8. Dia yang Berdiri Tepat Di Depanku

1404 Kata
Aku pikir perginya Rasya, membuatku merasa lebih baik. Tapi pikirku justru terikat padanya. Ini aku, Shanum, yang mencoba bertahan hidup sebatang kara. Ada yang berkata ciuman pertama itu selalu membekas dan membuat pihak perempuan selalu teringat pada pria yang mengambilnya. Kalimat itu sering terlontar pada setiap gadis SMA yang sedang mengalami masa remaja. Di setiap obrolan, selalu terselip kata-kata itu dan kebanyakan dari mereka telah membuktikan kebenarannya, kecuali aku. Aku bahkan tak pernah peduli setiap pembicaraan kawan-kawanku mengarah ke sana. Tapi ... sekarang aku benar-benar membuktikannya. Bukan berarti aku mencintai Rasya! Aku bahkan masih kesal bila mengingatnya! Akan tetapi, setiap kesal pada Rasya dan ingat pada pemuda itu ... aku selalu teringat pada ciuman lembutnya yang membuatku lupa diri sejenak saat itu. Pasti dia sudah sering mencium wanita! Ya, buktinya dia begitu lihai! ** Satu bulan lebih kematian bapak. Malam ini kami mengadakan pengajian empat puluh hari memperingati mendiang bapak di rumahku. Kutatap buku Yasin yang terdapat foto dan nama bapak di sana. “Alhamdulillah, kita bisa buat kenang-kenangan untuk Almarhum bapak kamu, Neng,” tutur bibiku saat para tamu telah usai mengaji dan pulang. “Maaf, ya, Bi. Shanum seharusnya mengurus ini sendiri. Tapi malah merepotkan bibi,” ucapku yang sungkan padanya. “Merepotkan bagaimana? Kita ini saudara, Neng. Bibi seneng, Neng Shanum bisa kuliah. Terus juga menikah dapat orang kota, yang kayaknya dia sayang banget sama Neng dan penuh tanggung jawab.” Bibiku mengatakan sesuatu yang tidak mungkin. Tapi aku tersenyum saja, mana mungkin aku mengatakan sejujurnya pada bibi. Semua keluargaku tahunya, Rasya harus cepat-cepat kembali ke kota karena menemui keluarganya. “Bi, nanti kalau Shanum sudah kerja, Shanum janji akan mengganti semua uang yang digunakan untuk keperluan pengajian saat ini. Termasuk untuk membuat buku Yasin juga,” ujarku yang merasa tak enak. Bagaimanapun juga, bibi ini bukanlah adik kandung atau kakak kandung dari orang tuaku. Dia hanyalah sepupu jauh dari bapak yang kebetulan rumahnya di dekat rumahku. Tapi mendengar, ucapanku yang seperti itu, bibi malah mengembuskan napas. “Ke kamar dulu, yuk! Bibi perlu ngomong sama Neng Shanum!” Aku pun mengangguk dan mengekor pada bibi menuju kamar bapak. Bibi tampak serius di balik kerudungnya. Dia duduk di tepi ranjang dan menepuk bagian samping sambil berkata, “Duduklah di sini, Neng!” “Ada apa, Bi?” tanyaku yang agak was-was karena bibi tampak serius sekali. “Ini ... sisa uang pengajian hari ini. Sisanya dua juta tiga ratus ribu. Ini tadinya bibi sudah bagi-bagi ke orang yang bantu-bantu di sini. Semuanya sudah kebagian dan masih ada sisa segini!” Bibi mengeluarkan uang dari dompetnya yang ia simpan di laci kamar bapak. Bahkan aku tak tahu ada uang di sana. “Ini ... uang dari mana? Kenapa bisa di laci bapak?” tanyaku. “Tadi bibi yang simpan di sini. Memang Neng Shanum tak tahu ini uang dari mana?” Bibi malah balik bertanya. Aku menggelengkan kepala tak tahu. “Dari Kang Rasya! Dia ngasih uang ini sebelum dia pergi. Sebelumnya, juga kakaknya Kang Rasya, siapa itu namanya? Dia juga ngasih ke bibi,” ujar bibi yang membuatku terkejut. “Maksudnya, Mas Aksa dan juga Rasya memberi uang ini untuk bibi?” Bibi mengangguk mengiyakan. “Awalnya Kang Aksa ngasih lima juta untuk pengajian hari pertama. Terus besoknya ada Kang Rasya yang ngasih dua puluh juta untuk biaya pengajian. Jumlahnya jadi dua puluh lima juta, alhamdulillahnya bisa cukup sampai pengajian empat puluh hari bapak dan masih ada sisa.” Aku termangu tak percaya. “Aku kira, ini uang pribadi bibi dan paman,” ucapku sambil menunduk dan banyak berpikir. “Kalau bibi ya, uang dari mana atuh, Neng. Kalau punya uang, bibi boro-boro buat dipinjemin ke Neng Shanum. Anak bibi, kan, pada mau masuk sekolah,” jelasnya yang memang sangat masuk akal. “Bi ... bibi tadi bilang, kalau bibi sudah membagi untuk para orang yang membantu. Lalu bibi bagaimana? Sudah mengambil bagian?” tanyaku padanya. Bibi langsung mengangguk. “Sudah, Neng. Bibi ngambil empat ratus ribu. Soalnya, kan, bibi bagi-baginya itu dua ratus ribu untuk tiap orang. Jadi ini yang bibi ambil adalah jatah paman sama bibi. Nggak apa-apa, kan, Neng?” Tentu saja aku mengiyakan. “Iya, Bi. Ini ... sisanya ambil saja untuk biaya sekolah anak bibi. Shanum nggak apa-apa, kok!” Dia pun menganga terkejut. “Ini ... uang segini untuk bibi semua?” Aku mengangguk mengiyakan. “Iya, Bi. Nggak apa-apa.” “Neng, tapi Neng Shanum juga butuh uang. Kan, Neng mau ke kota. Uang ini untuk simpanan neng aja! Di sini anak-anak bibi mah nggak apa-apa. Bisa pinjam ke saudara ini kalau kurang. Nah, kalau neng di kota bagaimana?” Aku hanya tersenyum. “Nggak usah khawatir, Bi. Rasya juga sudah memberiku uang untuk nanti pergi ke kota.” Bibi pun terlihat bernapas lega. “Oh, ya. Alhamdulillah. Bibi lupa, kamu ini istrinya orang kaya.” Sejujurnya, aku sudah bertanya ke sana kemari mengenai hidup di kota. Ternyata uang sepuluh juta yang aku pikir akan cukup untuk hidup setahun itu tidaklah cukup. Tapi aku tidak mungkin untuk bergantung pada uang pemberian Rasya. Aku tetap akan bekerja dan mengganti uang milik Rasya secepatnya. Jadi biarlah, sisa uang itu menjadi milik bibi. Itu sudah haknya karena keluarga bibi yang banyak kurepotkan selama ini. ** Ini adalah mimpiku. Ibu kota yang selama ini hanya dalam bayangan akhirnya kini di depan mata. Minggu ini adalah waktu untuk melakukan proses daftar ulang. Aku harus sudah mempersiapkan diri untuk mencari tempat kos sebagai akomodasi dan untungnya, kenalan dari guruku membantuku untuk mendapatkannya dengan mudah. Tentunya, kos ini dibayar dengan uang yang kudapat dari Aksa. Sehingga aku bisa datang ke kampus dengan tenang. Belum resmi menjadi mahasiswa dan ini adalah pertama kalinya aku melihat secara langsung Universitas Islam yang menjadi impianku. Berbagai macam orang berada di sini. Pakaian mereka berbeda tak seperti bila berada di sekolah yang selalu seragam. Aku mencari-cari tempat pendaftaran ulang dan berkali-kali bertanya, aku tetap saja tersesat. Kampus ini begitu luas dan aku masih lupa dengan tempat-tempatnya. “Kamu mahasiswa baru yang mau daftar ulang, ya? Proses daftar ulang dilakukan di masing-masing fakultas, Dek. Kamu dari fakultas mana?” timpal seseorang saat aku bertanya. “Fakultas pendidikan, Kak.” “Oh, kalau begitu ... tempatnya di sana. Kamu jalan saja lurus, sampai melihat perempatan itu. Nah, gedung di bagian kiri itu adalah fakultas pendidikan. Kamu akan melihat plangnya di sana!” “Oh, begitu. Terima kasih, Kak.” Aku pun melakukan sesuai dengan instruksi kakak tingkat tersebut. Entah kenapa sejak tadi aku sulit menemukannya, tapi sekarang gedung ini di depan mata. Banyak mahasiswa yang keluar masuk dari gedung ini. Kemudian ada beberapa loker yang terdapat tulisan berbagai jurusan dari fakultas ini. “Pak, ini proses daftar ulangnya bagaimana?” tanyaku pada seorang satpam di sana. Karena aku belum yakin harus menuju ke mana. Selain itu, setiap loker begitu penuh dengan para mahasiswa baru sama sepertiku. “Adik dari jurusan apa?” “Pendidikan Agama Islam,” jawabku dengan mantap. “Coba saya lihat surat tanda diterima dan pembayarannya dulu, ya.” Kutuduhkan surat tersebut dan bapak itu pun mengangguk-angguk. “Jadi ... daftar ulangnya secara online, ya. Bisa lewat ponsel dulu atau komputer punya kamu, lalu baru nanti jika semua data sudah diunggah, kamu akan dapat email dan isi dari email itu yang ditunjukkan ke petugas registrasi. Karena kamu lulus sebagai peserta bidik misi, kamu tidak perlu melakukan p********n, cukup konfirmasi saja nanti.” Aku mengangguk mengerti. Tapi masalahnya, aku tidak punya ponsel ataupun komputer untuk melakukan semuanya. “Kalau kamu tidak membawa komputer, bisa pakai komputer-komputer yang ada di sana secara bergantian.” Bapak satpam ini sepertinya mengerti masalahku, dia menunjukkan pada beberapa jajar komputer yang sedang dipakai para mahasiswa. “Baik, terima kasih!” Segera aku menuju ke tempat yang dituju. Gedung ini cukup luas, tapi terasa sangat gerah karena banyaknya manusia di tempat ini. Sepertinya, rambut di balik kerudungku ini benar-benar lengket dan basah. Ibu kota benar-benar tempat yang cukup panas. Kuperhatikan antrean dari beberapa komputer tersebut, tentu saja aku menuju ke tempat dengan antrean paling pendek. Aku berdiri tepat di belakang seorang mahasiswa dengan kemeja biru dan celana katun berwarna hitam. Sekilas aku melihat, entah ini hanya perasaan saja. Ransel yang ada di depanku ini begitu familiar. Setelah beberapa menit menunggu, mahasiswa di depanku ini pun menyelesaikan bagiannya. Dia membereskan dokumen miliknya dan memasukkan dalam tas. Aku pun maju untuk mengambil alih kursinya dan tepat saat itu, aku melihat wajahnya. “Rasya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN