Tante-abel

1107 Kata
“Hem, itu ... “ Sinty nampak gugup. “Tangan Abdan ...” Miftah mengernyit bingung. “Maksud kamu? Kamu nanyain tangan dia? “ “Iya, aku dengar tangan dia memar gara-gara gebrak meja? “ “Gak tahu juga sih. Aku gak liat jelas. Udah keburu marah. “ “Hem, kamu mau tolongin aku, kan? “ “Apa? “ tanya Miftah yang sebenarnya sudah tahu arah pembicaraan Sinty. Pokoknya kalo permintaan itu berhubungan dengan Abdan, maka Miftah akan langsung menolaknya. Love myself adalah prinsip teguh Miftah. Bertemu dengan Abdan hanya membuatnya menjadi orang yang toxic “Tolong ... kasihan ini ke Abdan.” Rupanya benda “Segitu sukanya ya, kamu sama dia?” tanya Miftah tidak habis pikir, kenapa cewek secantik dan sebaik Sinty bisa jatuh cinta pada cowok yang gak ada bagus-bagusnya menurut Miftah. Abdan Cuma menang tampan diang, gak lebih. “Eh ...” Sinty mengerjap. Masih belum siap dengan pertanyaan sejenis itu. Gadis berparas cantik itu juga tidak tahu jelas bagaimana perasaannya. Dia hanya tahu kalo nama lain dari cemburu, suka, dan peduli adalah cinta. “Bukan gitu, tapi aku kan anggota PMR, jadi ...” “Iya tahu, tapi kali ini karena itu aja, kan? “ Miftah memicingkan mata. Sinty tersenyum malu. “Kamu mau, kan? “ “Gak bisa. Aku malas berurusan sama dia. Entar tuh orang malah, mikir yang gak-gak.” Miftah berdecak pelan. “Hem, ya udah kalo gitu.” Sinty mengangguk paham. Hubungan Miftah dan Abdan memang tidak baik, Sinty tahu itu. “Kamu gak marah, kan? “ “Eh, gak kok.” Sinty refleks tertawa. “Masa gitu doang aku marah. Wajar aja kalo kamu nolak. Itu hak kamu.” Inilah yang Miftah suka dari sahabatnya ini, selain baik, Sinty juga tidak egois. Dia tidak pernah memaksakan kehendaknya dan yang terpenting tidak mudah marah apalagi ngambek. Bisa bersahabat dengan Sinty merupakan sebuah keberuntungan menurut Miftah. Karena itu Miftah sangat menyayangi sahabatnya ini. Miftah berharap Sinty juga merasa bahagia bisa bersahabat dengannya. “Dasar kakak kelas genit! “ teriakan dari wilayah Abdan, mengalihkan perhatian dua gadis itu. Miftah dan Sinty refleks menoleh ke sana. Suara itu rupanya milik Flo, yang baru saja datang tergesa-gesa dengan wajah memerah padam. Tatapan matanya tajam menghunus kakak kelas yang berusaha menghalangi langkahnya menemui Abdan. “Eh, Lo, jaga mulut Lo ya! “ teriak salah satu dari Kakak kelas tidak terima dengan cacian Flo. “Dasar adik kelas kurang ajar!” “Peduli gila Lo siapa! Mau Lo kakak kelas, kakak tingkat, kakak senior, gue gak peduli! Gue gak akan tinggal diam kalo Lo ngusik punya gue. “Flo menggeram kesal, saat mereka kembali menghadang tubuhnya. Ini sekolah berbasis agama kok bar-bar banget sih ceweknya. Gak bisa apa pura-pura jamin gitu. Pura-pura gak papa deh, yang penting gak bar-bar kayak gini. Murahan banget. “Jauh-jauh dari Abdan gue! “ pekik Flo, murka. “Abdan Lo?! Sejak kapan Abdan jadi milik Lo?! “ “Drama apa lagi sih ini!” Abdan menghela nafas panjang. Cewek-cewek itu sibuk dengan pertengkaran mereka, sampai tidak sadar, orang yang mereka perebutkan sudah pergi dari sana. Sinty yang melihat hal itu tanpa sadar tersenyum tipis. “Mif, hem, aku balik ke kelas ya, bentar lagi pelajaran berikutnya di mulai.” Sinty segera bangkit dan pergi saat Miftah mengangguk pelan. “Iya, Btw makasih ya.” “Iya sama-sama,” sahut Sinty buru-buru berjalan cepat, melewati rombongan cewek yang masih seru beradu mulut. “Abdan ...” panggil Sinty, setelah merasa jarak mereka tidak terlalu jauh sehingga suaranya yang kecil bisa sampai di telinga Abdan. Dan benar saja, tidak perlu menunggu lama, Abdan menoleh dan menghentikan langkahnya, menunggu Sinty berjalan ke arahnya. “Hem, itu... “ Entah kenapa sulit sekali bagi Sinty untuk tidak gugup saat berhadapan dengan Abdan. Padahal Abdan tidak melakukan apa pun yang bisa membuatnya gugup . “Hem ... Aku Sinty, kamu masih ingat—“ kalimat Sinty terhenti begitu mendengar suara tawa pelan Abdan. “Gue ingat kok. Btw gue belum aki-aki yang bakal lupa sama nama Lo.” Abdan tersenyum geli. Jawaban Abdan barusan sukses saja membuat Sinty malu. Dia pikir, gadis seperti akan sangat mudah untuk dilupakan, apalagi oleh cowok tampan macam Abdan. “Maaf, aku gak maksud ....” “Iya gak papa,” sahut Abdan cepat. “Kenapa? Lo mau ngasih sesuatu ke gue? Tapi Btw, gue udah kenyang banget dari tadi di sodorin makanan, plus perut gue udah kembung banget minum air, jadi ...” “Hem .. tapi ini bukan makanan. Ini obat. Tangan kamu,” Sinty melirik sekilas tangan Abdan, hal yang luput dari perhatian banyak orang, bahkan Abdan sendiri. “memar, jadi ...aku kasih salep ini. Salep ini ampuh buat ngilangi memar. Agak pedih sih pas diolesin, tapi beneran efeknya bagus banget, aku yakin kamu gak akan kecewa kalo pake—“ Abdan refleks kembali tertawa. Sinty terdengar seperti selesai obat yang sedang membujuk pelanggan agar mau membeli produknya. “Kamu kenapa ke tawa?” Wajah Sinty bias, makin malu. “Penjelasan aku aneh ya? Maaf, ya aku... “ “Eh, gak usah minta maaf terus ... Lo gak salah apa-apa kok. Gue yang minta maaf karena udah ketawa,” sahut Abdan. “Hem... “ Sinty tiba-tiba ragu. “Jadi? “ “Ha? “ Sinty tersentak kaget, lupa kalo Abdan menunggunya. “Itu, salepnya jadi buat gue, kan ?” “Ah, iya ... ini.” Buru-buru Sinty memberi salep itu. Sinty takut tangannya yang gemetar terlihat jelas. “Btw, tangan gue kan gak sengaja, kok bisa pas banget Lo bawa salep ?” Abdan memperhatikan benda berukuran sepanjang jari telunjuknya. “Iya, itu ... aku emang sengaja bawa salep ini setiap hari ke sekolah. Buat jaga-jaga kalo stok di UKS habis. Takutnya ada yang cedera pas olahraga.” “Oh iya, ya ...” Abdan tersenyum simpul. “Gue lupa, Lo kan anak PMR. Makanya suka bawa obat.” “Ha? Kamu tahu aku anak PMR?” kaget Sinty. Sinty tidak menyangka ‘pangeran sekolah' seperti Abdan mana mungkin mengetahui dirinya yang ibaratnya rakyat jelata. “Emang itu aneh ya? Wajar dong gue tahu Lo anak PMR. Kita seangkatan, kelas juga sebelahan, jadi gue sering liat Lo jaga di barisan belakang setiap upacara.” Mau tahu bagaimana jantung Sinty sekarang? Gadis itu rasanya sudah siap terbang tinggi. Bunga-bunga yang bermekaran di taman sekolah, sepertinya akan kalah saing dengan bunga-bunga yang bermekaran dihati gadis bermata almond itu. “Btw makasih ya salepnya. Gue mau balik ke kelas. Gue duluan ya,” pamit Abdan yang kembali melanjutkan langkahnya. Sinty tersenyum samar. “Ya Allah, boleh minta dia jadi jodoh hamba gak? Agak maksa dikit ya Allah ...” **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN