Es Cair

1567 Kata
“Parah Lo, Dan.” Vidi menggeleng-geleng tak habis pikir. “Ya gimana, orang gue gak fokus. Gue gak baca kalo ternyata dia habis kecelakaan,” sahut Abdan sembari bergabung duduk lesehan bersama keduanya. “Kalo gue tahu, gak akan gue biarin deh. Mana tadi gue sempat ngancam lagi. Berasa jahat banget gue.” “Abangnya masih muda kah? “ tanya Vidi lagi. “Nah itu,” Abdan menghela nafas, sesal. “Ternyata udah paru baya. Makanya gue berasa antagonis di novel ini.” “Lah emang Lo antagonis, kan,” timpal David diiringi tawa geli Vidi. “s**l Lo! “ dengus Abdan, tidak terima. “Tapi pasti Lo kasih uang tip lebih buat abangnya, kan? “Iya, gue kasih seharga makanan kita.” “Btw, terus gimana ceritanya Lo bisa dapat makanan ini? Abangnya bilang makanan pesanan kita jatuh di jalan, kan?” tanya David bingung, begitu Abdan meletakan satu kantong kresek putih di hadapan mereka. “Abangnya beli baru lagi, kah? “ Abdan menggeleng pelan. “Terus, bukannya Lo bilang tadi cuma pesan es teh? Kenapa ada es buah juga?” “Iya, ini dari orang baik yang awalnya punya makanan ini. Jadikan abangnya udah cerita, kalo dia sekalian nganterin makanan orang yang searah sama lokasi di sini. Nah pas nganterin itu, gak jauh dari tempat orang itu, abangnya keserempet motor. Di tolongin lah sama tuh orang. Terus dia iba, karena liat abangnya kebingungan pesanan kita udah jatuh gitu.” “Jadi ini dari orang itu,” simpul Vidi. “Iya. Dia juga yang kasih es buah, soalnya kata abangnya, orang itu bilang, ayam geprek yang dia pesan level lima, takut kita kepedesan, makanya sekalian di kasih juga.” “Masyallah, ada yang orang sebaik itu. Dia gak kenal kita tapi udah perhatian aja. Pasti baik banget tuh orang.” Abdan mengangguk setuju. Sebenarnya saja saat mendengar tentang orang itu dari penuturan haru abang driver, Abdan tidak henti-hentinya berdecak kagum. Abdan tidak mengira di dalam dunia sekeras ini ada orang baik yang hatinya begitu lembut. Dia lebih mengutamakan perut dan hati orang lain padahal tidak ia kenal ketimbang perutnya sendiri. “Kenapa Lo malah bengong? “ tanya Vidi, heran, bukannya Abdan sendiri yang bilang kalo dia sangat kelaparan. “Gue kepikiran orang baik itu aja. Dia pesan makanan pasti karena lapar kan? Terus sekarang makanan dia malah buat kita. Gue jadi gak enak.” Vidi cekikikan. “Tumben Lo jadi melow.” “Biar Lo lega, kenapa gak Lo minta nomor tuh orang? “ Dahi Abdan berkerut. “Buat apa? “ “Ya, bilang makasih.” “Eh, iya juga ya. Tapi gimana caranya?” “Coba Lo cek, masih ada gak profil nyangkut abang drivernya.” Abdan segera mengikuti saran cowok berlesung pipit itu. “Masih ada nih nyangkut, untung belum gue kasih bintang, jadi belum hilang.” “Buruan Lo mintain nomor ponselnya ke abang itu.” “Bentar gue chat dulu, semoga aja abangnya mau mintain nomor orang itu,” gumam Abdan. “Gimana? Di balas gak? “ “Dibalas, tapi orangnya gak ngasih nomor ponsel, cuma ngasih nama IG-nya doang. “ “Ya udah Lo tinggal DM aja.” Abdan mengangguk pelan, jarinya kini bergerak pelan di atas layar ponselnya. “Udah.” “Langsung dibalas? “ “Belum. Mungkin lagi sibuk, tapi dia online loh.” “Ya udah Lo makan aja dulu,” saran David. Abdan memang setuju pada saran sahabatnya itu, tapi entah kenapa Abdan belum mau beranjak dari layar ponselnya. “Eh, dia mengetik,” seru Abdan tiba-tiba. Mungkin kebaikan orang itu, sedikit mampu menyentuh hati Abdan, Abdan begitu respek dan bersemangat mendapat balasan dari orang itu, yang bahkan dia tidak kenal. “Langsung di balas? “kaget Vidi. “Iya.” Senyum Abdan seketika mengembang saat membaca pesan dari orang itu.“Gila nih orang, baiknya ke banget.” Abdan menggeleng-geleng salut dan tidak habis pikir secara bersamaan. “Emang dia balas apa? “ tanya David sembari menyuapkan ayam geprek ke dalam mulutnya. Sensasi pedas pada ayam berselimut tepung tebal, itu sedikit membuat David terbatuk kecil. “Dia masih aja cemasin kita soal ayam gepraknya, takut kita kepedasan,” ujar Abdan merampungkan kalimatnya. “Gue gak habis pikir, bisa-bisanya dia sampai serching di google buat cari tips dan saran menghadapi rasa pedas. Padahal kita kan bisa serching sendiri.” “Iya, gokil nih orang. Baiknya keterlaluan.” Vidi berdecak kagum. “Siapa sih namanya?” Abdan mengangkat bahunya, tanda tidak tahu. “Coba tanya.” “Gak deh. Gue malu nanya namanya,” jawab Abdan spontan. “Lah, tumben seorang Abdan malu? “ sergah Vidi keheranan. Abdan seketika sadar, iya, ya ... tumben gue malu? “Lo kira gue ini apa, gak punya malu? “ “Ya gimana ya, ini momen langkah, untuk pertama kalinya seorang Abdan malu sama orang,” goda Vidi yang sialnya dia jawab anggukan setuju David. Kenapa kalo soal mengejek kedua sahabatnya ini sangat kompak? Abdan memutar bola matanya. Cowok bermata biru hazel itu lebih tertarik untuk melahap ayam gerpek yang ada di hadapannya ketimbang meladeni dua sahabatnya yang sudah lebih dulu melahap ayam gerpek milik mereka dengan lahap. “Hujan di luar udah reda, kan?” David beranjak dari duduknya, pandangnya mengedar keluar jendela, memastikan jawaban dari pertanyaannya sendiri. “Gue harus pulang sekarang, bentar lagi magrib,” kata David setelahnya mengenakan tas ransel punggung miliknya. “Lo cepat banget pulangnya? Abdan aja baru mulai makan.” Vidi menoleh ke arah Abdan. Cowok berkulit putih pucat itu nampak kewalahan dalam menghabiskan ayam geprek miliknya, secara Abdan bukan orang yang suka pedas seperti dirinya dan David yang lumayan bisa mentolerin rasa pedas nyelekit. “Tapi mau gimana lagi? Gue harus pulang sekarang, orang tua gue bisa heboh nyariin gue kalo gak pulang sekarang.” David ikut memandangi Abdan yang mencoba untuk berdamai dengan rasa pedas pada mulutnya. Setiap satu kali suap akan langsung Abdan timpal dengan “Lo kalo gak sanggup, mending gak usah di habisi deh,” saran Vidi yang tidak tega melihat wajah Abdan yang memerah di tambah keringat sebesar biji jagung nampak di kanan-kiri dahi Abdan. Cowok itu terlihat tidak menikmati dengan baik makanannya, tapi anehnya Vidi malah melihat seulas senyum terpantri di wajah cowok beralis tebal itu. ‘Mungkin sangking laparnya kali ya ..’ batin Vidi. “It’s fine kok. Gue sanggup aja. Lagian sayang kalo di buang.” Lah terus apa kabar bubur ayam kemarin? Yang gak di makan cuma karena bad mood? Vidi ingin menjawab itu, tapi cowok berlesung pipit itu urungkan setelah melihat David meraih jaket jeans kelabu miliknya dan menyampirkan tas di punggung. “Beneran mau pulang sekarang Lo? “ David mengangguk samar, lalu menoleh pada Abdan yang sudah bisa fokus diajak bicara. “Lo gak masalah, kan, Dan? “ Abdan mengangguk pelan, sudah mulai terbiasa dengan jadwal ‘ketat' David. Meski begitu, sebenarnya David merasa tidak enak hati harus selalu menjadi orang pertama yang pulang. David menghela nafas panjang. “Gue gak punya pilihan lain. Kalo aja gue punya orang tua santai kayak Lo, ya gue fine aja di sini mau sampai jam berapa pun. Mereka terlalu protektif,” jelas David entah sudah ke berapa kalinya. David tidak ingin kedua sahabatnya salah paham. “Gue juga mau seperti burung yang terbang bebas.” “Tukaran aja kalo gitu sama gue,” canda Abdan, yang sebenarnya berasal dari lubuk hatinya. Sepasang bola mata berwarna cokelat muda itu menatap datar Abdan. “Hem ... emang Lo mau di posisi kayak gue? “ Abdan bungkam sesaat. David tidak tahu seperti apa rasanya menjadi burung yang dilepas terlalu ‘bebas’. Rasanya seperti diabaikan. Sangat ingin, batin Abdan bersuara. Menurut Abdan setidaknya dari sana, ia dapat merasakan kebahagiaan di perhatikan orang tua. Abdan tidak ingin seperti burung yang dilepas bebas di langit, dibiarkan terbang tanpa ada batasan sedikit pun. Abdan berharap ada yang memarahinya jika ia pulang telat. Ada yang melarangnya untuk ini-itu dengan dalil itu yang terbaik untuknya. Terdengar aneh memang, tapi itulah yang Abdan harapkan. Bukannya asik saat dimarahi, Abdan malah akan tersenyum sumringah? “Mau dong,” sahut Abdan setelahnya, yang David anggap sebagai candaan dan David memilih mengabaikannya “Kalian langsung pulang setelah makan atau masih tetap di sini sampai magrib ?” tanya David. “Gue mah tergantung Abdan aja, soalnya gue kan nebeng,” sahut Vidi menoleh pada Abdan yang sudah tidak lagi termenung. “Hem ... Gimana kalo kita keliling-keliling dulu, terus malamnya kita ikut futsal-an bareng anak komplek di lapangan dekat rumah gue gimana?” “Ide bagus. Kebetulan nyokap sama bokap gue lagi ada meraung malam, ini jadi aman kalo pulang malam.” “Sayang banget si bocah satu ini gak ikut, kalo ikut tambah seru” gumam Vidi. “Emang Lo gak bisa apa, sekali aja minta kelonggaran? Barang kali orang tua Lo mau mempertimbangkan permintaan anak kesayangannya.” “Sebelum ide itu muncul di otak Lo, gue udah nyampein hal serupa.” “Dan hasilnya tetap gak boleh?” tanya Abdan, yang lebih terkesan basa-basi di telinga David. . David mengangguk kecil, seulas senyum muncul di wajah datar cowok bermata cokelat muda itu. “Mungkin, seandainya nafas bisa di atur, orang tua gue juga akan atur berapa kali gue harus nafas. Semua demi kebaikan gue, kata mereka,” sarkas David. Vidi dan Abdan bungkam. Mereka berdua bingung harus menanggapi seperti apa. Hal ini sangat sensitif, bagaimana pun mereka tetap orang luar dari apa yang David. . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN