17. Kelangsungan Hidupmu Akan Ditopang Olehku

1345 Kata
Zaka's PoV Di sini, sudah dari kemarin-kemarin, aku mengantongi resep perusahaan ayah mertuaku—bahwa setiap makanan sebagai produk dari perusahaannya diberikan campuran zat haram untuk membuat konsumen ketagihan—hingga aku menyuruh ayah mertuaku untuk mengaku kepada Zara kalau sudah lama bercerai dengan ibu mertuaku. Tragisnya, aku tetap membuat ayah mertuaku ditangkap atas kasus bisnis ilegal sekalipun ayah mertuaku sudah membuat pengakuan, sementara ibu mertuaku memiliki nasib hampir sama, tersandung kasus penganiayaan gara-gara tidak terima dan marah besar kepada sosok provokator dalam teman-teman sosialitanya karena dirinya dikucilkan setelah skandal perselingkuhannya dengan seorang laki-laki miskin tersebar. Aku tidak benar-benar membenci mereka, hanya terlalu kesal mengingat mereka sudah menyebabkan istriku merasa tidak berharga, berani melukai istriku baik secara fisik maupun batin, sungguh lengkap sekali. "Tidakkah kau sadar kalau tindakanmu sudah kelewatan? Amarah di dalam suara bernada kasar di telepon terdengar membara di telinga kananku. Aku masih tetap diam dengan membiarkan ayah mertuaku untuk terus mengoceh hingga mencapai titik kepuasan. "Kenapa kau masih tetap menjatuhkanku setelah seluruh upayaku untuk menyatukanmu dengan putriku?" Aku menarik napas dalam-dalam. Alunan suara pancuran air dari kolam di teras samping masih menemaniku dengan mesra. Ada tawa di balik nada-nadaku ketika bertanya, "Papa bertanya kenapa?" Unik sekali diriku. Jawaban atas pertanyaan barusan malah keluar dari mulutku sendiri. "Jelas, semua karena Papa dan Mama pernah membuat Zara merasa tidak berharga," ucapku dengan suara tajam karena dipengaruhi oleh adanya tekanan. "Dasar, menantu sialan!" Bagiku, u*****n ayah mertuaku tidak berarti apa-apa, masih tidak sebanding dengan penderitaan istriku, entah masih bisa disembuhkan atau tidak. "Berapa tamparan? Berapa pukulan? Berapa makian? Pernahkah kalian menghitungnya?" "Aku tidak pernah sudi setiap dipanggil 'papa' olehmu." Dari tebakanku, di seberang sana, kemungkinan wajah dari ayah mertuaku sedang terlihat kecut. Aku memang menyebalkan. Jujur, bukan maksudku untuk ingkar, selama masih mengulangi perbuatan buruknya, bukankah terlalu baik tidak pantas untuk dijadikan pilihan? "Kau benar-benar kurang ajar. Akibat ulahmu, teman-temanku dalam kelompok arisanku langsung mengucilkanku." Barusan, hardikan ibu mertuaku terdengar samar-samar di telepon. Aku tersenyum miris. Ada kepahitan di kalbu. "Pa, Ma, sampai kapan kalian akan tertipu dunia?" "Ketahuilah." "Hidup tidak melulu soal uang dan ketenaran, keduanya hanya akan mengantarkan manusia kepada kehampaan." Aku tidak mendapatkan respons karena panggilan tahu-tahu sudah ditutup secara sepihak. Mungkin, mereka sedang mencari cara untuk menyelesaikan masalah. Akankah mereka bisa kabur? Tidak. *** Zara's PoV Yang kutahu, ketika aku dan suamiku sedang duduk di ruang makan, untuk mencicipi masakan perdanaku—hari-hari biasa, aku selalu memesan makanan matang—matahari sudah tidak berjaya di cakrawala. Aku menunggu suamiku untuk merasakan hasil jerih payahku terlebih dahulu sehingga kalau misalkan tidak bisa dinikmati, lidahku tidak kenapa-napa. Yah, beginilah diriku .... egois minta ampun? Sejak kecil, aku tidak pernah menyentuh dapur. Jadi, ketika statusku sudah berganti sebagai seorang istri, segalanya serba kaku. Aku tidak pernah fasih dalam menyelesaikan urusan rumah tangga. "Enak?" tanyaku. Ada sedikit kekhawatiran di hatiku. Mungkin, cita rasanya tidak akan sesuai dengan keinginanku. Tapi, bukankah aku masih bisa dimaklumi karena baru mencoba sekali? Lepas memasukkan sesuap ke dalam mulut, suamiku lama sekali untuk memberikan respons, malah masih mengunyah dengan gerakan pelan. Hingga akhirnya, aku sampai mengira kalau dirinya sedang menciptakan tiruan dari adegan slow motion versi manual. "Kak," aku segera menginterupsi karena sudah kelewat geregetan. Kak Zaka tersenyum manis seraya menatapku dengan tatapan bermakna ambigu, sudah untuk diterjemahkan. "Iya," katanya setelah mimik cemberut nyaris mengotori wajahku. Aku langsung mengganti raut mukaku untuk menggambarkan kesenangan dan kepuasanku. Bagiku, meski hanya keluar satu kata dari mulut suamiku, akan tetap aku hitung sebagai pujian. "Tuh, kan," ucapku dengan suara bernada sombong, bahkan tidak lupa melipat kedua lenganku untuk dihinggapkan di atas meja, "diam-diam, aku memiliki bakat terpendam." Kak Zaka mendadak berdecak pelan, terlihat heran setelah menyaksikan tingkah lakuku. "Zara. Zara," ucapnya, "haruskah kau bangga kepada dirimu sendiri?" "Ya," aku menjawab dengan tegas setelah mengurai lipatan kedua tanganku, tetapi tetap menumpu di permukaan meja, "karena menurutku, berharganya diriku tidak ditentukan dari pandangan orang lain." Di sela-sela pertukaran kalimat di antara kami, suara dering ponsel secara tiba-tiba sudah menjadi pusat perhatian. Dari irama ringtone serba kekorea-korean, sudah tidak perlu ditanyakan siapakah pemiliknya. Aku segera meraih benda pipih berbentuk persegi panjang di sisi meja sebelah kanan. "Halo," sahutku, hanya berselang singkat sesudah menggeser ikon telepon berwarna hijau di layar ponselku ke arah atas. Akibat terlalu larut dalam kebersamaanku dengan suamiku, sesuatu seperti terlupakan olehku hingga responsku bisa dikatakan teramat lambat. Wajahku berubah tercengang selama menuturkan, "Ha? Benarkah?" Aku membiarkan waktu untuk menerbitkan keheningan merajalela karena suaraku selalu bervolume rendah setiap melontarkan tanggapan. Dari satu detik mulai berlalu secara berangsur-angsur hingga menjadi menit. Dua manik mataku sudah basah, tersemat cairan hangat dan asin di wilayah permukaan, tetapi bersumber dari sebuah kelenjar di bawah kelopak mata. "Kak," lirihku seraya menatap ke arah suamiku. Ada sedih di wajah cantikku, walau hanya sekadar kubuat-buat. Akan tetapi, kalau dilihat dari kacamataku, tentu sudah cukup mampu untuk merenggut simpati dari suamiku. "Papa dan Mama terkena kasus," kataku kemudian. Meski Kak Zaka sudah mengetahui masalahku, aku rela untuk repot-repot menerangkan supaya terlihat meyakinkan. "Papa ditangkap atas tuduhan mengedarkan barang-barang haram, sedangkan Papa ditangkap karena tudingan penganiayaan terhadap salah satu teman arisannya." "Aku tidak tahu harus sedih atau tidak. Di satu sisi, rasa sayangku untuk mereka sudah luntur seiring dengan bergulirnya hari. Di sisi lain, mereka tetap orangtua kandungku, darah mereka sama-sama mengalir di dalam tubuhku," ungkapku dengan kedua tangan sudah meraih salah satu tangan suamiku untuk kugenggam erat-erat, kesan perasaan campur aduk harus terbentuk dengan mulus. Diberikan respons positif, aku tidak akan langsung berbesar kepala karena prosesku masih sangat rumit. Kak Zaka balas menggenggam kedua tanganku dengan menggunakan kedua tangannya seraya memfokuskan pandangan ke kedua netraku. "Tatap aku," katanya dengan suara terdengar dalam. Dia tidak membutuhkan waktu lama untuk meneruskan, "Apa pun keputusanmu, kuharap ... suatu hari nanti, kau tidak akan pernah menyesalinya." Dari hari ke hari, kemampuan aktingku semakin bertambah sempurna. Bibirku bergetar selama tergerak untuk mengucapkan, "A- aku ... aku mau bertemu mereka, Kak." *** Ditemani suamiku, aku sudah dipertemukan dengan ayah dan ibuku, dimana kami sama-sama duduk dalam posisi saling berhadap-hadapan, hanya dipisahkan sebuah meja kayu usang. Jejak basah di kedua bulu mataku masih kentara. "Pa, Ma, bagaimana kalian bisa berada di sini?" tanyaku sesudah menatap sosok dua manusia dengan jenis kelamin berbeda dihadapanku secara bergantian, keduanya terlihat suram dengan tubuh dibungkus kaus berwarna oranye. "Maafkan kami," ucap ibuku dengan hidung memerah dan air matanya mulai menetes secara perlahan-lahan, "selama menjadi orangtuamu, kami masih belum mampu menghadirkan kebahagiaan untukmu dan ... atas seluruh luka fisik dan batinmu, kami sudah tidak bisa mengubah sebabnya, bahkan sekalipun kami sudah menyesalinya sampai ribuan tahun." Aku sungguh menyadari, betapa eratnya tautan jemari tangan ibuku di kedua tanganku. Di dalam ingatanku, sekitar seminggu lalu, aku sudah mempersiapkan mentalku hingga benar-benar mantap, senantiasa mengirimkan sugesti kepada diriku sendiri bahwa semuanya hanya sebatas batu loncatan, ayah dan ibuku harus menjalani kurungan sesaat untuk sebuah kebebasan. "Hiduplah dengan baik." "Raihlah kebahagiaanmu." Waktuku untuk melihat ayah dan ibuku sudah habis. Mereka langsung dibawa ke kamar tahanan masing-masing. Kata hatiku, bumi seperti sedang dibelah menjadi dua bagian. Aku segera menjatuhkan kepalaku di bahu laki-laki di sebelah kananku untuk membuat suamiku berpikir kalau di dalam batinku berisi kalimat, 'Tuhan, kenapa Engkau masih membiarkanku bernapas sementara diriku sudah tidak layak untuk tetap berada di sini?' Aku tiba-tiba teringat dengan perkataan suamiku tempo hari lalu. Ini teramat menggelitik kalbuku. Jiwaku dibuat melayang gara-gara pertumbuhan pesat dari harapanku. "Zara, ingatlah selalu, bahwa mulai sekarang, kelangsungan hidupmu akan ditopang olehku." "Bisakah aku bergantung kepadamu?" "Mungkin, aku akan benar-benar mengatur ulang rencanaku." "Yaitu ... dengan melibatkanmu dalam setiap alunan langkahku." Dilanda dilema, kedua kelopak mataku terkatup bersamaan dengan lolos beberapa cairan bening dari sana. Awal cerita, aku selalu merasa kalau hanya bisa mengandalkan diriku sendiri untuk menangani masalah keluargaku. Akan tetapi, entah mengapa, tahu-tahu pikiranku sudah berpindah haluan, dimana untuk menjamin keselamatan dari seluruh kerabatku, tidak boleh mengorbankan siapa pun. "Aku semula bermaksud untuk menaklukanmu. Tapi, tanpa sadar ... aku malah sudah dibuat takluk olehmu. Bisakah kau mengulurkan tanganmu untuk membantuku mengalahkan Mr. Z?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN