6. Aku yang Kini Melepasnya

1204 Kata
Bergetar jari-jariku memegang benda yang diberikan oleh Shanum. Kenapa bisa dia berpikiran sejauh itu? Pluk! Kulempar lagi benda tersebut ke arahnya. “Apa maksudmu memberiku benda seperti itu?” tanyaku dengan nada yang gusar. Tidak sadarkah dia, aku ini laki-laki dan dia adalah perempuan? Lalu di rumah ini hanya ada kita berdua? Bisa-bisanya dia memberikan alat pengaman untuk berhubungan suami-istri padaku! “Rasya, aku ... benar-benar hanya ingin menghapus rasa bersalahku. Aku tidak mau kita mempermainkan janji suci pernikahan. Aku juga tidak mau membuat bapakku yang telah berada di alam kuburnya kecewa. Tolong, tunaikan dulu kewajiban kita sebagai suami dan istri, lalu setelah itu ... kau bisa pergi ke mana pun kamu mau. Bila kau tak ingin, tak perlu lagi kau datang ke sini juga tak apa,” tutur Shanum dengan suara yang bergetar dan agak lirih di bagian akhir. Aku hanya bisa mengusap wajah sendiri. Sungguh aku tidak terpikirkan ke sana. Kenapa dia membuat ini menjadi rumit saja? Padahal, dia sendiri terlihat gugup. Sejak tadi dia memainkan ujung kerudungnya, dia pikir aku tidak tahu? “Shanum, kautahu apa yang kaukatakan padaku barusan?” tanyaku sambil menatap mata bulatnya itu dengan lekat. Perempuan itu menganggukkan kepalanya. “Kau tidak takut?” Aku memastikan sekali lagi. Untuk pertanyaan kali ini, dia hanya diam. “Lalu kenapa kau menawarkan hal yang kau sendiri tidak ingin melakukannya?” tanyaku yang merasa heran. “Aku ... aku ... aku hanya takut berdosa, Rasya!” jawabnya dengan polos. “Aku juga sama sepertimu, aku tidak memiliki perasaan apa pun padamu. Bahkan amarahku padaku juga masih belum menghilang setelah kematian bapak. Tapi ... pesan terakhir bapak sungguh membuat aku merasa bersalah jika aku tidak memenuhinya.” Dia berkata dengan suara yang bergetar, sepertinya dia sedang menahan air mata agar tidak menangis. Kali ini aku berdiri, bingung harus berbuat apa. Tak aku sangka jika Shanum benar-benar polos dan memikirkan ucapan bapaknya dengan serius. “Apa kau tak merasa bersalah telah menipu bapakku?” Kali ini Shanum mendongak melihat padaku yang tengah berdiri di depannya. “Aku? Menipu?” Kutegaskan lagi ucapannya, apa dia tidak salah bicara? “Seharusnya, jangan pernah menyanggupi ucapan bapakku. Jangan pernah berjanji ingin membahagiakan aku. Bahkan kau yang membuat dia meregang nyawa dan kau juga yang mempermainkan janji padanya!” tuntut Shanum sambil menangis. Kali ini, sepertinya air matanya sudah tak terbendung lagi. “Bukan begitu ... kau juga bahkan tidak tahu, kenapa aku berkata seperti itu? Aku berada di bawah tekanan kakakku. Lalu di depan bapakmu yang sedang kritis, dia memohon-mohon. Bahkan ada banyak juga pemuka desa di sana, haruskah aku setega itu? Kau harus tahu posisiku juga saat itu! Jangan hanya menyalahkan padaku saja!” Dadaku bergemuruh ketika berkata demikian. Tanpa sengaja aku membentak padanya. Gadis itu menangis lebih keras dan berlari ke kamar bapaknya. Aku pun duduk ambruk di atas kursi ruang tamu yang sudah reyot. Niatku untuk pulang pagi ini pun urung sejenak. Aku perlu mendinginkan kepala terlebih dahulu sebelum pergi dari rumah ini. Kuraih secangkir teh yang dibuatkan oleh Shanum untukku. Gadis itu bahkan sudah menyetrika semua bajuku dan menyimpannya dengan rapi dalam ransel. Kenapa dia sangat serius menganggap hubungan kami berdua? Padahal aku akan pergi secepatnya dari kampung ini. Beberapa menit aku duduk di teras sambil menatap jalanan yang dilewati para petani dan pedagang lalu lalang. Sayup aku mendengar raungan dari dalam rumah. Tepatnya dari dalam kamar mendiang bapaknya Shanum. Astaga! Apa yang sudah aku katakan pada Shanum tadi? Aku terlalu berlebihan. Kuintip gadis itu melalui sela tirai. Dia menangkupkan kepala pada bantal miliknya bapaknya, lalu meredam tangis menggunakan bantal tersebut. Entah kenapa, kaki ini pun membawa langkahku mendekat ke arahnya. Kuusap kepalanya yang tertutup oleh kerudung. Lalu aku mendekatkan kepalaku padanya. Seketika dia berbalik dan wajah kami bertatapan. Kuperhatikan seluruh bagian dari wajah milik Shanum. Bola matanya bergetar saat menatapku, ada jejak basah di sekitar pelupuk mungil itu. Jariku tanpa sadar mendekat pada pipi yang putih bersih tersebut. Membersihkan sisa-sisa air mata yang membasahi kulitnya. Aku mengusap dahinya karena merasa bersalah dan dengan perlahan, aku melepas kerudung merah muda yang sedari tadi menutupi rambutnya. Ini adalah pertama kali bagiku melihat Shanum tanpa kerudung. Dengan rambut panjangnya yang terurai di sekitar bantal, jemariku menyisir helai itu secara lembut. Berbaring di atas tubuhnya, aku bisa merasakan deru napas Shanum yang semakin cepat. Hal itu selaras dengan aliran darah yang berdesir di sekujur tubuhku. Kucoba untuk mengecup keningnya dan dia memejamkan mata. Mengalihkan ciumanku ke area pipi dan hidung. Lalu terakhir, aku mengecup bibirnya. Dengan rasa panas yang mengaliri seluruh bagian tubuhku, sebuah perasaan meledak-ledak memenuhi otak. Kini kecupan itu, bukan hanya sekedar kecup singkat. Melainkan lumatan yang aku usahakan begitu lembut mencecap setiap bagian dari bibirnya. Kami berciuman. Ini adalah ciuman pertamaku. Yang mungkin juga, ini adalah ciuman pertama untuk Shanum. Aku merasakan jika tangan Shanum memegang bagian pinggangku, lebih tepatnya dia meremas kemejaku di sana. Tubuhnya begitu kaku dan kakinya sangat tegang. Kuturunkan ciuman ini menuju ke lehernya. Perlahan tanganku membuka dua buah kancing bagian atas dari baju yang ia pakai. Aku merasa jika Shanum cukup ketakutan tapi ia memaksakan diri untuk diam di bawah kendaliku. Dan kesalahanku, aku yang mencoba berhenti, tapi keintiman ini menuntutku untuk melakukan lebih jauh lagi. Tanganku menyelusup ke balik bajunya, bibirku mencium semakin dalam hingga menimbulkan tanda merah di bagian lehernya. “Emmmh,” lenguh Shanum saat aku tak sengaja menyentuh area sensitif di bagian dadanya. Mendengar suara lenguh itu, aku pun tersadar dan langsung melepas tanganku. Begitu pula dengan kepalaku yang langsung menjauh dari Shanum. Dengan tubuh yang masih terengah-engah, aku segera duduk di sisi Shanum. Begitu pula dengan gadis ini, dia langsung membuka mata dan ikut duduk berhadapan denganku. Mungkin dia bingung karena aku berhenti tiba-tiba. “Shanum ... aku tak bisa melanjutkannya,” ujarku karena merasa bersalah. Saat ini, Shanum hanya menunduk sambil mencoba untuk mengangguk. Tanganku pun memegang rambutnya yang terurai, lalu menyelipkan di balik telinga. Setelah rambutnya dipindah begitu, tanda merah yang aku buat di lehernya pun terlihat. Jari bergerak menyentuh tanda merah itu. “Anggap saja jejak ini adalah tanda jika aku sudah tidur denganmu,” ucapku dengan lirih. Shanum menunduk sambil tangannya ikut meraba pada jejak itu. “Itu tadi adalah nafkah batin dariku, Shanum. Maaf, aku yang tidak bisa memberikan lebih padaku. Kamu sudah menggugurkan kewajibanmu untuk melayaniku.” Aku membelai lagi rambutnya yang hitam dan panjang ini. “Kamu tak perlu merasa bersalah pada bapakmu, kamu sudah menjadi istri yang baik untukku. Maaf, aku harus pergi dan kita perlu melanjutkan jalan hidup kita masing-masing.” Sambil berurai air mata, gadis di hadapanku ini tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Hubungan kita selesai di sini, tapi aku harap kamu untuk tidak sungkan meminta bantuanku. Tentang apa pun itu, datanglah padaku!” Setelah mengatakan hal itu, aku pun keluar dari kamar tersebut dan mengambil tas ranselku. “Rasya!” panggil Shanum saat aku hendak keluar dari rumahnya. Dia menyodorkan sebuah botol air mineral untukku. “Bawa ini untuk minum di perjalanan nanti.” Meski aku tak ingin, tapi aku tetap menerimanya dan menyimpan ke dalam tasku. “Rasya,” panggilnya lagi, tapi kali ini suaranya cukup lirih. Aku pun kembali menatap ke arahnya. Dengan wajah bersemu merah dan menundukkan kepala, suaranya juga lirih dan berkata, “Terima kasih.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN