Meninggalkan kampung tempat tinggal Shanum dan kembali ke rumah. Sejujurnya aku enggan pulang, tapi ... aku telah berjanji pada Mas Aksa untuk tidak membuat khawatir mama.
Alasan aku tak mau pulang sebenarnya bukan karena pertengkaran keluarga. Aku dan saudaraku juga tak pernah ada masalah, begitu pula dengan mamaku.
Aku hanya merasa memiliki perbedaan yang jauh dengan saudara kembarku, Arsya. Kami lahir dengan aku yang lebih dulu keluar, jadi aku adalah kakaknya. Arsya memiliki otak yang sangat pintar, dia menjadi kebanggaan mama karena selalu membawa prestasi.
Sementara aku, tak pernah memberikan kebanggaan itu.
Aku, Arsya dan juga mamaku, tinggal di dalam rumah mewah milik nenek. Dia adalah nenek dari pihak mendiang papaku. Yang jadi masalah dalam rumah ini adalah nenek tak pernah menyukai mama. Termasuk aku dan Arsya.
Hal ini dikarenakan, mama katanya hanya istri kedua.
Kalau Mas Aksa berbeda lagi ceritanya. Dia adalah anak papa dari istri pertamanya. Tentu saja hal itu membuat Mas Aksa menjadi anak kesayangan nenek.
Tidak masalah bila nenek tak menyukai kami. Tapi yang menjadi masalah adalah nenek sangat memusuhi mama. Entah mengapa mama bertahan tinggal di rumah itu, dia bilang semua demi mengamankan hak warisan untuk kami.
“Mau ke ibu kota, A?” tanya seorang kenek bus dengan dialek Sunda yang kental.
Aku pun menganggukkan kepala.
“Ongkosnya delapan puluh, A!” Kenek tersebut menengadahkan tangannya padaku.
“Oh, iya.” Dengan segera aku pun mengeluarkan uang seratus ribu padanya.
“Ini kembaliannya, A!”
Aku menatap pada luar jendela, bus ini masih berhenti di dekat agen terminalnya.
Kelulusan kami saat SMA kemarin menjadi momen yang cukup besar untuk mama. Arsya pasti dengan predikat terbaiknya, menjadi kebanggaan mama. Sementara aku bukan apa-apa.
Mama menganggap semua prestasi yang diraih oleh Arsya seakan menjadi penghibur di kala beban hidup terasa berat untuknya. Dan sekali lagi, aku tak pernah memberi andil apa-apa demi kebahagiaannya.
Aku benar-benar merasa tak berguna dan ingin mati saja saat itu.
Tapi sekarang, aku sadar!
Keinginanku untuk bunuh diri hanya malah mencelakakan orang lain. Tanpa sengaja aku membuat Shanum menjadi sebatang kara dan perempuan itu juga membuat aku sadar akan sesuatu. Hidupnya tentu lebih sulit dariku, tapi dia melalui semuanya dengan sepenuh hati dan tak pernah memiliki keinginan untuk mati dengan sia-sia.
Perjalanan pulang selalu terasa sangat cepat dibanding keberangkatan. Hanya terlelap sekejap rasanya, tapi sekarang aku sudah berada di daerah ibu kota.
Ini bahkan sudah larut malam. Mungkin mama sudah tidur dengan nyenyak.
Kakiku menginjak tanah ibu kota lagi.
Tuhan masih berbaik hati padaku hingga membiarkan aku untuk menghirup udara lebih lama di dunia ini.
**
“Rasya ....”
Suara parau itu menyambutku walau aku masih berada di gerbang rumah.
“Ma?” Aku terkejut, ternyata mama masih bangun dan sadar jika aku datang. “Kenapa ... mama masih bangun?”
“Rasya ....” Mama memelukku dengan erat tanpa memberi jawaban apa-apa.
Dia memapahku padahal tubuhnya yang lebih lemah dariku.
“Mama ... masuk ke kamar lagi, biar aku yang membantu Rasya,” ujar Arsya yang ikut keluar.
Mama tak menggubris, dia malah menangis tersedu-sedu sambil memeluk ke arahku.
Rasa hati semakin merasa bersalah. Aku pergi dari rumah agar menghilangkan beban untuk mama. Tapi yang ada, ternyata kepergianku malah menjadi beban baru di hatinya. “Maafkan aku, Ma.”
Aku berkata lirih saat kami berada di dalam kamar.
Sementara mama kembali ke kamarnya setelah ia diantar oleh Arsya untuk kembali.
