Aroma buku

1016 Kata
“Ah, itu, aku ...” Sinty tergagap. David nampak tidak tertarik untuk menunggu jawaban Sinty dan memilih memalingkan wajahnya menatap arloji. “Sinty, kamu jadi ke perpustakaan setelah ini? “ tanya Miftah sembari menguyah pelan. Sinty mengangguk pelan-pelan. “Kamu ikut, kan? Temenin aku ya.” Sinty lupa kalo sekarang, mengajak Miftah ke perpustakaan sama saja mengajak Abdan. Miftah tidak menjawab, gadis itu malah melirik Abdan dengan ujung matanya. Merasa di perhatiankan, Abdan mendelik tidak suka. “Gue mau ke perpustakaan,” ujar Miftah, yang sebenarnya tahu kalo Abdan sendari tadi mendengar percakapan mereka. “Terus? Gue gak peduli.” Abdan memutar bola matanya, setelah mengatakan kalimat itu, cowok bermata biru hazel itu baru ingat kalo dia sekarang seolah babunya Miftah. Abdan menghela napas panjang, baru kali ini dia seolah tidak berdaya. “Awas aja kalo lama! Gue tinggal lo buriik,” ancam Abdan serius, yang tidak Miftah pedulikan karena gadis bertubuh gemuk itu sudah kembali sibuk dengan makanannya. Abdan mendengus kesal. Sejurus berikutnya, mereka sudah sampai di perpustakaan. Abdan gagal membujuk David dan Vidi untuk menemaninya. Jadi sekarang, Abdan persis seperti ekor yang mengikuti dua gadis yang berjalan di belakangnya. Tapi Abdan tidak ingin pesannya nampak lusuh karena ulah Miftah, dengan tenang Abdan berjalan, ketenangannya memancarkan kharisma tersembunyi seorang Abdan. Abdan tidak pernah gagal dengan pesona ketampanannya. "Buruan, gue gak mau lama-lama di sini!” seru Abdan mewanti-wanti. “Aneh. Giliran di tempat sumpek gak ada apa-apa Lo betah, giliran di tempat di mana banyak jendela ilmu, Lo malah gak betah,” sarkas Miftah. Abdan mendelik, mulutnya yang sudah siap mengeluarkan ratusan kata-kata u*****n pada Miftah, tidak terima akan kata ‘sumpek’ yang Miftah sematkan untuk room, tempat ternyaman bagi Abdan. “Lo—“ “Tempat apa maksudnya kamu Mif? “ sela Sinty yang sejak tadi mengerlip tidak paham dan melewatkan ekspresi kesal Abdan. “Eh, hem, maaf, tapi ini perpustakaan kalian bisa di marah guru pengawas kalo berantem di sini ...” sambung Sinty cepat, sadar kalo dirinya terlalu ingin tahu. Abdan memutar bola matanya malas, lalu memilih menjauh ke arah berbeda dari yang Miftah dan Sinty tuju. “Kalo lo ninggalin gue, gue gak akan segan buat laporin Lo ke bu Ingit,” ancam Miftah sebelum kembali berlari cepat menyusul Sinty. Sial! Gadis b***k menyebalkan! Abdan mendengus, tidak cukup cepat untuk mengumpat Miftah yang sudah keburu kabur. Mata Abdan lalu beralih ke sekeliling perpustakaan, tempat ini termasuk sport mewah di sekolah. Nomor tiga setelah kantin dan aula. Di sepanjang lantai digelari karpet biru yang senada dengan warna cat dinding putih, yang memberi kesan luas dan tenang. Jendela-jendela besar di sudut ruangan, merembes memasukkan cahaya matahari yang baru hendak menghangat, memenuhi mata Abdan yang mau tidak mau menyilaukan matanya. Meski perpustakaan ini terbilang mewah, tapi pihak sekolah tidak ingin menjadikan perpustakaan seolah tempat mati, hanya diterangi oleh lampu listrik, tidak ada cahaya matahari. Jendela-jendela ini memang sengaja ada, agar orang yang malas keluar tetap bisa merasakan hangatnya sinar matahari. “Tutup saja jendelanya kalo silau,” kata