik yang begitu keras kepala bisa ditenangkan sejenak. Dan setelah berpikir selama lima detik, ia kembali membuka kelopak matanya karena akhirnya dia mendapatkan ide cemerlang agar bisa melalui situasi pelik ini.
“Aku sangat menyayangimu. Aku tidak mau melukaimu, dan aku juga tidak ingin kamu melukaiku. Bisakah kita bicarakan ini secara baik-baik, aku tidak ingin kita bertarung hanya karena berbeda opini. Tenangkan dirimu dulu, kamu terlalu menyepelekan sebuah kericuhan, kamu harusnya tahu bahwa datang ke tempat yang sedang ricuh itu akan membuatmu dalam masalah besar. Apalagi kamu yang melemparkan api terlebih dahulu pada mereka. Itu bisa membuatmu menjadi seorang buronan di kota ini, atau bisa saja kita berdua telah resmi menjadi seorang buronan di kota ini. Bagaimana kalau itu benar-benar terjadi?”
Mendengar segala keluhan dan kekesalan yang Arga ucapkan barusan, membuat Jiola merasa sedikit jengah dan pusing, mengatur napasnya terlebih dahulu, dan menstabilkan badannya agar bisa berdiri dengan tegap, akhirnya Jiola, perempuan berambut perak panjang itu mulai menjawab apa yang dikatakan oleh adik semata wayangnya itu. “Aku tidak meremehkanmu! Aku tahu kamu mampu bertahan di keadaan ricuh seperti itu, aku juga tahu kamu telah bertahan hidup di hutan selama bertahun-tahun, dan tentu saja aku sebagai kakakmu sangat bangga mengetahui hal itu! Tapi aku tidak bisa membiarkan adikku berada di kericuhan seperti itu sendirian! Aku menyayangimu! Aku tidak mau melihatmu terluka! Aku ingin kamu tetap bersamaku! Aku bertindak seperti ini, itu karena aku sangat menyayangimu!”
Mengerutkan dua alisnya dengan kesal, Arga tidak terima diberikan jawaban polos seperti itu, dia merasa Jiola memang benar-benar sedang meremehkannya dan itu telah membuatnya muak. “Aku tidak butuh rasa kasih sayangmu! Aku juga bukan adik kandungmu! Bukankah sudah kukatakan berkali-kali padamu!? Berhentilah menganggapku sebagai adikmu! Aku ini hanyalah orang asing yang kebetulan kau tolong! Tidak lebih dari itu! Dan aku tidak mau berterima kasih padamu karena aku sama sekali tidak membutuhkan bantuanmu! Jadi BERHENTILAH BERSIKAP SEOLAH-OLAH KAU ADALAH KAKAKKU!” Tidak peduli pada perasaan Jiola yang tertusuk-tusuk setelah mendengar apa yang diucapkannya, Arga hanya memasang wajah cemberut dan memalingkan muka, kemudian berjalan pelan ke samping.
Menyadari hal itu, Jiola hanya menundukkan kepalanya dalam hening, membuat rambut perak panjangnya berjatuhan helai demi helai dengan lembut, dia merasa sangat sakit hati mendengar apa yang diteriaki oleh Arga, setiap kata yang terlontar sungguh menyakitkan untuk didengar, sungguh Jiola tidak tahan lagi. Akhirnya dalam keheningan, Jiola meneteskan air matanya, sedikit sesenggukkan dan dengan tubuh yang gemetaran. Jiola sangat mengerti dibalik perasaan Arga karena dia sebetulnya sadar bahwa anak itu bukannya membencinya, ia hanya tidak ingin menerima kenyataan, tapi tetap saja mendengar perkataan kasar dan kejam yang dikeluarkan oleh mulut adik kesayanganmu sendiri yang selama ini kamu cari sepanjang tahun, sungguh menyakitkan.
“Apa kau menangis?” tanya Arga saat mendengar suara tangisan seseorang di dekatnya setelah ia menengok dan sedikit melangkah untuk mendekati perempuan berambut perak yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya itu. Tidak ada jawaban saat Arga bertanya demikian, yang artinya memang benar, Jiola memang sedang menangis sekarang. Baiklah, Arga tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang, tapi yang jelas dia tidak mau ada orang yang menangis di kala situasi sedang genting seperti ini. Suara-suara kerusuhan di tengah kota terdengar bahkan dari lokasi yang cukup jauh di sini, dan dia tidak bisa terus-terusan membujuk perempuan ini untuk berhenti menangis.
“Terserah, jika kau ingin menangis, menangis saja sepuasmu, tapi yang jelas aku tidak mau kau meremehkanku lagi. Sekarang jangan batasi pergerakanku, aku akan kembali ke tempat sebelumnya dan kau lebih baik tetap di sini karena perempuan cengeng sepertimu tidak akan mampu menghadapi situasi ricuh seperti itu.” Setelah mengatakan hal demikian, Arga segera melangkahkan kakinya untuk kembali ke tengah kota, tetapnya ke tempat pengeksekusian mati seseorang. Namun, baru saja lima langkah Arga berjalan, meninggalkan perempuan berambut perak itu, dia terkejut saat Jiola tiba-tiba ada di hadapannya, berdiri sambil memasang muka sedih yang dipenuhi oleh air mata.
“Maafkan aku karena aku telah membuatmu tidak nyaman, tapi ketahuilah, aku benar-benar menyayangimu. Aku tidak bisa membiarkan adik kesayanganku berada di sana, aku ingin kau tetap bersamaku di sini, di tempat yang aman. Aku tidak mau kehilanganmu lagi, aku tidak ingin kau menghilang. Tetaplah bersamaku di sini, aku akan memberikanmu segalanya, tapi kumohon, jangan pergi lagi ke sana.” Pinta Jiola dengan napas yang tersengal-sengal dan suara yang serak-serak basah, begitu pilu dan menyedihkan, memperlihatkan segala ketakutan dan kekhawatirannya pada Sang Adik yang hendak pergi darinya. Dari bola-bola matanya yang basah, tampak sangat jelas bahwa Jiola memang begitu serius tidak ingin membiarkan Arga kembali ke lokasi sebelumnya sendirian.
Merasa muak dan kesal, Arga menggertakkan giginya dan mulai memelototkan bola-bola matanya dengan begitu lebar. “Jadi kau maunya apa!? Membiarkan aku diam di sini untuk menjadi seperti seorang pecundang bersamamu, begitu!? Berhentilah mengatur-atur hidupku! Kau bukan siapa-siapa di hidupku! Aku tidak peduli mau kau menangis, mau kau memohon, mau kau menjerit sekali pun, AKU TIDAK PEDULI! Jika kau masih tetap bersikap begitu, maka tidak ada cara lain selain bersikap kasar padamu secara fisik!” Dengan mengeluarkan urat-uratnya di leher, Arga langsung bersiaga, menyempurnakan kuda-kudanya untuk meemberikan pukulan kuat pada Jiola agar perempuan itu tidak lagi menghalang-halanginya.
Sementara Jiola yang mengetahui bahwa Arga hendak memberikan serangan padanya agar dirinya tidak lagi menghentikan pergerakan anak itu, membuat perempuan berambut perak itu terkejut setengah mati. Sungguh, dia bingung harus bagaimana sekarang, karena dia tidak ingin dilukai oleh Arga, tapi di sisi lain dia juga tidak mau melukai adik kesayangannya. Apa yang harus Jiola lakukan sekarang sebelum sesuatu yang tidak diinginkan mulai terjadi pada dirinya. Memejamkan matanya erat-erat, Jiola mencoba berpikir sekeras mungkin, memikirkan cara agar Sang Adik yang begitu keras kepala bisa ditenangkan sejenak. Dan setelah berpikir selama lima detik, ia kembali membuka kelopak matanya karena akhirnya dia mendapatkan ide cemerlang agar bisa melalui situasi pelik ini.
“Aku sangat menyayangimu. Aku tidak mau melukaimu, dan aku juga tidak ingin kamu melukaiku. Bisakah kita bicarakan ini secara baik-baik, aku tidak ingin kita bertarung hanya karena berbeda opini. Tenangkan dirimu dulu, kamu terlalu menyepelekan sebuah kericuhan, kamu harusnya tahu bahwa datang ke tempat yang sedang ricuh itu akan membuatmu dalam masalah besar. Apalagi kamu yang melemparkan api terlebih dahulu pada mereka. Itu bisa membuatmu menjadi seorang buronan di kota ini, atau bisa saja kita berdua telah resmi menjadi seorang buronan di kota ini. Bagaimana kalau itu benar-benar terjadi?”