Di sini aku duduk di tepi ranjang. Memandang pemandangan yang tak berubah sama sekali. Sepertinya, Arsya bahkan tak menyentuh barang-barang milikku selama aku pergi.
Saudara kembarku kembali ke kamar. Dia tak banyak bertanya, dia hanya membantuku untuk merapikan kembali barang bawaanku.
“Rasya ... kalau ada yang mau kauceritakan padaku, aku siap mendengarkan,” tutur Arsya sambil membuka tas ransel milikku.
Dia bukan kurang kerjaan atau terlalu kepo dengan isi ranselku, tapi dia memang selalu seperti itu sejak dulu. Bahkan untuk menyusun buku jadwal pelajaran di sekolah pun, dia selalu membantuku untuk mengisi ransel agar sesuai jadwal.
“Tidak ada apa-apa,” jawabku.
Arsya mengangguk-angguk sambil mengeluarkan satu per satu isi ransel. “Kamu ... membawa sarung, tumben?”
Aku menoleh kepada benda yang dibawa oleh Arsya. “Itu bukan milikku!” Kuambil langsung kain berwarna hitam bercorak kotak-kotak biru tersebut.
Begitu aku angkat, ada secarik kertas yang terjatuh.
“Apa ini? Kayak ada tulisannya!” Arsya langsung kertas itu.
“Kamu punya cewek? Kamu kabur ke tempat cewek? Siapa Shanum?” teriak Arsya dan itu benar-benar membuatku terkejut.
Kusambar kertas itu dari tangannya. Kenapa Arsya bisa tahu tentang Shanum.
“Aku belum selesai baca, Ras!”
Sayang sekali, kertas ini sudah kuamankan.
Arsya hanya terkekeh dan membiarkan aku memiliki kertasnya. k****a kertas ini yang ternyata adalah sepucuk surat dan terlihat cukup panjang. Di bagian ujung bawah kertasnya terdapat nama ‘Shanum’ yang tertulis dengan jelas. Mungkin itu yang dibaca oleh Arsya.
Kusimpan surat ini dan k****a saat esok di pagi hari.
**
Arsya, kalau kamu membuka surat ini, mungkin kamu sudah berada di tempat untuk istirahat atau mungkin di rumah.
Aku harap kamu baik-baik saja dan selamat sampai tujuan.
Maaf aku diam-diam menyimpan sarung ini dalam ranselmu. Jika kau tak mau memakainya, kau bisa menyimpannya. Ini adalah sarung milik bapak. Aku yang membelinya sebagai kado ulang tahun terakhirnya kemarin. Aku pikir, hanya benda ini yang begitu berarti bagi aku dan bapak untuk bisa diberikan padamu.
Mungkin ini adalah hadiah kecil, aku harap jika kamu hendak salat nanti, kamu berkenan untuk memakai sarung ini. Tapi jika tidak, kumohon simpan saja.
Jujur aku masih berat karena kepergian bapak. Aku sedang belajar untuk ikhlas.
Saat ini begitu sulit bagiku untuk tidak kesal padamu. Tapi aku hanya seorang manusia yang tidak punya daya apa-apa dibanding Tuhan yang memiliki segalanya. Jika Dia adalah Tuhan yang Maha Pemaaf, maka kenapa manusia sepertiku terus diliputi dendam?
Rasya, aku mencoba untuk memaafkanmu. Jangan buat pengorbanan bapakku saat menyelamatkanmu menjadi sia-sia. Jadilah manusia yang lebih baik lagi agar mampu menyelesaikan masalahmu. Jangan pernah lagi berpikir untuk mengakhiri hidup seberat apa pun yang kauhadapi. Datanglah padaku dan berbagilah kisah denganku.
Lalu yang paling penting, jangan pernah lewatkan salatmu. Seberat apa pun masalahnya, tumpahkanlah dalam sujudmu, niscaya semuanya akan terasa ringan.
SHANUM
Hatiku berdegup dengan kencang saat membaca kalimat per kalimat yang ditulis oleh Shanum. Aku ... merasa selama ini begitu jauh dengan Tuhan. Hingga aku berpikir untuk pergi dengan sia-sia seperti itu.
Kurapikan kembali tasku dan membawa perbekalan.
Kutatap sarung pemberian Shanum. Kuambil dan juga kumasukkan dalam tas. Begitu pula dengan sepucuk surat darinya yang juga aku simpan di dalam lipatan baju.
Aku harus pergi dari rumah. Aku tak bisa tinggal di sini.
“Rasya, kamu mau ke mana lagi?” tanya Arsya yang melihat aku membereskan baju-baju ini lagi.
“Aku tidak kabur, Ars. Aku akan kabari nanti!”