guru pengawas yang baru saja melintas di belakang Abdan. Guru berusia sekitar tiga puluh tahun itu, lantas menarik gorden berwarna abu-abu terang yang terjulur panjang sampai ke lantai. Mata Abdan kembali mengamati sekitar, matanya terkunci pada setiap sudut rak-rak panjang yang berisikan banyak buku mulai dari buku yang tebal sampai yang tipis, Ada banyak buku di sini, dan hal itulah yang Abdan tidak sukai. Setiap kali mencium aroma buku yang perutnya tiba-tiba terasa sakit, seperti mules hendak buang air besar. “s**l!” Abdan menekan pelan perutnya, matanya bergerak cepat menyusuri rak untuk mencari gadis dengan berat berlebihan itu. “Si buriik mana sih!!? “ gerutu Abdan tidak sabaran, sepanjang rak Abdan mengumpat mencari keberadaan Miftah yang tidak kunjung terlihat, seolah gadis bertubuh besar itu hilang ditelan tumpukan rak buku. wajah sudah sedikit memucat akibat menahan rasa sakit di perutnya. “Ah, ngeselin banget tuh cewek! “ sejurus itu, mata biru hazel Abdan akhtanpa sengaja mendapati Miftah, tengah duduk di salah satu bangku sofa dengan tangan memegang buku tebal, tapi matanya tidak mengarah pada buku itu, melainkan pada pintu yang menjadi sport di balik punggungnya. “Woi buriik! “ Hampir saja Abdan berteriak untuk melampiaskan kekesalnya, jika saja Miftah tidak menoleh cepat dan mengingatkan Abdan kalo tempat ini tempat yang paling menjunjung tinggi kesunyian—hal yang pali Abdan benci. Abdan berjalan cepat ke arah Miftah. “Gue mau keluar, terserah lo mau di sini atau gak! “ “Eh, tunggu dulu. Kita keluar pas Sinty balik ke sini ya.” Miftah kembali menoleh ke arah pintu. Abdan mendengus. “Gak! “ “Gue mohon. Ini dia nitip buku yang udah dia pinjam.” “Gue gak peduli! Lo mau nginep di sini ?! Terserah lo! Jangan ajak-ajak gue, gue bukan babu lo! “ “Gue mohon. Tujuh menit lagi.” Miftah memelas. Abdan sebenarnya tidak tersentuh dengan permintaan Miftah barusan. Abdan setuju lantaran melihat sesuatu di sudut rak, sebuah buku yang mencuat sedikit dari rak. Ternyata ada juga komik anak-anak di perpustakaan ini. “Oke. Tujuh menit! “ sahut Abdan cepat sebelum menghilang. Miftah menatap cemas ke arah pintu, sudah hampir tujuh menit tapi Sinty tidak kunjung muncul. Sinty susah pamit ke kamar mandi sejak setengah jam yang lalu, dia bahkan belum sempat membaca buku yang baru ia pinjam. Padahal rencananya mereka ingin membaca bersama di perpustakaan. “Gue keluar! “ kata Abdan tiba-tiba, tidak terdengar seperti pertanyaan atau ajakan. “Eh, iya, gue ikut. Tunggu.” Miftah buru-buru mencangking buku yang Sinty pinjam tadi, lalu berlari tergopoh-gopoh mengejar langkah lebar Abdan. “Dasar benalu! “ umpat Abdan setelah menyelesaikan rangkaian keluar dari pintu yang terbuka otomatis. “Jauh-jauh dari gue! Gue eneg liat lo! “ hardiknya lagi sebelum melangkah pergi meninggalkan Miftah yang masih bertanya-tanya kenapa Sinty belum juga terlihat. “Gue ke kamar mandi aja deh,” putus Miftah akhirnya. Miftah hendak beranjak, terlonjak kaget lantaran ada Wulanda berdiri di sampingnya, matanya melihat ke arah punggung Abdan yang baru saja menghilang di belokan. “Lo juga temenan sekarang sama Abdan?” tanya gadis itu datar, matanya memindah melihat Miftah yang masih kaget.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN