19. Akan Kutunjukkan Sisi Modernku

1652 Kata
Zaka's PoV Di sebuah klub malam bergengsi, dua gadis cantik seperti sedang diajari berjalan oleh salah satu temannya. Zara dan Winda terlihat canggung ketika melesatkan tubuh mereka hingga ke area dalam, kedua telinga mereka tidak terbiasa dengan dentuman musik bervolume keras, kedua hidung mereka masih menolak untuk mencium aroma menyengat dari aneka minuman haram dan perpaduan dari parfum feminin dan maskulin, sementara kedua matanya mendadak dibuat berkunang-kunang selama menyaksikan setiap pemandangan di sekitar mereka, tanpa sadar selalu menyipit gara-gara disambar oleh kerlap-kerlip lampu di langit-langit. Begitulah. Dari depan meja di ruangan rahasiaku, aku menilai mereka melalui layar komputer di hadapanku. Melihat kelakuan istriku, hatiku geram bukan main hingga kedua tanganku dalam sekejap sudah terkepal di atas meja, sementara wajah kecutku sudah melalang buana. Dadaku diterpa dengan hawa panas setelah mendapati istriku sedang memupuk ladang dosa tanpa diliputi dengan perasaan bersalah. Yang tidak kalah mengkhawatirkan, sehabis berdansa dengan beberapa laki-laki asing, Ruby terlihat menghampiri Zara dan Winda untuk meminta mereka supaya ikutan menggila bersamanya. "Ayolah," ucap Ruby, "bergabunglah denganku bertiga di lantai dansa." "Tidak, Ruby," balas Zara, menolak dengan halus, sungguh membuatku hampir merasa tenang, "aku kurang pandai dalam menari." Akan tetapi, aku tahu benar bahwa ketenangan kecilku tidak mungkin berlangsung lama. Ruby menekuk tangan kanannya dengan meletakkan sebagian lengan bawahnya di salah satu bahu istriku. "Santai, aku bisa mengajarimu beberapa gerakan sederhana," katanya, entah mengapa bagaikan virus di hari baik. Aku teramat takut, misalkan istriku benar-benar ikutan terinfeksi. Sial! Aku heran. Sikap Winda tidak seperti biasanya, cenderung membantah ketika diajak terjun ke hal-hal negatif. Apakah Winda sedang dihadapkan dengan masalah besar hingga mengindahkan tawaran Ruby? Melihat Zara berjalan ke lantai dansa dengan diseret kedua temannya, tiba-tiba tenggorokanku terasa terbakar. Aku sangat membutuhkan minuman bersuhu dingin, tetapi tidak rela kalau harus absen—meski hanya sebentar—dalam mengawasi istriku. Aku menekuk kedua tanganku dengan bagian siku bertumpu di permukaan meja, sementara kedua jemari tanganku saling bertautan dan bekerja sama untuk menaungi daerah mulut dan hidungku. Lepas puas bersenang-senang dengan meliuk-liukkan badan di antara banyak orang, mereka bertiga memutuskan untuk duduk mengitari meja mereka. Yang terlihat paling bahagia adalah Ruby. Dari hasil olah informasiku, Ruby memang sudah lama terjerumus ke dunia hitam, kira-kira sejak masih duduk di bangku SMA. "Bagaimana? Seru, bukan?" tanyanya kepada Zara dan Winda. "Iya," sahut Zara dengan wajah seperti dapat memantulkan cahaya, sungguh sulit untuk kupercaya, "rasanya, seluruh masalah di kepalaku dalam hitungan singkat seperti menghilang entah ke mana." Yang terburuk, Zara malah mencetuskan suatu saran menggemparkan dan tentunya hanya akan membuatku semakin dibelenggu amarah membara, hingga aku sampai tidak bisa menahah diriku untuk mengelus dadaku. "Mungkin, harus segera dijadikan rutinitas kita, nih." "Ikutlah denganku," Ruby terlihat menarik tangan Zara dan Winda untuk dibawa melangkah secara bersamaan menuju meja bar, "akan kutraktir minum." Mereka bertiga duduk dalam posisi sejajar, tentunya menghadap ke arah bartender laki-laki di hadapan mereka, sungguh sedap dipandang karena masih muda dengan rahang tegas dan diramaikan rambut-rambut pendek, mungkin bekas dicukur selama semingguan. Diminta untuk menyebutkan nama minuman, Zara bertingkah lucu dengan mengatakan, "Mn, ... aku mau jus jeruk." Akan sangat menentramkan pikiranku kalau di sana bisa menyediakan pesanan istriku. "Zara, di sini tidak ada minuman non alkohol," kata Ruby untuk memberitahu istriku ketika bartender di hadapan mereka hanya mengernyit dengan ekspresi bingung. "Whisky? Brendy?" "Pilihlah salah satu." Bagi orang-orang polos, kebanyakan tidak akan merasa familiar dengan kedua minuman tersebut. Meski Winda bukan sosok wanita nakal, wawasannya bisa dibilang cukup luas karena sampai berseru, "Tapi, bukankah haram untuk dikonsumsi?" "Loh? Tuhan maha pemaaf, bukan?" Ruby sudah menoleh ke samping kanan untuk menatap Winda. "Kalau hanya sekali dalam seumur hidup, mungkin ... tidak apa-apa." Aku akui, cara kerja otak Ruby luar biasa unik. Dia sungguh pandai berkilah, pantas sekali kalau bekerja sebagai sales karena memiliki bakat mempengaruhi orang, bisa mengubah kawan-kawan lurusnya hingga menjadi berbelok ke mana-mana. "Ayolah, Win. Kau mau apa?" Winda terlihat menghela napas sejenak, tidak bisa memilih apa pun karena kurang berpengalaman, sepertinya. Dia hanya bisa mengatakan, "Entahlah. Aku tidak tahu." Ruby langsung beralih menoleh ke samping kiri untuk menatap wanitaku. Dia terlihat tidak sabaran ketika bertanya, "Kau?" Zara tidak kalah dengan Winda, keduanya mirip sekali, hanya bisa pasrah karena kurang berpengalaman, selama beberapa detik salah satu tangannya sempat terangkat untuk menggaruk tengkuk lehernya selagi memutar otak. "A- aku tidak tahu," katanya kemudian. Di sini, Ruby lantas menarik sebuah kesimpulan cepat, seakan-akan tidak perlu mengerahkan energi dan waktunya untuk berpikir. "Euh ... kalau begitu, minuman kalian disamakan denganku saja." Oh, tidak. Aku memerlukan oksigen! Lepas mengertakkan gigi gerahamku, kedua ibu jariku sama-sama meremas kepalan tanganku. Alih-alih melampiaskan kekesalanku dengan memukul atau membanting benda-benda di sekitarku, aku malah memejamkan kedua mataku dan membiarkan beberapa air mataku menetes. Inilah bukti dari kegagalanku sebagai kepala rumah tangga. Lepas beberapa menit menunggu, Zara baru menginjakkan kedua kakinya di depan gang di dekat rumah ketika jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. "Zara, terima kasih atas kebaikan hatimu," ucap Ruby sesudah Zara turun dari taksi online dengan sedikit limbung, "benar-benar di luar dugaanku, aku tidak tahu kalau dompetku ketinggalan." "Sudahlah," balas Zara, terdengar tidak keberatan meski sudah dimanfaatkan, "tidak usah terlalu dipikirkan." "Toh, aku keluar uang bukan hanya untuk kalian." "Eh, sebentar ... kau sungguh-sungguh turun di sini?" Winda melongokkan kepalanya keluar dari mobil untuk mengamati lingkungan sekitar. Ruby tidak mau kalah. Dia ikut-ikutan melongokkan kepalanya untuk diputar ke beberapa penjuru arah. "Iya, ... setahuku," katanya, "rumahmu bukan di daerah sini." "Iya," Zara langsung membuat alasan, "aku berencana untuk menginap di rumah salah satu kerabatku." Jujur, aku merasa takjub dengan kemampuan berbohong istriku karena masih dapat diaktifkan bahkan ketika dirinya sedang kekurangan kesadaran. Bisakah disebut dengan bakat alami? Entahlah. Aku tidak akan mendukung istriku untuk bakat jeleknya, sampai kapan pun. "Ya, sudah," ucap Winda, "kami berdua harus pulang sekarang, benar-benar tidak tahan untuk segera tidur." "Sip." Acara bersenang-senang mereka bertiga sudah ditutup dengan perpisahan melalui sebuah lambaian tangan. Aku menarik napas dalam-dalam untuk kuembuskan secara perlahan hingga tidak peka akan adanya pergantian waktu dari detik ke menit. Dari ruangan rahasiaku, berkat alat penyadapku, barusan aku bisa mendengar langkah kaki dan berasal dari depan rumahku. Adalah alasan untukku meraih tongkat bantu jalanku di samping kursiku. Aku memang sudah mampu untuk melangkah dengan menggunakan kedua kakiku, tetapi harus disertai dengan tambahan media di tangan kiriku sebagai tumpuan untuk menemani kaki kiriku. Aku mana pernah menghitung hari secara mendetail. Ketika Zara tiba-tiba berubah dratis sudah cukup menguras kekuatanku. Dia semakin sering melawanku dan hidup sebagai anak muda nakal dengan sering bermain-main di dunia malam. Dari lubuk hatiku, aku yakin benar kalau semua gara-gara tertular sikap buruk dari teman istriku. Aku menatap Zara seraya melangkah cepat dengan terpatah-patah, sungguh tidak kuasa untuk menahan kesal dengan tangan kanan terkepal. "Zara, kenapa kau sampai tega berbohong kepadaku?" tanyaku selama berjalan untuk menghampiri istriku hingga mencapai ruang tamu. "Parahnya, hingga sekarang ... kau masih tidak sadar kalau sudah sering dibodohi teman-temanmu." Di hadapan istriku, setiap seruan dari bibirku selalu dilengkapi dengan unsur penekanan. Kini, berhubung sudah melampaui batas, marahku kepada istriku sudah tidak bisa dilarang-larang. Dia sering pamit kepadaku kalau hanya akan mengerjakan tugas kelompok, tetapi aku selalu menemukan kenyataan lain. “Katakan.” "Dari mana saja dirimu?!" tanyaku dengan kedua pupil mata berbentuk seperti bulan purnama ketika sudah berada di ruang tamu, seakan-akan tengah menyambut kepulangan istriku. Zara masuk rumah dengan langkah terhuyung-huyung. Aku benar-benar meragukan kesadarannya ketika menatap ke arahku dan menyerukan, "Eh? Ada Kak Zaka." "Kak Zaka di sini untuk menyambutku?" Zara sempat bersendawa. Aroma tidak enak langsung tercium olehku karena istriku sudah maju satu langkah dan mencondongkan wajahnya ke arahku. "Wah, aku sangat tersanjung." Meski perut terasa mual, seperti sedang diubek-ubek bersama kotoran, aku berusaha untuk menahannya dengan tetap berdiri tegak. "Zara," ucapku dengan suara bernada tegas, "sudah tahu haram, kenapa kau masih berbuat nekat?" Di mataku sekarang, Zara tidak mencerminkan seorang perempuan baik-baik. Jika diperhatikan dari atas hingga bawah, maka istriku bisa dibilang sangat memalukan karena mengenakan pakaian terbuka—berupa terusan hitam tanpa lengan dengan panjang di atas lutut—ditambah riasan menor di mukanya. "Kau tahu, sosokmu benar-benar memuakkan. Di mana otakmu sampai bisa kehilangan akal sehat? Kau masih muda. Tapi, malah memilih berusaha untuk menghancurkan hidupmu sendiri." Zara hanya menggaruk kepalanya melalui sela-sela dari rambut acak-acakannya dengan menggunakan jemari tangan kanannya seraya menguap lebar hingga kedua kelopak matanya terkatup dengan sendirinya selama beberapa detik. "Wajarlah. Aku sedang bertumbuh, Kak," katanya. Aku sudah tidak dihargai olehnya. Dia malah menginjak-injak harga diriku dengan cara menulikan indra pendengarnya. Bahkan, tahu-tahu malah sudah memberikan petuah sesat kepadaku. "Dengarkan nasihatku, Kak. Hidup hanya akan berlangsung satu kali. Di zaman serba modern, kita harus bisa mengikuti perkembangan," ucap istriku seraya memegang salah satu bahuku dengan sebelah tangannya. Jarak semakin menipis, Zara sedang mendongak untuk menatap tepat ke kedua kornea mataku, sedangkan aku menunduk secara otomatis untuk dapat membalasnya. "Kau terlalu kuno, Kak," kata Zara dengan suara bervolume rendah dan diberikan kesan basah sehingga mirip dengan bisikan, "sebutan lain dari membosankan." "Oh, begitu," ucapku. Aku terkekeh pelan dan mengedipkan mataku sebelum melanjutkan engan tidak melepaskan tatapan lugu di hadapanku, "Jadi, di matamu ... aku terlalu kuno." Maaf, aku tidak merasa tersinggung hanya gara-gara dibilang kuno, tetapi emosiku meledak karena istriku masih enggan untuk membuka pikirannya. "Baiklah, akan kutunjukkan sisi modernku," kataku dengan nada tajam. Aku meraih lengan kiri istriku untuk kupegangi erat-erat, sementara setelah melepaskan tongkatku hingga terjatuh ke lantai, tangan kiriku terangkat untuk menarik kepala istriku ke arahku. "Mmps—" "Lepaskan, Kak!" Plak! "Berengsek!" Aku dihadiahi tamparan dan u*****n keras. Dihajar dengan tenaga istriku, wajahku sampai terpalingkan. Kini, membeku adalah reaksi refleksku setelah sosok wanita rapuh di hadapanku menghilang dari tangkapan mataku. Alasanku berlagak seperti patung tidak lain karena masih adanya perasaan tidak menyangka kalau tindakanku barusan benar-benar kejadian. Kenapa malah tidak terpikirkan olehku? Oh, astaga, aku tidak kalah berdosa dari istriku. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN